Filosofi Catenaccio Dan Lembaga Peradilan: Seni Bertahan Di Tengah Serangan

Sistem catenaccio merupakan sistem yang menuntut pertahanan yang berlapis. Bila dihubungkan dengan lembaga peradilan, maka sistem pada lembaga peradilan harus dilakukan secara berlapis.
Ilustrasi Filosofi Catenaccio Dan Lembaga Peradilan | Foto : Ilustrasi Penulis
Ilustrasi Filosofi Catenaccio Dan Lembaga Peradilan | Foto : Ilustrasi Penulis

Sebagai seorang penikmat sepak bola, penulis tumbuh dengan menonton pertandingan Liga Italia atau yang sering disebut dengan Serie A. Berbeda dengan Liga Inggris yang terkenal dengan filosofi kick and rush yang mengutamakan permainan cepat atau Liga Spanyol yang terkenal dengan filosofi tiki-taka yang mengutamakan penguasaan bola dalam jangka waktu lama melalui operan-operan pendek, Serie A justru dikenal dengan filosofi catenaccio.

Catenaccio adalah sebuah sistem yang berfokus pada pertahanan yang terorganisir, rapat, kokoh dan efektif. Meskipun catenaccio adalah sistem yang fokus pada pertahanan, tidak sedikit tim yang meraih kesuksesan dengan menggunakan sistem tersebut. Sebut saja Tim Nasional Italia yang meraih Juara Dunia pada tahun 1982 dan AC Milan pada musim 1993/1994 yang meraih scudetto dengan hanya kebobolan 15 gol dan mencetak 36 gol.

Lalu apa hubungannya dengan lembaga peradilan? Penulis berandai: bila lembaga peradilan adalah sebuah klub sepak bola, sistem apa yang cocok digunakan? Dengan mempertimbangkan situasi yang dihadapi saat ini, maka catenaccio adalah sistem yang sesuai untuk lembaga peradilan.

Saat ini Mahkamah Agung dan lembaga peradilan dibawahnya sedang menghadapi serangan yang bertubi-tubi. Serangan-serangan tersebut datang dari berbagai arah mulai dari serangan pihak eksternal yang berusaha mengintervensi independesi kekuasaan kehakiman, serangan dari opini publik yang sebagian besar menyatakan tidak puas dengan kinerja lembaga peradilan dan menghujat lembaga peradilan, dan serangan dari internal berupa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur pengadilan yang menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan. Menghadapi serangan yang sedemikian rupa, maka rasanya cocok jika lembaga peradilan mengadopsi filosofi catenaccio: pertahanan yang kokoh bukanlah pilihan, melainkan strategi untuk bertahan dari serangan dan mencari celah untuk menyerang.

Dalam sistem catenaccio, pemain bertahan saling berkomunikasi dengan tenang, bukan dengan teriakan panik yang dapat menciptakan kepanikan antar pemain bertahan. Demikian terhadap lembaga peradilan, setiap serangan yang datang harus dihadapi dengan tenang. Terkadang, saat lembaga peradilan dikritik masyarakat, mungkin karena putusan yang tidak popular di kalangan masyarakat, sebagian besar aparatur pengadilan akan berpikir untuk memberikan klarifikasi. Namun, terkadang “diam” adalah sikap yang tepat menghadapi kritikan tersebut. “Diam” bukan berarti lembaga peradilan mengabaikan serangan tersebut, namun lembaga peradilan harus memikirkan strategi yang tepat untuk menjawab kritikan tersebut. Apabila strategi yang tepat sudah ditemukan, tidak perlu seluruh aparatur pengadilan yang menjawab kritikan tersebut, namun biarlah juru bicara yang menghadapi publik dan menjawab kritikan tersebut.

Sistem catenaccio merupakan sistem yang menuntut pertahanan yang berlapis. Bila dihubungkan dengan lembaga peradilan, maka sistem pada lembaga peradilan harus dilakukan secara berlapis. Misalnya saja jika putusan pada pengadilan Tingkat pertama yang diajukan banding, maka pengadilan tingkat banding harus memastikan bahwa putusan pengadilan tingkat pertama merupakan putusan yang berkeadilan. Demikian juga jika putusan tingkat banding diajukan kasasi, maka Mahkamah Agung harus memastikan bahwa putusan tingkat banding merupakan putusan yang berkeadilan. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa putusan tidak bertentangan dengan nilai keadilan dan kepastian hukum.  

Selain itu “pertahanan” juga dapat dimaknai dengan melakukan pengawasan yang berlapis. Mulai dari pengawasan terhadap kinerja di satuan kerja yang dilakukan oleh pimpinan satuan kerja hingga pengawasan daerah yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi terhadap Pengadilan Negeri. Semua itu perlu dilakukan untuk memastikan bahwa Lembaga peradilan telah melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan sebaik-baiknya sehingga masyarakat dapat memperoleh layanan terbaik.

Sistem catenaccio tidak akan bekerja dengan baik tanpa keberadaan libero. Libero merupakan pemain terakhir yang berdiri dibelakang pemain bertahan lainnya. Libero bukan sekedar pemain bertahan, melainkan pengendali dan pembaca arah permainan. Dalam konteks Lembaga peradilan, peran libero dimainkan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Agung bukan hanya berperan untuk menerima permohonan kasasi, lebih dari itu, Mahkamah Agung bertugas untuk membaca situasi yang ada, baik politik maupun isu yang berkembang dalam masyarakat, untuk kmudian menentukan arah kebijakan sehingga lembaga peradilan dibawahnya memiliki pedoman yang diikuti untuk memastikan lembaga peradilan di bawahnya dapat bekerja dengan baik. 

Meskipun fokus utama catenaccio adalah bertahan, tujuan akhir tetap mencetak gol untuk menciptakan kemenangan. Tim tetap harus mencari cara untuk mencetak gol. Gol tidak perlu banyak, cukup 1 atau 2 gol, namun menentukan kemenangan tim. Bagi lembaga peradilan, “gol” dapat berupa putusan yang berkualitas. 1 putusan yang berkualitas dapat menjawab seluruh kritik dan mengembalikan kepercayaan publik kepada lembaga peradilan. Selain putusan yang berkualitas, “gol” dapat berupa program-program yang berguna masyarakat, seperti layanan sidang keliling, penyuluhan hukum, dan sebagainya. “Kemenangan” bagi lembaga peradilan adalah meningkatnya kepercayaan publik kepada lembaga peradilan.

Pada akhirnya, seperti halnya filosofi catenaccio, lembaga peradilan harus terus mampu bertahan menghadapi berbagai serangan yang ada. Lembaga peradilan adalah benteng terakhir yang menjamin penegakkan hukum dan keadilan, serta memberikan perlindungan, jaminan, dan kepastian hukum yang adil bagi setiap warga negara.