Bagaimana Mengharmonisasikan UU Perikanan dan KUHP Baru: Fondasi Baru Penegakan Hukum Perikanan Indonesia

Selama puluhan tahun, UU Perikanan menjadi rujukan utama untuk menindak berbagai pelanggaran di laut, mulai dari ketiadaan izin
Ilustrasi di hadapan kapal penangkap ikan asing raksasa, nelayan kecil berjuang di lautnya sendiri; di sanalah hukum seharusnya berpihak melindungi yang lemah dan menertibkan yang kuat.. Foto : Ilustrasi oleh penulis
Ilustrasi di hadapan kapal penangkap ikan asing raksasa, nelayan kecil berjuang di lautnya sendiri; di sanalah hukum seharusnya berpihak melindungi yang lemah dan menertibkan yang kuat.. Foto : Ilustrasi oleh penulis

Berangkat dari pengalaman mengikuti Diklat Pendalaman KUHP Tahun 2023, penulis memandang perlu mengajukan satu pertanyaan penting: bagaimana mengharmonisasikan KUHP Nasional (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023) dengan UU Perikanan dalam praktik penegakan hukum Perikanan Indonesia? 

Selama puluhan tahun, UU Perikanan menjadi rujukan utama untuk menindak berbagai pelanggaran di laut, mulai dari ketiadaan izin, penggunaan alat tangkap terlarang, hingga praktik Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. 

Namun, perubahan lanskap kejahatan Perikanan yang semakin kompleks, terorganisir, dan berbasis korporasi menuntut hadirnya pendekatan hukum yang lebih modern dan komprehensif. 

Di sinilah urgensi harmonisasi UU Perikanan sebagai lex specialis dengan KUHP Baru sebagai lex generalis yang menyediakan fondasi pertanggungjawaban pidana yang lebih lengkap.

Secara prinsip, harmonisasi kedua rezim hukum ini bertumpu pada asas lex specialis derogat legi generali. UU Perikanan tetap menjadi dasar utama untuk menentukan “apa” yang merupakan tindak pidana perikanan: operasi tanpa Surat Izin Penangkan Ikan (SIPI) atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), pemadaman AIS (Automatic Identification System) dan VMS (Vessel Monitoring System), penggunaan alat tangkap yang merusak, serta pelanggaran jalur dan zona penangkapan.

KUHP Nasional kemudian hadir melengkapi pada aspek “siapa” yang bertanggung jawab dan “bagaimana” pemidanaannya dilakukan. KUHP Nasional memperkenalkan perangkat pertanggungjawaban pidana modern seperti strict liability, vicarious liability, dan pertanggungjawaban korporasi. 

Seluruhnya sangat relevan dalam konteks kejahatan perikanan kontemporer yang banyak melibatkan struktur usaha berskala besar.

Apabila dianalisis melalui kerangka struktur hukum Lawrence Friedman, harmonisasi ini menyentuh tiga lapisan utama sistem hukum. 

Pada aspek struktur, UU Perikanan memberikan kewenangan operasional kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), Polisi Air (Polair), dan lembaga penegak hukum Perikanan lainnya. 

KUHP Baru memperkuat struktur tersebut dengan menyediakan yurisdiksi pidana yang lebih luas, mekanisme penyitaan, serta pemidanaan terhadap korporasi dan pemilik manfaat (beneficial owner). 

Pada aspek substansi, UU Perikanan merumuskan delik-delik teknis yang spesifik, sementara KUHP Baru menyediakan asas-asas umum dan perangkat pertanggungjawaban modern yang sebelumnya belum dimiliki hukum pidana Indonesia. 

Dari sisi kultur hukum, kombinasi keduanya mendorong perubahan orientasi aparat: tidak lagi berhenti pada penghukuman nakhoda dan ABK, tetapi naik ke level pelaku intelektual dan jaringan korporasi yang menjadi otak kejahatan.

Secara filosofis, integrasi UU Perikanan dan KUHP Baru mencerminkan upaya menyeimbangkan tiga nilai utama hukum: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. UU Perikanan memberikan kepastian melalui rumusan delik yang detail, teknis, dan terukur. 

KUHP Baru mengisi ruang keadilan substantif melalui kemampuannya menjerat pemilik kapal, pemilik modal, pengendali korporasi, dan pihak yang memberi perintah, sehingga beban pidana tidak lagi jatuh pada nakhoda sebagai “tumbal hukum”. 

Dari sisi kemanfaatan, kombinasi instrumen ini menghadirkan daya cegah yang lebih kuat melalui denda kategori tinggi, perampasan kapal, serta pencabutan izin usaha bagi pelaku IUU Fishing.

Ditinjau dari perspektif hierarki hukum (Stufenbau Theory Kelsen dan Nawiasky), kedua undang-undang ini berada pada tingkat yang sama, yakni undang-undang, sehingga relasinya diatur oleh prinsip lex specialis. 

Artinya, UU Perikanan tetap diprioritaskan sebagai dasar perumusan delik, sedangkan KUHP Baru mengatur mekanisme pertanggungjawaban dan pemidanaan untuk memperkuat efektivitasnya. 

Dengan demikian, harmonisasi bukanlah soal memilih “mana yang berlaku”, melainkan bagaimana keduanya dipadukan agar saling menguatkan dalam sistem hukum nasional. UU Perikanan menentukan perbuatannya sedangkan KUHP Nasional mengatur cara negara menegakkan pertanggungjawaban pidananya.

Dalam praktik penegakan hukum, hubungan sinergis ini sangat terasa. Pelanggaran seperti tidak memiliki SIPI, menggunakan alat tangkap terlarang, memasuki kawasan konservasi, atau mematikan alat pemantauan kapal tetap diproses berdasarkan UU Perikanan.

Namun, untuk menjerat aktor intelektual, seperti pemilik kapal, pemilik modal, pengendali perusahaan, pemberi perintah, hingga beneficial owner, KUHP Baru menyediakan instrumen yang efektif, termasuk vicarious liability dan pertanggungjawaban korporasi. 

Dengan perangkat ini, aparat penegak hukum dapat menembus struktur usaha yang kompleks, termasuk perusahaan boneka dan jaringan IUU Fishing lintas negara.

Harmonisasi ini juga sangat strategis untuk menghadapi kejahatan perikanan transnasional. Melalui asas nasional pasif, nasional aktif, dan asas universal, KUHP Baru memperluas yurisdiksi Indonesia untuk menindak kapal asing yang merugikan kepentingan nasional, WNI yang melakukan IUU Fishing di luar negeri, maupun kejahatan internasional seperti piracy atau perdagangan ikan ilegal yang terhubung dengan kejahatan terorganisir. 

Dengan demikian, Indonesia kini memiliki fondasi hukum pidana yang lebih modern untuk merespons dinamika kejahatan Perikanan global.

Penguatan sinergi antara UU Perikanan dan KUHP Baru menandai era baru penegakan hukum perikanan Indonesia. Keduanya bukan hanya kompatibel, tetapi saling membutuhkan. 

UU Perikanan menetapkan apa yang dilarang di laut dan KUHP Baru menyediakan alat untuk menindak siapa yang seharusnya bertanggung jawab. 

Harmoni keduanya menjadi pondasi penting bagi negara dalam menjaga kedaulatan laut, melindungi nelayan, serta memastikan keberlanjutan sumber daya perikanan bagi generasi mendatang, sehingga kekayaan laut dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan Pasal 33 UUD 1945. 

Inilah arah baru penegakan hukum perikanan Indonesia lebih kuat, lebih adil, dan lebih berpihak pada perlindungan laut Nusantara.

Penulis: Unggul Senoadji
Editor: Tim MariNews