Hakim, Penuntut Umum, dan Penasihat Hukum merupakan 3 pilar penting dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Ketiga pilar tersebut memainkan peran sentral dalam penentuan salah atau tidaknya Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Peran sentral tersebut diejawantahkan melalui tugas dan perannya masing-masing, yang dalam pelaksanaannya tetap bertumpu pada pencarian kebenaran materiil.
Pencarian kebenaran materiil dalam sistem peradilan pidana dilakukan melalui proses persidangan dengan berlandaskan pada prinsip fair trail, yaitu prinsip dasar dalam sistem peradilan yang menjamin bahwa semua pihak yang terlibat dalam suatu proses hukum, terutama Tersangka atau Terdakwa, diperlakukan secara adil, setara, dan tidak memihak pada setiap tingkat pemeriksaan.
Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pembelaan, mencegah kesalahan peradilan, dan melindungi hak asasi manusia selama proses hukum berlangsung.
Oleh karena itu, pada proses persidangan, aspek-aspek utama fair trail, khususnya aspek peradilan yang tidak memihak dan mekanisme pembelaan yang efektif wajib menjadi atensi baik oleh Hakim, Penuntut Umum, maupun Penasihat Hukum.
Berjalannya proses persidangan dalam rangka pencarian kebenaran materiil, tidak terlepas dari alat bukti yang dihadirkan pada persidangan. Pada prakteknya, penyajian alat bukti, baik oleh Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum Terdakwa dilakukan sesuai tugas dan perannya masing-masing.
Penuntut Umum, dengan asas dominus litisnya memiliki kewenangan penuh untuk mengendalikan dan mengarahkan seluruh proses penuntutan, sehingga bukti-bukti yang dihadirkan Penuntut Umum berorientasi pada pembuktian adanya kesalahan pada diri Terdakwa.
Sebaliknya, Penasihat Hukum berperan untuk mendampingi, mewakili, dan membela kepentingan Terdakwa, sehingga bukti-bukti yang dihadirkan berorientasi pada hal-hal yang menguntungkan Terdakwa.
Adapun Hakim, berada di antara keduanya yang bersifat netral dalam menilai bukti yang diadu oleh Penuntut Umum dan Penasihat Hukum.
Adanya tugas dan peran yang berbeda, khususnya Penuntut Umum dan Penasihat Hukum seringkali membentuk paradigma, oleh karena Penuntut Umum bertugas melakukan penuntutan, maka fokus utama Penuntut Umum hanya membuktikan adanya kesalahan pada diri Terdakwa, sehingga bukti-bukti yang didapatkan yang sekiranya bersifat meringankan atau menguntungkan Terdakwa sedapat mungkin dikesampingkan.
Begitupun sebaliknya bagi Penasihat Hukum, hanya akan mencari semua bukti yang sekiranya dapat menguntungkan Terdakwa.
Lantas, jika hal tersebut yang terjadi, apakah pencarian kebenaran materiil hanya bertumpu pada hakim semata, ataukah pencarian kebenaran materiil menjadi tugas 3 pilar ini?
Terbentuknya paradigma tersebut wajar terjadi sebagai konsekuensi dari tugas dan peran yang dimiliki oleh masing-masing aparat penegak hukum. Namun, tugas dan peran tersebut harus dilaksanakan dengan berlandaskan pada etika hukum guna mencapai proses peradilan yang adil.
Adanya pelanggaran terhadap etika hukum akan berakibat pada terabainya proses hukum yang adil yang menjadi hak bagi Tersangka atau Terdakwa, seperti halnya pada kasus Brady vs Maryland yang melahirkan doktrin hukum “Brady Rule”.
Singkatnya, Brady Rule lahir dari proses persidangan Terdakwa bernama Brady, yang didakwa pembunuhan tingkat pertama dengan ancaman pidana berupa hukuman mati.
Pada persidangan, Brady mengakui keterlibatannya dalam kejahatan tersebut, tetapi mengklaim bahwa ada seseorang yang bernama Boblit yang melakukan pembunuhan tersebut.
Kuasa hukum dari Terdakwa meminta agar Penuntut Umum mengizinkan untuk memeriksa pernyataan Boblit di luar pengadilan. Oleh Penuntut Umum, beberapa pernyataan diperlihatkan kepadanya, tetapi 1 (satu) pernyataan, dimana Boblit mengakui pembunuhan yang sebenarnya, disembunyikan oleh Penuntut Umum dan tidak diketahui oleh Terdakwa hingga dijatuhi hukuman.
Adanya tindakan tersebut merugikan Terdakwa, hingga akhirnya Mahkamah Agung AS melalui putusannya menyatakan bahwa tindakan menyembunyikan bukti yang meringankan atau menguntungkan Terdakwa telah melanggar Klausul Proses Hukum yang Wajar dalam Amandemen ke-14 Konstitusi AS.
Akibatnya, Brady diberikan persidangan ulang, dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Kasus ini melahirkan Aturan Brady, yang pada pokoknya mewajibkan Penuntut Umum untuk mengungkapkan informasi material yang bersifat membebaskan yang dimiliki pemerintah kepada pihak pembela apabila ada permintaan dari Terdakwa.
Namun, setelah adanya kasus antara United States vs Bagley, telah menghapus persyaratan permintaan ini dan menyatakan bahwa Penuntut Umum memiliki kewajiban konstitusional untuk mengungkap semua informasi material dan menguntungkan yang mereka miliki kepada Terdakwa.
Adanya kasus tersebut menjadi cerminan jika pencarian kebenaran materiil guna mencapai proses peradilan yang adil bagi Tersangka atau Terdakwa tidak hanya bertumpu pada hakim semata, tetapi melekat pula pada Penuntut Umum, dan juga Penasihat Hukum.
Membandingkan dengan sistem peradilan di Indonesia, Doktrin Brady Rule atau yang dikenal dalam sistem hukum negara-negara anglo saxon dengan sebutan exculpatory evidence, tidak diatur secara eksplisit dalam satu pasal tertentu, tetapi penerapannya secara tidak langsung dapat dilihat pada asas praduga tak bersalah serta beberapa pasal yang mengatur tentang hak-hak Tersangka atau Terdakwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Meskipun tidak ada kewajiban Penuntut Umum untuk memberikan informasi terkait bukti yang menguntungkan Terdakwa kepada pihak pembela, layaknya doktrin Brady Rule, tetapi pengungkapan fakta material tetap menjadi kewajiban bagi semua pihak, baik Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum guna mencapai kebenaran materiil.
Penyajian bukti-bukti yang bersifat konkrit dan jujur oleh para pihak tentunya memberikan kemudahan bagi Hakim untuk menemukan kebenaran materiil dari suatu peristiwa yang didakwakan kepada Terdakwa.
Begitu pula bagi Hakim, asas hakim bersifat aktif dalam proses persidangan pidana juga memberikan kewenangan bagi hakim untuk meninjau bahkan meminta bukti-bukti kepada para pihak untuk menemukan kebenaran materiil.
Namun, hal itu akan semakin mudah tercapai jika semua pihak, baik Hakim, Penuntut Umum, maupun Penasihat Hukum dalam melaksanakan tugas dan perannya, berorientasi pada pencarian kebenaran materiil, dengan berlandaskan pada aspek-aspek utama etika hukum, yaitu berperilaku professional dan menjunjung tinggi nilai integritas, kejujuran serta keadilan.