Dilema Perjanjian yang Dapat Dibatalkan dan Batal Demi Hukum

Perjanjian sangat penting, karena memberi kepastian hukum, melindungi hak serta kewajiban para pihak, berfungsi sebagai alat bukti, dan menyajikan kerangka kerja untuk penyelesaian perkara.
Ilustrasi perjanjian. Foto : Pexels/Pixabay
Ilustrasi perjanjian. Foto : Pexels/Pixabay

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), perjanjian merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan kewajiban dan hak antara dua pihak atau lebih, yang didasarkan pada kesepakatan serta memenuhi empat syarat sah menurut Pasal 1320 KUHPerdata, yakni kesepakatan (kata sepakat), kecakapan, suatu hal tertentu, dan sebab yang halal. 

Perjanjian yang sah berlaku seperti undang-undang bagi para pihaknya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.  

Perjanjian sangat penting, karena memberi kepastian hukum, melindungi hak serta kewajiban para pihak, berfungsi sebagai alat bukti, dan menyajikan kerangka kerja untuk penyelesaian sengketa. 

Tanpa perjanjian, aktivitas bisnis dan kerja sama, akan tidak mempunyai dasar yang jelas, rentan terhadap konflik, serta tidak ada perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat.

Penggunaan perjanjian dalam dunia bisnis mencakup berbagai transaksi, seperti pembelian barang, kerja sama proyek, investasi, utang?piutang, atau pembagian keuntungan. 

Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian juga dapat dibuat untuk keperluan lain di luar bisnis, seperti perjanjian kerja sama, sewa-menyewa, atau kesepakatan lain yang melibatkan dua orang atau lebih.  

Apabila tidak ada perjanjian, akibatnya adalah terjadinya ketidakpastian hukum, kesulitan pembuktian, kerentanan terhadap kesalahpahaman, serta risiko kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat, karena tidak ada dasar hukum yang jelas untuk penyelesaian sengketa.  

Perbedaan antara Perjanjian yang Batal Demi hukum dan Dapat dibatalkan

Dalam praktik hukum, penting untuk membedakan antara perjanjian yang batal demi hukum dan perjanjian yang dapat dibatalkan. Keduanya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, baik dari segi keberlakuan maupun cara penanganannya secara yuridis.

Berdasarkan keempat syarat sah perjanjian tersebut di atas, masing-masing terbagi menjadi dua jenis syarat. 

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut kesepakatan dan kecakapan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sementara syarat berikutnya disebut syarat objektif yang berkenaan dengan suatu hal tertentu dan sebab yang halal karena menyangkut objek perjanjian.  

Perjanjian dapat dibatalkan 

Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan), akibatnya perjanjian dapat dibatalkan. Arti perjanjian dapat dibatalkan atau *voidable* ialah salah satu pihak dapat meminta pembatalan.

Perjanjian tetap mengikat kedua belah pihak, selama belum dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan (pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak memberikan persetujuan secara bebas atas kehendak sendiri).  

Kesepakatan para pihak berarti harus ada persetujuan atau persetujuan bersama, yang dibuat tanpa paksaan atau tekanan, melainkan atas dasar kehendak sendiri. 

Hal ini, juga ditegaskan kembali dalam Pasal 1321 KUHPerdata bahwa “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan, jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.  

Sedangkan ketidakcakapan, sebagaimana Pasal 1330 KUHPerdata antara lain anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang?undang, serta pada umumnya semua orang yang oleh undang?undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.  

Jadi secara singkat, apabila perjanjian yang telah dibuat tidak memenuhi syarat subjektif tersebut, perjanjian tidak serta-merta batal demi hukum, melainkan harus dimintakan pembatalan ke pengadilan. 

Perjanjian dapat dibatalkan merupakan akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif sebagai syarat sah perjanjian. Cara pengajuannya di pengadilan adalah dengan mengajukan gugatan, sehingga pengadilan akan mengeluarkan putusan konstitutif yang mengikat untuk membatalkan perjanjian tersebut. 

Perlu diperhatikan mengenai kewenangan absolut dan relatif dalam mengajukan gugatan pembatalan perjanjian, karena gugatan tersebut harus diajukan di tempat perjanjian dibuat dan diajukan ke Pengadilan Negeri.  

Perjanjian batal demi hukum  

Perjanjian batal demi hukum berarti perjanjian tidak pernah ada, sehingga tidak pernah menimbulkan suatu perikatan. Batal demi hukum juga dikenal dengan istilah “null and void”. 

Perjanjian batal demi hukum merupakan akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal) sebagai syarat sah perjanjian.  

Suatu hal tertentu dalam syarat perjanjian, agar dinyatakan sah adalah objek perjanjian, yaitu prestasi seperti memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata. 

Singkatnya, prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur dalam suatu perjanjian. Sedangkan sebab terlarang menurut Pasal 1337 KUHPerdata, adalah sebab yang dilarang oleh undang?undang atau yang bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.

Produk perjanjian batal demi hukum adalah perjanjian yang dianggap tidak pernah ada sejak awal dan tidak memiliki kekuatan mengikat, karena tidak memenuhi syarat objektif sah perjanjian, seperti objek atau sebab yang dilarang. 

Untuk menghasilkan putusan pengadilan yang menyatakan batal demi hukum, pihak terkait perlu mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri untuk pembatalan perjanjian, yang kemudian berdasarkan Pasal 1451 dan 1452 KUHPerdata, putusannya akan mengembalikan posisi para pihak ke keadaan semula, seolah?olah tidak pernah ada perjanjian sama sekali.  

Kesimpulan  

Penting bagi para pihak yang hendak membuat perjanjian untuk memahami unsur-unsur hukum secara mendalam, agar tidak terjebak pada perjanjian yang tidak memberikan perlindungan hukum atau bahkan merugikan. 

Pemahaman terhadap ketentuan terkait perjanjian dalam KUHPerdata, serta mengetahui praktik-praktik hukum merupakan langkah preventif dalam menjamin keabsahan dan keberlakuan suatu perjanjian.

Penulis: Fuadil Umam
Editor: Tim MariNews