Problematika Ekspor Pangan Indonesia : Memahami Aturan dan Mengantisipasi Penolakan Produk

Aktivitas perdagangan internasional tersebut, dilakukan baik dalam bentuk menjual atau mengirimkan barang dan/atau jasa
ilustrasi aktovitas ekspor. foto : Freepik.com
ilustrasi aktovitas ekspor. foto : Freepik.com

Perdagangan barang dan jasa lintas negara merupakan salah satu aktvitas ekonomi yang sering dilakukan berbagai negara. 

Aktivitas ini, dilandasi keunggulan dan kebutuhan yang beragam di setiap negara, sehingga saling membutuhkan satu sama lain. 

Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dalam negeri, meningkatkan pendapatan negara (devisa), serta memperluas jangkauan pasar. 

Aktivitas perdagangan internasional tersebut, dilakukan baik dalam bentuk menjual atau mengirimkan barang dan/atau jasa dari dalam negeri ke luar negeri (ekspor), maupun sebaliknya, membeli dan memasukkan barang dan/atau jasa dari luar negeri ke dalam negeri (impor).

Dikarenakan setiap negara memiliki keunggulan dan kebutuhan yang beragam, maka barang dan/atau jasa yang dibutuhkan, maupun produk-produk yang dihasilkan juga beragam, sehingga aktivitas ekspor dan impor antar negara juga akan berbeda. 

Aktivitas dimaksud, tergantung kebutuhan setiap negara. Indonesia, sebagai salah satu negara yang memiliki keunggulan Sumber Daya Alam (SDA) memanfaatkan keunggulan tersebut, guna memenuhi permintaan pasar internasional dengan melakukan aktivitas ekspor berbagai komoditas unggulan, yaitu sektor pertambangan dan energi (minyak sawit, batu bara), maupun sektor pertanian dan perikanan. 

Ekspor, adalah salah satu pilar utama dalam perekonomian global yang memiliki peran sentral dalam kemajuan suatu negara. 

Tantangan globalnya, kegiatan bisnis dihadapkan pada kompleksitas permasalahan dan persyaratan yang harus dipenuhi, khususnya kepatuhan pada peraturan perdagangan internasional, serta memerhatikan kebiasaan perdagangan internasional. 

Salah satu tantangan yang seringkali dihadapi ekspor adalah kualitas produk yang dihasilkan, apakah telah sesuai dengan standar internasional yang berlaku di negara tujuan.

Di Indonesia, masalah kualitas produk bukanlah hal baru. Penolakan barang dan penarikan peredaran oleh negara tujuan ekspor kerap terjadi. 

Berdasarkan penelusuran media cetak dan elektronik, terkait pemberitaan kasus ekspor di Indonesia, ditemukan beberapa kasus penarikan barang dan/atau komoditas oleh negara tujuan, diantaranya otoritas keamanan pangan Hong Kong (CFS) yang menarik produk mie instan goreng rasa ayam pedas ala Korea merek Mie Sedaap, karena terdeteksi mengandung residu pestisida Eto yang ditemukan pada mie kering, bubuk cabe, dan bumbu mie instan dimaksud. 

Selain Hong Kong, Badan Pangan Singapura (SFA) dan Kementerian Kesehatan Thailand juga menarik produk Mie Sedaap Korea Spicy Food dan Mie Sedaap Korean Spicy pada kode produksi tertentu. 

Produk pangan lain yang kerap ditolak di luar negeri yakni sektor perikanan. 

Belum lama ini Amerika Serikat (AS) menarik produk udang beku dari Indonesia setelah Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan AS menemukan kontaminasi bahan radioaktif Cesium-137 pada udang ekspor asal Indonesia. 

Kondisi ini menunjukkan bahwa masih terdapat tantangan, khususnya sisi standardisasi dan pengendalian mutu terhadap barang ekspor, terutama produk pangan dari Indonesia. 

Lantas, Bagaimana aturan hukum terkait kegiatan ekspor produk pangan di Indonesia, khususnya mengenai kualitas produk pangan yang akan diedarkan?

Berdasarkan Pasal 64 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang mengubah beberapa ketentuan Pasal Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan), salah satunya Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 1 Angka 24.

Sebagai komoditas yang berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia, kegiatan ekspor pangan diatur secara ketat oleh pemerintah Indonesia melalui undang-undang dan berbagai peraturan turunannya. 

Tanggung jawab eksportir telah diatur secara tegas, dalam Pasal 35 ayat (1) UU Pangan yang menjelaskan “Setiap Orang yang mengekspor Pangan bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan Gizi Pangan yang dipersyaratkan negara tujuan”. 

Ketentuan ini, menempatkan tanggung jawab luas pada pundak eksportir dan tidak hanya terbatas pada kepatuhan terhadap regulasi domestik, tetapi juga mencakup kepastian bahwa produk diterima dan aman di negara tujuan.

Berbicara mengenai sisi regulasi kegiatan ekspor pangan, kerangka hukum terkait kegiatan tersebut dilaksanakan oleh beberapa lembaga pemerintah yang memiliki peran dan kewenangan berbeda, tetapi saling berhubungan dan melengkapi satu sama lain.
 
Secara umum, peran dan kewenangan lembaga penting dalam kegiatan ekspor pangan dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel perdagangan. Foto ; dok penulis
 
Sesuai uraian pada tabel tersebut di atas, terlihat bahwa hal-hal yang berkenaan dengan kualitas produk pangan, yang akan diedarkan atau di ekspor dari Indonesia menjadi tugas dari lembaga atau badan tertentu sesuai dengan jenis pangan. 

Untuk obat, makanan, dan pangan olahan menjadi tugas dari BPOM. Peran BPOM sangat vital dalam memastikan pangan olahan yang diekspor memenuhi standar keamanan, mutu, dan gizi. 

Sedangkan produk pangan olahan, eksportir wajib memiliki Surat Keterangan Ekspor (SKE) dari BPOM. SKE tersebut dapat berupa Health Certificate (HC), yaitu sertifikat yang menyatakan bahwa produk layak dikonsumsi manusia dan terdaftar di BPOM dan Free Sale Certificate (FSC).

Bahwa Free Sale Certificate (FSC), adalah sertifikat yang menyatakan produk diperdagangkan di Indonesia dan aman untuk konsumsi manusia. 

Adapun produk pangan segar berbasis tumbuhan dan hewan menjadi peran dari Badan Karantina Pertanian (Barantan) di bawah Kementerian Pertanian. 

Barantan bertugas untuk memastikan produk ekspor bebas dari hama dan penyakit yang dapat membahayakan ekosistem negara tujuan.

Seringkali kesalahan umum yang terjadi, adalah mengasumsikan semua produk pangan memiliki alur perizinan yang sama. 

Namun, dalam prakteknya, terdapat perbedaan fundamental antara ekspor pangan segar dan pangan olahan, baik dari lembaga pengawas utama dan jenis sertifikasi yang dibutuhkan. 

Pangan segar, meliputi buah, sayuran, dan bahan lain yang belum melalui proses pengolahan berada di bawah kewenangan Kementerian Pertanian dan Barantan. 

Fokus pengawasannya adalah pada aspek fitosanitasi dan keamanan hayati untuk mencegah penyebaran hama, penyakit, dan organisme pengganggu tumbuhan. 

Oleh karena itu, dokumen utama yang dibutuhkan adalah Phytosanitary Certificate (PC). 

Sebaliknya, pangan olahan, seperti makanan kaleng, mi instan, atau kue kering, berada di bawah yurisdiksi BPOM. 

Fokus pengawasannya, adalah pada aspek keamanan produk, mutu, gizi, dan kepatuhan terhadap standar industri, termasuk penggunaan bahan tambahan dan kebersihan fasilitas produksi. 

Dokumen utamanya adalah SKE dari BPOM, yang memastikan produk tersebut aman dikonsumsi manusia. 

Pemahaman yang jelas terhadap perbedaan ini sangat penting, agar eksportir tidak membuang waktu dan sumber daya dalam mengurus dokumen yang tidak relevan.

Hal yang perlu dipahami pula, semua bentuk sertifikasi dan dokumen sebagaimana uraian di atas, tentunya harus disesuaikan dengan negara tujuan eksportir, karena setiap negara tujuan memiliki peraturan dan persyaratan dokumen berbeda-beda. 

Setiap negara memiliki kebijakan perdagangan internasional yang unik, sehingga memungkinkan setiap negara tujuan meminta dokumen tambahan yang spesifik untuk jenis barang tertentu. 

Hal ini dapat dilihat dari daftar negara-negara penerima produk ekspor dari Indonesia melalui situs resmi LAMANSITU dari Kementerian Perdagangan, yang memuat regulasi teknis setiap negara tujuan. 

Oleh karena itu, para eksportir wajib memerhatikan persyaratan mutu dan regulasi teknis terkait produk di setiap negara tujuan agar kasus penolakan atau penarikan produk-produk pangan oleh negara lain tidak terulang lagi.

Penulis: Giovani
Editor: Tim MariNews