Menakar Alternatif Pemidanaan dalam KUHP Terbaru: Fleksibilitas Hakim dalam Pemidanaan

KUHP terbaru hadir dengan membawa paradigma baru melalui alternatif pemidanaan seperti pidana pengawasan, pidana kerja sosial, pidana denda yang lebih fleksibel serta pidana bersyarat.
Ilustrasi gambar dari literasihukumdotco. Sumber: DALLE
Ilustrasi gambar dari literasihukumdotco. Sumber: DALLE

Langkah progresif dalam reformasi hukum pidana nasional ditandai dengan lahirnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023.

Dalam KUHP terbaru yang akan mulai berlaku pada tahun 2026 tersebut, terdapat aspek yang menarik untuk dikaji yaitu, mengenai perluasan bentuk-bentuk pemidanaan yang tidak hanya menitik beratkan pada pemidanaan yang bersifat retributif berupa pemenjaraan, namun juga mencakup alternatif pemidanaan yang lebih humanis serta kontekstual.

Hal tersebut tentu memberikan “ruang gerak” yang lebih dinamis bagi hakim dalam menjatuhkan atau menentukan jenis hukuman yang sesuai dengan perbuatan seorang terdakwa, yang tidak hanya bersifat represif namun juga dapat bermuatan korektif, restoratif dan konstruktif-sosial.

Fleksibilitas ini, tentu menjadi krusial untuk dapat menghasilkan putusan dengan vonis pemidanaan yang sesuai dengan kebutuhan dari sisi rehabilitasi pelaku, sisi preventif bagi perlindungan untuk masyarakat umum dan tentu saja sisi keadilan bagi korban tindak pidana.

Transformasi Paradigma Pemidanaan

Dalam KUHP lama, pemidanaan berfokus pada bentuk pemidanaan yang bersifat retributif berupa pidana pokok, yaitu pidana mati, penjara, kurungan, pembayaran sejumlah denda, dan pidana tutupan serta pidana tambahan seperti misalnya pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.

Dengan semakin berkembangannya ilmu hukum dan permasalahan-permasalahan penegakan hukum yang timbul saat ini, sistem pemidanaan tersebut dianggap sudah tidak dapat menjadi solusi terbaik bagi penegakan hukum di Indonesia. KUHP terbaru hadir dengan membawa paradigma baru melalui adanya alternatif pemidanaan seperti pidana pengawasan, pidana kerja sosial, pidana denda yang lebih fleksibel serta pidana bersyarat.

Pemidanaan yang bersifat retributif selama ini menjadi solusi atau pendekatan yang dianggap cocok untuk semua situasi perkara pidana, meskipun hal ini pada akhirnya sudah dianggap tidak efektif atau sesuai dengan kebutuhan penegakan hukum pada saat ini.

Dengan adanya alternatif pemidanaan, hakim diberikan keweangan untuk menimbang variable-variabel lain seperti potensi perdamaian atau rekonsiliasi antara terdakwa dengan korban tindak pidana, motif terdakwa ketika melakukan tindak pidana, kerugian yang ditimbulkan akibat terjadinya tindak pidana, usia terdakwa dan lain sebagainya.

Misalnya, ketika seseorang melakukan tindak pidana ringan, hukuman dalam bentuk pidana kerja sosial mungkin akan lebih sesuai dibandingkan dengan hukuman penjara yang terkadang justru dapat menyebabkan pelaku tersebut justru semakin terjerumus kedalam dunia kriminal lain yang lebih serius.

Hakim dan Peran Utama Dalam Penegakan Hukum 

KUHP terbaru tidak hanya memuat alternatif pemidanaan sebagaimana tersebut di atas, tetapi juga memposisikan hakim sebagai kunci untuk dapat menyelesaikan perkara pidana dengan vonis yang sesuai dengan kondisi atau kebutuhan konkret para pihak dalam perkara pidana.

Fleksibilitas dalam menentukan model pemidanaan mana yang sesuai menjadikan hakim sebagai pemeran utama yang diharapkan dapat menyeimbangkan antara asas kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan dalam penegakan hukum pidana.

Oleh karena itu, hakim diharapkan tidak hanya berpedoman pada norma hukum tekstual saja tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, moral dan psikologis para pihak dalam memutus perkara tindak pidana.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah kewenangan hakim sebagaimana tersebut diatas memiliki tantangan tersendiri. Tanpa pedoman dan pengawasan yang tepat, kebebasan hakim dalam menjatuhkan vonis pemidanaan tersebut dapat menimbulkan disparitas pemidanaan.

Sangat penting bagi Mahkamah Agung untuk menyusun pedoman untuk menjatuhkan pemidanaan berdasarkan KUHP terbaru secara rinci serta mengadakan pembinaan, pelatihan maupun diskusi khusus bagi para hakim agar dapat memiliki pemahaman dan sensitivitas yang mendalam terhadap berlakunya KUHP baru pada 2026. 

Awal Perjalanan Menuju Sistem Peradilan yang Adil dan Beradab

Konsep pendekatan restoratif yang belakangan berkembang dalam wacana penegakan hukum pidana seakan menemukan momentumnya untuk dapat diimplementasikan secara nyata. Alternatif pemidanaan dalam KUHP terbaru menjadi refleksi bagi harapan dan semangat untuk menghadirkan sistem peradilan pidana yang lebih humanis. Pemidanaan bukan lagi soal eye for an eye, tetapi lebih berorientasi kepada pemulihan hubungan sosial dan mencegah perbuatan pidana serupa terulang di kemudian hari.

Terdapat harapan nyata ketika alternatif pemidanaan dalam KUHP terbaru dapat diterapkan dalam sistem peradilan pidana, hal tersebut dapat berpotensi mengurangi overkapasitas lembaga pemasyarakatan yang selama ini menjadi problematika yang nyata. Selain itu, masyarakat juga diharapkan dapat melihat jika proses hukum tidak semata menakutkan, melainkan juga mendidik dan pada akhirnya dapat membangun kesadaran hukum kolektif masyarakat Indonesia.

Reformasi penegakan hukum yang terkandung dalam KUHP terbaru memberikan fleksibilitas kepada hakim dalam menjatuhkan pemidanaan. Hal tersebut merupakan langkah besar dan krusial untuk mengubah paradigma pemidanaan di Indonesia. Namun, keberhasilan implementasi alternatif pemidanaan tersebut juga tergantung pada kesiapan dan kesigapan aparat penegak hukum, terutama hakim, serta dukungan dari sistem peradilan yang konsisten dan akuntabel.

Dengan pendekatan yang seimbang antara keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, pemidanaan dalam KUHP baru dapat menjadi instrumen yang efektif untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab.
 

Penulis: Dio Dera Darmawan
Editor: Tim MariNews