Peradilan agama di Indonesia memiliki sejarah yang kaya, terjalin erat dengan perkembangan Islam dan perjuangan bangsa. Dari lembaga sederhana di masa kerajaan hingga menjadi pilar kekuasaan kehakiman yang setara, perjalanan peradilan agama adalah cerminan ketahanan dan adaptasi.
Hukum Islam (syariat) dikenal sebagai sistem hukum yang sangat komprehensif. Tidak hanya mengatur urusan ibadah ritual seperti salat, puasa, dan haji, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan-mulai dari sosial, ekonomi, hingga politik.
Dalam konteks ekonomi dan perdagangan, misalnya, hukum Islam melalui fikih muamalah memberikan panduan rinci untuk memastikan keadilan, etika, dan keberkahan dalam setiap transaksi. Syariat Islam juga secara jelas mengatur urusan perdata (privat) seperti perkawinan, kelahiran, pengasuhan anak, kewarisan, hingga tata cara pembagian waris. Selain itu, hukum pidana Islam (jinayah) juga diterapkan secara terbatas di wilayah tertentu seperti Aceh.
Tidak hanya berhenti di situ, hukum Islam juga menjadi landasan dalam pengembangan hukum ekonomi syariah, yang saat ini terus berkembang dan diadopsi dalam sistem peradilan di Indonesia, khususnya untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap praktik ekonomi yang sesuai prinsip syariah.
Sejarah Awal dan Masa Kolonial
Jauh sebelum Indonesia merdeka, hukum Islam sudah diterapkan di berbagai kerajaan. Para qadhi atau hakim agama berperan menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, perceraian, waris, dan wakaf. Hukum Islam dijalankan sebagai bagian dari hukum adat atau hukum kerajaan.
Contohnya pada saat kerajaan Mataram Islam, Kerajaan Aceh, Kerajaan Banten, Kerajaan Cirebon, Kerajaan Banjar dan banyak Kerajaan Islam lainnya, terlebih yang menjalin hubungan erat dengan Kekhalifahan Turki Usmani.
Pada masa kejayaan Kesultanan Aceh Darussalam, peradilan Islam sudah menjadi pilar utama pemerintahan. Lembaga peradilan tertinggi saat itu disebut Qadhi Malikul Adil, yang bertindak sebagai hakim agung di Ibu Kota Kerajaan Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Di setiap daerah, ada Qadhi Uleebalang yang bertugas menyelesaikan perkara di wilayahnya.
Para qadhi ini, diangkat dari kalangan ulama yang mumpuni, menunjukkan betapa pentingnya pemahaman mendalam terhadap syariat Islam dan Hukum Islam dalam sistem hukum Aceh, baik perdata maupun pidana (jinayah). Peradilan pada masa tersebut, tidak hanya menangani masalah keluarga, tetapi juga memberikan fatwa dan nasihat kepada sultan.
Pada masa pendudukan Jepang, untuk merangkul masyarakat Aceh, status peradilan agama di Aceh kembali diperkuat. Jepang mengeluarkan Atjeh Syu Rei Nomor 12 pada 1944 yang secara khusus mengatur tentang Syukyo Hooin (Mahkamah Agama) di Aceh. Regulasi tersebut, menunjukkan pengakuan formal terhadap lembaga peradilan Islam yang unik di Aceh.
Pada saat kolonial Belanda berkuasa, peradilan agama sering mengalami pembatasan yang signifikan. Pemerintah kolonial berusaha mengontrol dan meminggirkan hukum Islam melalui berbagai kebijakan. Puncak dari upaya ini adalah penerbitan Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Nomor 153 pada 1 Agustus 1882.
Staatsblad ini mengatur pembentukan "Priesterraad" (Dewan Ulama) atau Raad Agama untuk wilayah Jawa dan Madura. Meskipun pembentukannya merupakan bagian dari politik kolonial untuk mengendalikan umat Islam, peraturan ini secara tidak langsung melegitimasi keberadaan lembaga peradilan agama. Priesterraad diberikan kewenangan terbatas untuk menyelesaikan perkara pernikahan, perceraian, dan rujuk. Namun, putusannya tidak memiliki kekuatan eksekutorial dan harus diajukan ke pengadilan umum (landraad) untuk dieksekusi.
1 Agustus 1882 dipilih sebagai Hari Jadi Peradilan Agama karena memiliki makna historis yang penting. Pada tanggal ini, pemerintah kolonial Hindia Belanda secara resmi mengakui eksistensi lembaga peradilan agama melalui penerbitan Staatsblad 1882 Nomor 152 dan 153. Meskipun kewenangannya masih sangat terbatas dan berada di bawah kendali kolonial, pengakuan ini menjadi tonggak awal dalam sejarah panjang perjuangan Peradilan Agama di Indonesia.
Berikut penjelasan lebih rinci mengenai pentingnya tanggal tersebut:
1. Lahirnya "Priesterraad" atau Raad Agama
Melalui Staatsblad 1882 Nomor 152, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan peraturan mengenai keberadaan peradilan agama di wilayah Jawa dan Madura. Lembaga ini dikenal dengan nama Priesterraad atau Raad Agama. Selanjutnya, Staatsblad 1882 Nomor 153 menetapkan, peraturan tersebut mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 1882. Momen ini menjadi penanda resmi terbentuknya lembaga peradilan agama yang terstruktur di bawah sistem hukum kolonial.
2. Titik Awal Perjuangan Peradilan Agama
Meskipun didirikan oleh pemerintahan kolonial dan memiliki kewenangan terbatas, keberadaan Priesterraad menjadi pijakan awal bagi perjuangan tokoh-tokoh bangsa dalam memperkuat posisi peradilan agama di masa mendatang. Dari sinilah mulai dirintis jalan menuju pengakuan peradilan agama sebagai bagian integral dari sistem hukum nasional Indonesia.
Perjuangan Menuju Kemerdekaan dan Kesetaraan
Setelah Indonesia merdeka, Peradilan Agama menghadapi tantangan baru. Meskipun Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjamin kekuasaan kehakiman, status peradilan agama masih belum setara dengan peradilan umum. Peradilan Agama berada di bawah Kementerian Agama, sementara peradilan lainnya berada di bawah Mahkamah Agung. Kondisi tersebut, menciptakan dualisme pengawasan yang menghambat kemandirian lembaga.
Perjuangan untuk menjadikan peradilan agama sebagai bagian integral dari kekuasaan kehakiman semakin kuat. Para Hakim Agama, ulama, dan politisi terus berupaya mendorong reformasi. Hasilnya adalah lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-undang ini menjadi tonggak sejarah yang sangat penting karena:
- Menegaskan status peradilan agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman.
- Memberikan wewenang eksekutorial terhadap putusannya, sehingga tidak lagi bergantung pada pengadilan umum.
- Menetapkan struktur Pengadilan Agama yang hierarkis, dari Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, hingga Mahkamah Agung.
Perkembangan Terkini dan Sumber-Sumber
Perjuangan peradilan agama mencapai puncaknya pada 2004, ketika diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini menyatukan semua peradilan (umum, agama, militer, dan tata usaha negara) di bawah satu atap, yaitu Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dengan demikian, peradilan agama secara resmi menjadi lembaga peradilan yang mandiri dan setara dengan peradilan lainnya.
Sumber-sumber:
- Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Nomor 153.
- Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 24.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Website Resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung: www.badilag.mahkamahagung.go.id.
- Buku karya Prof. Dr. Abdul Manan, S.H., S.I.P., M.Hum., "Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia".
Penulis: M. Hendra Cordova Masputra dan Rizka Arsita Amalia