Salah satu bentuk implementasi norma hukum dalam aktivitas sosial manusia, adalah perjanjian. Bahwa dalam perjanjian, dua subjek hukum bersepakat mengikatan diri guna melakukan sesuatu, memberikan sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian sendiri termasuk dalam suatu perikatan, bersamaan dengan perikatan yang lahir didasarkan undang-undang, sesuai Pasal 1234 KUHPerdata. Secara prinsip subjek hukum yang mengikatkan diri dengan pihak lainnya, untuk kepentingan subjek hukum tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 1315 KUHPerdata.
Namun, dapat diperbolehkan dengan persyaratan ketat, subjek hukum dapat membentuk perjanjian, dengan catatan pihak ketiga yang akan memenuhi prestasi (melaksanakan perjanjian) untuk kepentingan subjek hukum yang mengikatkan diri. Dalam perjanjian tersebut, seandainya pihak ketiga wanprestasi, penuntutan ganti rugi dapat dibebankan kepada subjek hukum yang berjanji, berdasarkan Pasal 1316 KUHPerdata.
Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, menjelaskan akibat hukum dari dibentuknya perjanjian, subjek hukum wajib melaksanakannya dan berlaku seperti undang-undang yang mengikat para pihak, serta didasarkan itikad baik. Penarikan atau pembatalan perjanjian, hanya dapat dilaksanakan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Selain mengatur yang tegas diuraikan dalam perjanjian, di mana prinsip keadilan dan kebiasaan yang hidup di masyarakat, jadi pedoman pelaksanaan perjanjian (vide Pasal 1339 KUHPerdata).
Dalam penyusunan perjanjian, para pihak yang mengikatkan diri secara imperative mempedomani syarat subjektif dan objektif sahnya perjanjian, sesuai Pasal 1320 KUHPerdata.
Adapun bagi pihak dalam perjanjian, yang ingkar janji (wanprestasi) yakni diwajibkan untuk melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga akibat tidak dipenuhinya perjanjian, sebagaimana ketentuan Pasal 1243 KUHPerdata.
Penilaian terhadap pihak yang dinyatakan lalai, setelah melalui surat perintah atau akta sejenisnya, selain itu dapat didasarkan ketentuan waktu yang diatur dalam perjanjian (vide Pasal 1238 KUHPerdata).
Surat perintah atau akta yang menyatakan subjek hukum lainnya lalai dalam memenuhi perjanjian, disebut juga dalam praktek peradilan sebagai surat teguran atau somasi.
Terhadap surat teguran dan somasi dimaksud, menimbulkan pertanyaan bagi para praktisi dan akademisi hukum, yakni apakah bentuk dari somasi berupa akta autentik yang dibuat oleh pejabat berwenang atau dapat berupa akta dibawah tangan? Demikian juga, apakah diwajibkan terlebih dahulu sebelum mengajukan gugatan wanprestasi untuk melakukan teguran atau somasi mengenai kelalaian salah satu pihak dalam melaksanakan perjanjian?
Guna menjawab dua pertanyaan diatas, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 852 K/Sip/1972 yang diputus oleh Majelis Hakim Agung Prof R Soebekti, S.H. (Ketua Majelis) dengan didampingi D.H. Lumbanradja, S.H. dan Sri Widojati Wiratmo Soekito, S.H. (masing-masing sebagai Hakim Anggota).
Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 852 K/Sip/1972 menegaskan,
permintaan untuk memenuhi perjanjian tidak diharuskan berdasarkan surat teguran yang disampaikan oleh juru sita pengadilan.
Selain itu, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 117 K/Sip/1956, yang diputus oleh Majelis Hakim Agung RI dengan Ketua Majelis Mr. R. Wirjono Prodjodikoro bersama Hakim Anggota Sutan Kali Malikul Adil, S.H. dan Mr. M.H. Tirtaamidjaja menjelaskan, surat gugatan yang telah diberitahukan kepada tergugat dapat dipandang sebagai surat penagihan atau teguran.
Berdasarkan kedua putusan tersebut, dapat disimpulkan:
1. Surat teguran atau somasi yang menyatakan salah satu pihak lalai dalam memenuhi perjanjian tidak harus dibuat dalam bentuk akta autentik.
2. Apabila somasi atau teguran tidak diajukan sebelum pendaftaran gugatan, gugatan tidak otomatis dinyatakan tidak dapat diterima.
3. Gugatan yang telah disampaikan kepada tergugat dianggap sudah menjadi bentuk teguran untuk memenuhi perjanjian.
Kedua putusan Mahkamah Agung RI ini, telah menjadi yurisprudensi, sebagaimana tercatat dalam buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia Seri II: Hukum Perdata dan Acara Perdata.
Yurisprudensi ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi para hakim dalam menangani perkara serupa, sekaligus menambah wawasan hukum bagi masyarakat dan praktisi hukum.