Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak guru yang harus berurusan dengan hukum. Ironisnya, sebagian besar kasus itu justru bermula dari aktivitas mereka ketika menjalankan profesinya, profesi yang sejak dulu kita sebut mulia karena mengemban tugas mencerdaskan bangsa.
Persoalan ini menuntut solusi yang tidak hanya legal, tetapi juga manusiawi, termasuk melalui penerapan restorative justice bagi kasus-kasus tertentu agar tidak menimbulkan luka sosial yang berkepanjangan bagi keluarga guru maupun komunitas pendidik lainnya.
Laporan-laporan yang menyeret guru ke ranah pidana memang beragam. Namun pada pokoknya, ada dua jenis laporan yang paling sering muncul: dugaan kekerasan terhadap siswa dan dugaan pelecehan seksual.
Karena melibatkan anak-anak, pasal yang digunakan pun biasanya berkaitan dengan perlindungan anak, selain pasal pidana umum.
Dalam sebagian kasus, laporan tersebut benar adanya. Jika seorang guru terbukti melakukan kekerasan atau pelecehan terhadap anak didiknya, maka proses hukum adalah konsekuensi niscaya. Profesi mulia itu tidak boleh dijadikan tameng untuk menyakiti atau memanfaatkan pihak yang seharusnya dilindungi.
Penegakan hukum yang tegas harus dilakukan agar tidak menodai martabat profesi guru secara keseluruhan. Kita tentu tidak ingin masyarakat memandang sekolah sebagai tempat yang tidak aman bagi anak-anak.
Namun, tidak sedikit pula laporan yang sebenarnya bernuansa kriminalisasi. Guru dilaporkan bukan karena kehendak jahat, tetapi karena kesalahpahaman, emosi sesaat orang tua, atau interpretasi keliru terhadap tindakan pendisiplinan dan pembinaan.
Dalam kasus seperti ini, proses pidana sering tidak dilakukan secara proporsional. Guru yang dilaporkan mengalami tekanan psikologis, keluarganya terkena dampak baik secara sosial maupun ekonomi, dan para guru lain dihantui rasa takut yang membuat mereka enggan menegakkan disiplin.
Fenomena Guru Menjadi Apatis
Kriminalisasi yang berlebihan terhadap guru memicu dampak yang lebih berbahaya: guru mulai apatis. Banyak guru kini memilih diam ketika menghadapi kenakalan siswa. Bukan karena tidak peduli, tetapi karena takut berhadapan dengan hukum.
Dalam jangka panjang, sikap demikian dapat mengikis fungsi sekolah sebagai ruang pendidikan karakter.
Mendidik tidak hanya soal mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk perilaku. Bila teguran dan tindakan preventif dianggap berisiko, maka otoritas guru perlahan hilang. Sekolah kehilangan wibawa, dan murid kehilangan pembimbing yang berperan dalam proses tumbuh kembang moral mereka.
Pentingnya Restorative Justice dalam Kasus yang Melibatkan Guru
Di sinilah urgensi restorative justice menemukan relevansinya. Untuk kasus-kasus yang tidak melibatkan kekerasan berat, tidak dilakukan dengan niat jahat, atau terjadi karena ketidaktahuan, restorative justice memberikan jalan tengah yang lebih adil bagi semua pihak.
Pendekatan ini memulihkan, bukan menghukum. Di dalamnya ada ruang dialog, mediasi, dan kesepahaman antara guru, siswa, dan orang tua.
Langkah ini jauh lebih konstruktif dibandingkan proses pidana yang panjang, memecah hubungan sosial, dan menimbulkan trauma kolektif bagi komunitas guru.
Dengan restorative justice keuntungan yang diperoleh antara lain:
- guru tidak serta-merta diperlakukan sebagai pelaku kriminal;
- keluarga guru tidak menanggung tekanan sosial berkepanjangan;
- hubungan sosial di sekolah dapat dipulihkan;
- siswa tetap mendapat perlindungan terbaik;
- proses pendidikan tidak terganggu oleh ketakutan berlebih.
Restorative justice bukan pengingkaran terhadap perlindungan anak, justru memperkuatnya dengan mengedepankan pemulihan emosional, edukasi, dan perbaikan perilaku bagi semua pihak.
Namun, dalam konteks ini, sering terdengar aroma tidak sedap. Di bawah ada oknum aparat penegak hukum yang menyalahgunakan dan/atau melebih-lebihkan pasal-pasal pidana karena lebih bernilai ekonomis.
Konsekuensi pidana dijadikan bargaining dengan tersangka dengan kompensasi tertentu.
Peran Komite Sekolah yang Perlu Direvitalisasi
Untuk mencegah masalah berkembang menjadi konflik hukum, komite sekolah harus menghidupkan kembali fungsinya. Komite tidak cukup hanya mengurus iuran, sumbangan, atau fasilitas. Ia harus menjadi ruang dialog dan mediasi yang efektif antara sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat.
Banyak potensi konflik sebenarnya bisa diselesaikan di tahap awal melalui komunikasi yang baik. Dengan peran komite sekolah yang kuat, laporan pidana sering kali bisa dihindari karena konteks persoalan dipahami secara utuh.
Literasi Hukum: Kebutuhan Mendesak bagi Guru
Ada satu hal mendasar yang sering terlupakan: guru memerlukan literasi hukum. Banyak pendidik bekerja dengan niat baik, tetapi tidak memahami batas-batas legal dalam interaksi dengan siswa.
Guru merasa hanya bertugas mengajar dan mengajar, mendidik dan mendidik. Mereka lupa di tengah tugas mulianya sedang berada di rumah besar — Indonesia sebagai negara hukum.
Kini guru tidak bisa lagi hanya menguasai kurikulum dan pedagogi, tetapi harus memahami:
- hak dan kewajiban mereka di hadapan hukum;
- standar perlindungan anak;
- batasan fisik dan verbal dalam pembinaan;
- etika profesi;
- serta prosedur hukum bila terjadi pelaporan.
Literasi hukum bukan untuk menambah beban, melainkan untuk memberikan perlindungan. Dengan pemahaman hukum yang memadai, guru tidak terjebak dalam risiko yang tidak perlu.
Menata Ulang Relasi Pendidikan dan Penegakan Hukum
Agar bangsa ini maju, dua hal harus berjalan beriringan: perlindungan anak dan perlindungan terhadap profesi guru. Keduanya bukan hal yang bertentangan; keduanya sama-sama penting.
Negara wajib menjamin sekolah sebagai tempat aman bagi anak-anak. Namun negara juga berkewajiban memberikan perlindungan yang adil bagi guru agar tidak mudah dikriminalisasi.
Sekolah, orang tua, komite sekolah, dan pemerintah harus berada dalam satu frekuensi: menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat, aman, dan bermartabat.
Guru yang berintegritas harus dilindungi. Guru yang melanggar harus diproses. Dan guru yang mendidik dengan benar harus diberi ruang aman untuk bekerja tanpa rasa takut. Kalaupun harus salah, kesalahan sesaat tersebut tidak boleh menghapus kebaikannya selama ini.
