Kesalahan penulisan identitas orang tua dalam buku nikah, seringkali dianggap kesalahan administratif yang bersifat teknis. Namun secara hukum, kesalahan ini memiliki dampak signifikan, karena buku nikah bukan sekadar dokumen biasa, melainkan bukti autentik yang memuat identitas resmi para pihak yang menikah. Keakuratan data dalam buku nikah menjadi sangat penting, untuk menjaga keabsahan pernikahan serta menghindari masalah administratif dan hukum di masa depan.
Berdasarkan Pasal 46 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2024 tentang Pencatatan Pernikahan, perubahan nama suami, istri, atau orang tua dalam akta nikah atau buku nikah hanya dapat dilakukan oleh KUA, setelah adanya putusan pengadilan dan di lampiri akta kelahiran sebagai bukti kebenaran data.
Hal ini berarti, apabila terdapat kesalahan penulisan nama orang tua (misalnya salah ejaan atau keliru menuliskan nama), maka pasangan atau pihak terkait harus mengajukan permohonan penetapan ke pengadilan, untuk membetulkan data tersebut.
Selain itu, mengacu pada Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, terdapat jenis-jenis permohonan yang dapat diajukan melalui Pengadilan Negeri, di antaranya:
1. Permohonan pengangkatan wali bagi anak yang belum dewasa adalah 18 (delapan belas) tahun (menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 47 menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 butir ke 1);
2. Permohonan pengangkatan pengampuan bagi orang dewasa yang kurang ingatannya atau orang dewasa yang tidak bisa mengurus hartanya lagi, misalnya karena pikun;
3. Permohonan dispensasi nikah bagi pria dan wanita yang belum mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin) bagi yang beragama nonmuslim;
4. Permohonan izin nikah bagi calon mempelai yang belum berumur 21(dua puluh satu) tahun (Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan);
5. Permohonan pengangkatan anak (harus diperhatikan SEMA Nomor 6 Tahun 1983);
6. Permohonan untuk memperbaiki kesalahan dalam akta catatan sipil, misalnya apabila nama anak secara salah disebutkan dalam akta tersebut;
7. Permohonan untuk menunjuk seorang atau beberapa orang wasit, karena para pihak tidak bisa atau tidak bersedia untuk menunjuk wasit (Penduduk Jawa dan Madura Ordonantie Pasal 49 dan Pasal 50, Peraturan Catatan Sipil keturunan Cina Ordonantie 20 Maret 1917-130 jo 1929-81 Pasal 95 dan Pasal 96, Untuk golongan Eropa KUH Perdata Pasal 13 dan Pasal 14) akta kematian;
8. Permohonan agar seseorang dinyatakan dalam keadaan tidak hadir (Pasal 463 BW) atau dinyatakan meninggal dunia (Pasal 457 BW);
9. Permohonan agar ditetapkan sebagai wakil/kuasa untuk menjual harta warisan.
Buku II Pengadilan Negeri mencantumkan permohonan perbaikan akta catatan sipil, perubahan data dalam buku nikah (misalnya nama suami, istri, atau orang tua) merupakan kewenangan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah (untuk wilayah Aceh).
Hal tersebut, juga ditegaskan dalam Pasal 1 angka 15 Permenag Nomor 30 Tahun 2024 yang menempatkan perubahan data buku nikah dalam ranah peradilan agama dan Pasal 49 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang memberikan kewenangan kepada Pengadilan Agama, guna memeriksa perkara perkawinan bagi yang beragama Islam.
Namun, terdapat potensi disharmoni apabila petugas atau masyarakat berpedoman pada Buku II Pengadilan Negeri tanpa memperhatikan Permenag Nomor 30 Tahun 2024, yang dapat mengakibatkan permohonan diajukan ke pengadilan yang salah kewenangan.
Guna mencegah tumpang tindih kewenangan dan kebingungan di lapangan, diperlukan sinkronisasi antara Buku II Pengadilan Negeri dengan Permenag Nomor 30 Tahun 2024, yaitu penegasan batas kewenangan yang tercantum dalam Buku II Pengadilan Negeri dan ditegaskan perbaikan data buku nikah adalah kewenangan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, selain itu terkait penyelarasan terminologi atau istilah perbaikan akta dalam konteks Pengadilan Negeri, harus dibatasi pada akta catatan sipil dan dokumen yang menjadi domain hukum perdata umum.
Demikian juga, diperlukan sosialisasi lintas lembaga yaitu KUA, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Negeri, wajib memiliki pemahaman yang seragam untuk menghindari salah rujuk.
Maka, berdasarkan analisis peraturan yang berlaku, perbaikan data identitas orang tua dalam buku nikah wajib diajukan ke Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah, bukan ke Pengadilan Negeri.
Harmonisasi regulasi diperlukan agar Buku II Pengadilan Negeri tidak menimbulkan interpretasi yang keliru, dan selaras dengan Permenag Nomor 30 Tahun 2024 yang menjadi aturan khusus terkait pencatatan pernikahan. Sehingga setiap permohonan perbaikan data administratif ataupun permohonan terkait dokumen pernikahan, sebagaimana harus diajukan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, sesuai lokasi KUA pencatatannya.