Hukum yang Terasa Mahal bagi “Orang Kecil”

Pada titik tertentu, hukum tampak seperti barang mahal, dan biaya kesalahan yang tidak disengaja bisa jauh melebihi harga benda yang dipersoalkan.
ilustrasi Hukum yang terasa mahal
ilustrasi Hukum yang terasa mahal

Dalam sebuah persinggahan saat melaksanakan salat di sebuah musala kecil pinggir jalan, seorang laki-laki tua yang baru saya kenal menceritakan kisah yang membuat dada terasa sesak. 

Anaknya yang bekerja sebagai seorang satpam di perusahaan BUMN mendadak ditangkap polisi karena dituduh membeli ponsel hasil curian. Ia tak pernah sadar, apalagi memahami risiko hukum, ketika tergoda untuk membeli ponsel murah dari seseorang yang baru ditemuinya. 

Semua tampak biasa sampai GPS ponsel itu melacak keberadaannya, dan hukum pun menutup pintu tanpa banyak penjelasan. Ia dianggap sebagai penadah barang curian. 

Sejak hari itu, sang bapak masuk ke dunia yang asing: dunia kantor penegak hukum, dunia berkas, dan dunia yang katanya "menjunjung keadilan." 

Ia bercerita bahwa demi menyelamatkan masa depan anaknya, ia harus mengeluarkan uang jutaan rupiah kepada oknum penegak hukum tertentu. Ironisnya, setelah mengorbankan tabungan, harapan, dan mungkin harga diri, anaknya tetap ditahan dan harus menjalani proses persidangan jauh dari kabupaten tempat tinggalnya. 

Ia pun harus bolak-balik menghadiri persidangan, membawa lelah, bingung, dan rasa tidak berdaya.

Musala kecil itu seperti mendengar semuanya, seolah menjadi saksi bisu bahwa tidak semua perjalanan menuju keadilan terasa terang. 

Pada titik tertentu, hukum tampak seperti barang mahal, dan biaya kesalahan yang tidak disengaja bisa jauh melebihi harga benda yang dipersoalkan.

Ketika Hukum Lebih Sibuk Menghukum

Contoh kasus sederhana tersebut menimbulkan pertanyaan besar: mengapa orang kecil begitu mudah tergulung dalam sistem hukum yang tidak mereka pahami? 

Di atas kertas, hukum adalah pelindung. Namun dalam praktik, ia sering terasa seperti pagar berduri yang sulit dilewati mereka yang tidak memiliki kuasa, akses, atau pengetahuan hukum.

Hal yang paling menyakitkan adalah munculnya pola baru: bukan lagi sekadar ancaman hukuman, tetapi “hukuman yang dinegosiasikan”. 

Ditahan — masa depan hancur. Tidak ditahan — harus membayar. Tragisnya, sudah membayar pun tetap ditahan. Di manakah letak logika keadilan?

Menghadirkan Wajah Hukum yang Lebih Manusiawi

Sudah saatnya penyelesaian kasus ringan dan tanpa niat jahat dipertimbangkan dengan pendekatan "restorative justice". Fokusnya bukan balas dendam, melainkan pemulihan kerugian, edukasi, dan menyelamatkan masa depan pelaku, korban, dan keluarganya. 

“Restorative” bukan berarti membiarkan pelanggaran, tetapi mengedepankan akal sehat dan hati nurani.

Dalam kasus-kasus seperti contoh diatas, yang dibutuhkan bukanlah borgol, tetapi dialog, mediasi, dan pemahaman sosial. Tidak semua kesalahan layak dibalas dengan hilangnya pekerjaan, pendidikan, atau masa depan.

Penutup: Hukum Harus Melindungi yang Rentan.

Jika hukum ingin dipercaya, hukum harus bisa melindungi bukan hanya korban pencurian, tetapi juga mereka yang menjadi korban ketidaktahuan dan ketimpangan akses pengetahuan. 

Hukum idealnya menegakkan keadilan tanpa melukai kemanusiaan. Bila hukum kehilangan rasa, ia akan berubah menjadi alat yang lebih tajam untuk yang lemah, dan lebih tumpul untuk yang kuat. Wallahu a'lam.