Nilai Pembuktian Persangkaan (Vermoedens) dalam Sistem Hukum Acara Perdata

Pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa
Ilustrasi hukum perdata. Foto. Ilustrasi penulis
Ilustrasi hukum perdata. Foto. Ilustrasi penulis

Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para pihak yang berperkara kepada hakim dalam suatu persidangan, dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga hakim memperoleh dasar kepastian untuk menjatuhkan putusan. 

Menurut M. Yahya Harahap, pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. 

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengatakan bahwa terminologi membuktikan mempunyai beberapa arti yaitu logis, konvensional dan yuridis. 

Membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan dalam arti konvensional adalah membuktikan tidak hanya memberikan kepastian mutlak saja, melainkan kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya dan membuktikan dalam arti yuridis tidak lain. berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara bersangkutan, guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.

Sampai saat ini, sistem pembuktian hukum perdata di Indonesia, masih menggunakan ketentuan-ketentuan yang diatur Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dari Pasal 1865-Pasal 1945, sedangkan dalam Herzine Indonesische Reglement (HIR) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 162-Pasal 165, Pasal 167, Pasal 169-Pasal 177, dan dalam Rechtreglement Voor de Buitengewesten (RBg) berlaku bagi golongan Bumi Putera untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam Pasal 282 – Pasal 314.

Berdasarkan Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 RBG, terdapat 5 (lima) jenis alat bukti dalam hukum acara perdata, yaitu Bukti Surat (tulisan), Saksi, Persangkaan, Pengakuan, dan Sumpah.

Dalam Pasal 1915 KUH Perdata, Persangkaan (Vermoedens) adalah kesimpulan yang ditarik oleh undang-undang atau hukum atau oleh hakim dari peristiwa yang jelas atau terang ke arah peristiwa yang belum terang atau jelas. 

Dari peristiwa yang terang dan nyata ini ditarik kesimpulan suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan. 

Lantas sejauh mana nilai pembuktian alat bukti persangkaan diterapkan dalam penyelesaian perkara perdata? Pada praktik peradilan, ada dua macam persangkaan yaitu sebagai berikut: 

  • Persangkaan Menurut Hukum atau Undang-undang (wettelijke vermoeden)

Persangkaan berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu. Misalnya, perbuatan yang dinyatakan batal oleh undang-undang karena perbuatan tersebut menyalahi ketentuan perundang-undangan. 

  • Persangkaan Hakim atau Kenyataan (Rechtelijk vermoeden) 

Kesimpulan ditarik oleh hakim dari peristiwa yang jelas kearah peristiwa yang belum terang atau jelas. Persangkaan hakim disimpulkan oleh hakim berdasarkan peristiwa hukumnya dalam perkara. 

Alat bukti persangkaan, akan diterapkan oleh hakim, bilamana perkara yang ditangani oleh pengadilan ternyata tidak ada alat bukti saksi yang mendengar, mengalami, dan menyaksikan langsung terjadinya peritiwa hukum yang dialami oleh para pihak yang sedang berperkara.

Persangkaan-persangkaan atau vermoedens merupakan alat bukti pelengkap atau accessory evidence. Artinya, persangkaan-persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri. 

Persangkaan-persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti lainnya dengan demikian satu persangkaan saja bukanlah merupakan alat bukti. 

Hakim dalam memberikan keputusan tidak diperbolehkan hanya berdasarkan alat bukti persangkaan saja, tetapi harus disertai dengan bukti-bukti lain yang berdasarkan ketentuan undang-undang yang ada. 

Bukti-bukti lain tersebut, wajib saling berhubungan satu sama lain dengan peristiwa hukum yang menjadi objek sengketa dari para pihak berperkara.

Sehingga berdasarkan Pasal 1922 KUH Perdata, persangkaan-persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang sendiri, diserahkan kepada pertimbangan dan kewaspadaan hakim yang hanya bisa memperlihatkan persangkaan yang penting, seksama, tertentu dan ada hubungannya satu sama lain. 

Persangkaan tersebut, hanya dapat dianggap dalam hal undang-undang mengizinkan pembuktian dengan saksi-saksi, begitu pula diajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atau akta, berdasarkan alasan adanya iktikad buruk atau penipuan. 

Buku II Perdata Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Umum pada bagian W.3 (halaman 67) secara progresif memberikan peluang kepada Hakim/Majelis Hakim untuk dapat mempertimbangkan fax, email, sms, fotocopy, rekaman dan sebagainya seiring dengan perkembangan teknologi, sebagai dugaan-dugaan, yang apabila dugaan-dugaan itu penting, seksama, tertentu dan sesuai satu sama lain dapat dijadikan alat bukti persangkaan.

Penulis: Dian Ramadhan
Editor: Tim MariNews