Sistem hukum di dunia dalam ranah Pidana secara garis besar terbagi menjadi dua tradisi besar: Civil Law (Hukum Kontinental) dan Common Law (Hukum Anglo-Saxon).
Kedua sistem ini memiliki perbedaan mendasar, terutama dalam sumber hukum, peran hakim, dan mekanisme penentuan kesalahan, yang sangat memengaruhi wajah peradilan pidana di suatu negara.
I. Sumber Hukum dan Sejarah
A. Civil Law (Hukum Kontinental)
Sistem Civil Law berakar dari Hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) dan dikembangkan secara signifikan melalui kodifikasi pada Abad Pertengahan. Tonggak pentingnya adalah Code Civil Perancis (Code Napoleon) pada 1804 (Fauzan & Sugianto, 2021).
Sumber Hukum Utama: Hukum tertulis dan terkodifikasi (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dll.) menjadi sumber hukum primer dan utama.
Asas Legalitas: Sistem ini menganut ketat asas "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali" (tiada pidana tanpa undang-undang yang mendahuluinya).
Prinsip ini menekankan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dihukum jika tidak secara eksplisit dilarang dalam peraturan perundang-undangan. Prinsip ini memberikan kepastian hukum yang tinggi (Asshiddiqie, 2010).
Sejarah di Indonesia: Indonesia mewarisi sistem Civil Law dari Belanda, yang mengadopsi pengaruh Code Napoleon. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang lama merupakan warisan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) kolonial.
B. Common Law (Hukum Anglo-Saxon)
Sistem Common Law berasal dari Inggris dan berkembang melalui kebiasaan, tradisi, dan putusan-putusan pengadilan terdahulu (Merryman & Pérez-Perdomo, 2018).
Sumber Hukum Utama: Putusan Hakim (Yurisprudensi) atau preseden (stare decisis) menjadi sumber hukum yang mengikat. Hakim wajib mengikuti putusan hakim terdahulu untuk kasus yang serupa.
Hukum Ciptaan Hakim (Judge-Made Law): Putusan hakim tidak hanya menerapkan hukum, tetapi juga mengembangkan dan, pada dasarnya, menciptakan hukum melalui interpretasi preseden.
II. Peran Hakim dan Penentuan Bersalah
Dalam sistem peradilan pidana, mekanisme penentuan bersalah membedakan kedua tradisi ini:
Civil Law: Penentuan bersalah atau tidaknya terdakwa dilakukan oleh Majelis Hakim (terdiri dari sejumlah Hakim, misalnya 3 atau 5), bukan oleh Juri.
Hakim bertindak aktif mencari dan menemukan kebenaran materiil. Hakim adalah bagian dari birokrasi negara yang tugas utamanya adalah menerapkan hukum tertulis. Jika ada kekosongan atau celah hukum (lacunae), Hakim dapat mengisinya melalui penemuan hukum, tetapi putusannya tidak mengikat Hakim lain secara mutlak (stare decisis tidak berlaku) (Marzuki, 2018).
Common Law: Penentuan bersalah atau tidaknya terdakwa (pertanyaan faktual) dilakukan oleh Juri (sekumpulan warga negara biasa, biasanya 12 orang).
Hakim hanya memimpin sidang, memastikan proses berjalan sesuai hukum acara secara berimbang, dan menentukan sanksi (pertanyaan hukum) setelah Juri memutuskan bersalah.
Dalam sistem ini, para Juri dan Hakimlah yang secara aktif membuat hukum melalui pengembangan preseden, karena ada kebebasan yang lebih besar dalam menentukan benar salah di ruang sidang, yang kemudian menjadi hukum bagi kasus-kasus berikutnya.
III. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: KUHP Baru (UU No. 1 Tahun 2023)
Indonesia tetap menganut sistem Civil Law, namun melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru (UU No. 1 Tahun 2023), terjadi pergeseran paradigma yang signifikan, mengakomodasi nilai-nilai keadilan substantif dan kearifan lokal.
A. Asas Keseimbangan dan Keadilan Diutamakan
KUHP baru membawa konsep asas keseimbangan yang menjamin kepastian hukum namun mengutamakan keadilan dan kemanfaatan.
Menurut Barda Nawawi Arief, terlihat dua kata kunci dari tujuan nasional, yaitu “perlindungan masyarakat” dan “kesejahteraan masyarakat”. Dua kata kunci itu identik dengan istilah yang dikenal dalam kepustakaan/dunia keilmuan dengan sebutan “social defence” dan “social welfare”.
Dengan adanya dua kata kunci ini pun terlihat adanya asas keseimbangan dalam tujuan pembangunan nasional. Perlu dicatat, bahwa kedua istilah ini pun sering dipadatkan dalam satu istilah saja, yaitu “social defence”, karena di dalam istilah “perlindungan masyarakat” sudah tercakup juga “kesejahteraan masyarakat”. (Barda Nawawi Arief, 2009)
Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio- politiik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. (Barda Nawawi Arief, 2008), Perubahan mendasar ini terlihat dalam:
Pasal 53: Pasal ini secara eksplisit mengatur bahwa:
- Dalam memidana, wajib dipertimbangkan adanya keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
- Apabila terdapat pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, wajib mengutamakan keadilan.
Penulisan pasal ini sebenarnya menjamin kepastian hukum itu sendiri, yaitu kepastian bahwa keadilan menjadi prinsip tertinggi yang harus diutamakan, mencegah penegakan hukum yang kaku dan tidak adil.
Variasi Pilihan Pidana: KUHP baru memperluas jenis pidana, mencakup pidana pengawasan, kerja sosial, denda, hingga pidana tambahan, selaras dengan tujuan pemasyarakatan modern.
Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijstheorie): Teori ini merupakan campuran antara conviction raisonnée dan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Salah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Teori ini menumbuhkan asas beyond reasonable doubt.
B. Pengakuan Hukum Adat (Living Law)
KUHP baru, pada Pasal 2, mengakui dan memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat (Hukum Adat), sepanjang hal tersebut tertulis dalam peraturan perundang-undangan seperti Peraturan Daerah (Perda).
Pengakuan ini menunjukkan upaya sistem Civil Law Indonesia untuk menyerap nilai-nilai lokal, tetapi tetap dalam kerangka hukum tertulis (Perda) untuk menjaga kepastian hukum, yang merupakan ciri khas Civil Law, yaitu bahwa yang tidak tertulis tidak dapat dihukum.
IV. Batasan dan Ranah Penyelesaian Keadilan
Perbedaan mendasar antara Civil Law dan Common Law terletak pada bagaimana batasan keadilan dan hukum diselesaikan.
Sistem Civil Law (seperti di Indonesia) menetapkan bahwa sumber hukum primer adalah hukum tertulis yang dikodifikasi oleh Legislatif.
Dengan demikian, penciptaan dan batasan hukum pidana dilakukan di ranah Formulasi oleh Legislatif. Hukum pidana harus tertulis, dan yang tidak dilarang tidak dapat dihukum (Asshiddiqie, 2010).
Sebaliknya, sistem Common Law menempatkan Yudikatif (Hakim dan Juri) sebagai sumber hukum utama (Marzuki, 2018).
Penciptaan hukum terjadi di ruang sidang (Judge-Made Law), di mana Juri menentukan fakta dan Hakim mengembangkan hukum melalui preseden. Dalam sistem Civil Law, Hakim bertugas mengisi kekosongan hukum dan celahnya.
Dalam Common Law, Hakim dan Juri-lah yang membuat hukum, karena benar salah ditentukan dalam ruang sidang dengan kebebasan interpretasi preseden.
Meskipun KUHP baru Indonesia mengutamakan keadilan substantif melalui Pasal 53, sistem hukumnya tetap merupakan Civil Law dengan batasan yang jelas, di mana perdebatan tentang keadilan diselesaikan pada tahap formulasi oleh badan Legislatif (DPR dan Pemerintah).
Kesimpulan
Perbedaan paling signifikan antara sistem Civil Law (Hukum Kontinental, seperti di Indonesia) dan Common Law (Hukum Anglo-Saxon, seperti di Amerika Serikat dan Inggris) terletak pada sumber hukum primer dan ranah penciptaan hukum itu sendiri.
Sumber Hukum Primer
Dalam sistem Civil Law, sumber hukum primer adalah Hukum Tertulis yang terkodifikasi, yaitu produk dari Legislatif (Undang-Undang).
Sistem ini sangat terikat pada prinsip legalitas formal yang menuntut segala sesuatu diatur dalam kitab atau undang-undang.
Sebaliknya, dalam sistem Common Law, sumber hukum primer adalah Yudikatif, yang diwujudkan melalui Putusan Hakim atau Preseden (stare decisis).
Keputusan yang dibuat oleh pengadilan yang lebih tinggi atau terdahulu mengikat pengadilan di tingkat yang sama atau lebih rendah.
Ranah Penciptaan Hukum
Perbedaan sumber hukum ini menentukan siapa yang berwenang menciptakan hukum:
- Civil Law: Penciptaan hukum adalah ranah eksklusif Legislatif (Legislator-Made Law). Hukum pidana harus tertulis, dan Hakim berfungsi sebagai penerap undang-undang.
- Common Law: Penciptaan hukum berada di ranah Yudikatif (Judge-Made Law). Hakim memiliki peran aktif dalam mengembangkan hukum melalui interpretasi dan penetapan preseden yang kemudian menjadi hukum yang mengikat.
Batasan dan Penyelesaian Keadilan
Perbedaan dalam sumber dan penciptaan hukum ini berimbas pada bagaimana batasan keadilan diselesaikan:
- Civil Law (Indonesia): Batasan keadilan diselesaikan di ranah Formulasi oleh Legislatif. Artinya, Legislatif (DPR dan Pemerintah) membuat undang-undang dengan mengakomodasi nilai-nilai keadilan masyarakat sejak awal. Dengan demikian, kepastian hukumnya adalah bahwa yang tidak tertulis tidak dapat dihukum. Walaupun di Indonesia (melalui KUHP baru) terdapat asas yang mengutamakan keadilan, perdebatan mendasar tetap diselesaikan dalam bentuk tertulis oleh Legislatif.
- Common Law (AS, Inggris): Batasan keadilan diselesaikan di ranah Aplikasi oleh Juri dan Hakim. Hakim memiliki kebebasan mutlak untuk menafsirkan dan mengembangkan hukum di ruang sidang berdasarkan preseden. Keadilan ditentukan oleh hasil persidangan melalui keputusan Juri dan pertimbangan Hakim, dan putusan tersebut (terutama di pengadilan tinggi) dapat menciptakan hukum baru yang mengikat.
Secara ringkas, Civil Law mengutamakan kepastian hukum melalui kodifikasi yang dibuat oleh badan perumus undang-undang, sementara Common Law mengutamakan fleksibilitas dan adaptabilitas hukum melalui pengembangan yurisprudensi di tangan para Juri dan Hakim.
Menerobos Positivisme Pidana tanpa dasar, filosofi, tujuan dan argumentasi yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, dapat berpotensi merusak tatanan sistemik hukum dan menciptakan kesewenang-wenangan dalam sistem Civil Law jika tidak dilakukan dengan hati hati dan tepat sasaran.
Sumber Sumber :
Asshiddiqie, J. (2010). Perihal Undang-Undang. Jakarta: PT Rajawali Pers.
Fauzan, M., & Sugianto, B. (2021). Sejarah Perkembangan Sistem Hukum Eropa Kontinental dan Anglo Saxon. Jurnal Hukum Lex Generalis, 2(4), 1143-1153.
Marzuki, P. M. (2018). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Barda Nawawi Arief (2009) Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Barda Nawawi Arief (2008) Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Merryman, J. H., & Pérez-Perdomo, R. (2018). The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Systems of Europe and Latin America. Stanford University Press.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.





