“Ketika opini publik berlari lebih cepat dari fakta, dan viralitas menjadi alat ukur kebenaran, hakim justru dituntut untuk berjalan pelan bersama nuraninya. Dalam diam yang tenang, ia menjaga marwah peradilan dari riuh dunia maya, menegakkan hukum tanpa harus disukai, dan menolak tunduk pada tekanan algoritma. Sebab, keadilan sejati tidak lahir dari sorakan massa, tetapi dari keseimbangan antara hukum, moral, dan keberanian untuk tetap jujur pada kebenaran yang sunyi.”
Di era digital saat ini, keadilan tidak hanya diuji di ruang sidang, tetapi juga di ruang publik yang bising oleh opini.
Media sosial menjelma menjadi “mahkamah kedua” yang menilai perkara sebelum fakta diungkap, dan menjatuhkan vonis sebelum palu diketuk.
Sebuah kasus yang viral seringkali mengundang simpati, amarah, bahkan tekanan moral bagi aparat penegak hukum, seolah keadilan harus sejalan dengan tren yang sedang ramai.
Fenomena ini melahirkan istilah “No Viral No Justice”, seakan-akan keadilan hanya diakui bila mendapat perhatian publik, namun seorang hakim sejati tidak mencari popularitas.
Ia bekerja dalam kesunyian moral, menimbang antara hukum, logika, dan hati nurani. Dari kesadaran itulah lahir gagasan “Justice No Viral”. Prinsip yang menegaskan, keadilan tidak boleh tunduk pada viralitas, karena putusan hakim adalah manifestasi dari integritas, bukan hasil tekanan opini.
Antara Viralitas dan Keadilan
Dalam masyarakat digital, berita hukum tak lagi berhenti di ruang sidang. Putusan hakim kini bersanding dengan ribuan komentar warganet yang menilai, menafsir, bahkan menghakimi.
Fenomena “No Viral No Justice” memperlihatkan realitas baru dari publik, yang merasa keadilan baru hadir jika kasusnya viral. Padahal, keadilan bukanlah panggung opini, melainkan proses moral dan hukum yang berakar pada fakta, bukan sensasi.
Ketika masyarakat menilai keadilan lewat jumlah like dan share, posisi hakim menjadi sangat strategis sekaligus rentan.
Ia berdiri di antara dua dunia, dunia hukum yang menuntut ketenangan dan objektivitas, serta dunia media sosial yang menuntut kecepatan dan emosionalitas.
Pada titik inilah, muncul prinsip moral yang penting Justice No Viral, menjaga agar putusan tidak lahir karena tekanan massa, tetapi karena kekuatan nurani dan kebenaran hukum.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) sebagai Kompas Nurani Hakim
Justice No Viral bukan sekadar semboyan, melainkan manifestasi dari nilai-nilai KEPPH, yang berakar pada warisan etika kepemimpinan para khalifah yang adil.
Salah satunya adalah Umar bin Khattab, simbol keteguhan nurani dan integritas dalam menegakkan keadilan.
1. Independensi (Pasal 3 KEPPH)
Hakim wajib bebas dari pengaruh pihak mana pun.
Dalam Risalah Umar bin Khattab kepada Qadhi Abu Musa al-Asy’ari ditegaskan, “Janganlah engkau gentar terhadap celaan orang dalam menegakkan kebenaran dan keadilan”, karena kebenaran itu adalah hak Allah semata.
Kalimat singkat itu menjadi fondasi spiritual bagi prinsip independensi hakim dalam segala zaman.
Jika pada masa Umar “celaan” datang dari para penguasa atau masyarakat yang kecewa, maka di era digital kini bentuknya menjelma menjadi viralitas dan opini publik yang sering kali menekan nurani peradilan.
Hakim yang independen tidak mencari pembenaran di kolom komentar, tidak menimbang perkara dengan algoritma, melainkan dengan hati yang jernih dan nurani yang takut hanya kepada Allah.
2. Nilai Moral (Pasal 4 KEPPH)
Hakim harus menegakkan hukum tanpa diskriminasi, memiliki kejujuran dan ketulusan hati dalam menjalankan tugas.
Umar bin Khattab dikenal tegas dalam menjaga integritas peradilan. Ia pernah memecat seorang hakim yang hidup berlebihan, dengan alasan bahwa kemewahan dapat mengaburkan kejujuran. (Lihat Al-Māwardī, Al-Aḥkām al-Sulṭāniyyah, Bab Adab al-Qadhi Ibn al- Jauzi, Sīrah wa Manāqib ‘Umar ibn al-Khaṭṭāb, hlm. 112).
Dalam konteks kekinian, viralitas sering menguji keteguhan moral hakim apakah ia tetap jujur pada nuraninya ketika publik menuntut putusan yang populer?
Integritas berarti tetap benar meski tidak viral, tetap adil meski tidak disukai.
Seorang hakim yang berintegritas meneladani Umar yang berkata, dalam Risālah ‘Umar ilā Abī Mūsā al-Asy‘arī, Umar menulis: “Keadilan tidak akan tegak bila hakim takut kepada manusia lebih daripada takut kepada Allah.”
3. Kebijaksanaan (Pasal 8 KEPPH)
Hakim wajib bersikap arif dan bijaksana dalam setiap tindakan dan ucapannya.
Umar bin Khattab memberi teladan tentang kebijaksanaan ketika ia menunda keputusan terhadap suatu perkara sampai menemukan kejelasan bukti.
Ia berkata, ”Jangan terburu-buru memutus perkara sebelum engkau mendengarkan dari kedua pihak.”
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, nasihat ini menjadi sangat relevan. Hakim yang bijaksana tidak reaktif terhadap isu yang viral, sebab setiap kata dan gestur dapat disalah artikan.
Diam seorang hakim sering lebih bermakna daripada seribu komentar publik. Melalui tiga nilai luhur ini independensi, integritas, dan kebijaksanaan prinsip Justice No Viral menjadi cermin kehormatan profesi dan martabat peradilan.
Hakim bukan hanya penegak hukum, tetapi penjaga keseimbangan moral di tengah derasnya arus opini. Ia meneladani Umar bin Khattab, yang adil tanpa pamrih dan teguh tanpa kompromi.
Peradilan di Era Media Sosial
Media sosial memang membawa manfaat, mempercepat akses informasi, memperkuat transparansi, dan membuka ruang partisipasi masyarakat. Namun, jika tak diimbangi dengan literasi hukum yang baik, media sosial juga bisa menjadi “mahkamah jalanan” (court of public opinion).
Disinilah peradilan modern menghadapi dilema bagaimana tetap terbuka tanpa kehilangan wibawa, Hakim yang berpegang pada Justice No Viral memahami, transparansi tidak berarti tunduk pada tekanan.
Keterbukaan publik harus diimbangi dengan keteguhan prinsip putusan yang adil tidak selalu populer, dan yang populer belum tentu adil. Keadilan yang sejati adalah yang menenangkan hati, bukan yang memuaskan trending.
Penutup: Keadilan yang Tetap Tegak Meski Tak Viral
Hakim sejati tidak mengukur kebenaran dari seberapa ramai sebuah perkara dibicarakan, melainkan dari seberapa tulus ia menjaga nurani hukum dalam memutus.
Justice No Viral menjadi pengingat, keadilan tidak butuh panggung, sebab nilai luhur peradilan justru lahir dari keheningan batin seorang hakim yang berani berkata benar meski tidak populer.
Dalam badai opini publik, keteguhan menjadi kunci. Ketika suara warganet saling bersahutan, hakim harus memilih untuk mendengar suara nuraninya sendiri karena disanalah letak kemerdekaan sejati seorang penegak hukum.
Keadilan yang viral mungkin memuaskan publik sesaat, tetapi keadilan yang bermartabat akan dikenang selamanya.
“Di tengah dunia yang semakin riuh oleh penilaian cepat dan viralitas sesaat, hakim dituntut untuk tetap berjalan di jalan sunyi keadilan. Ia tidak mencari tepuk tangan, tidak menanti disukai, dan tidak menukar nuraninya demi popularitas. Keadilan sejati tak membutuhkan sorotan kamera atau trending di linimasa, ia hidup dalam keheningan ruang sidang dan ketulusan niat seorang hakim yang takut hanya kepada Allah. Begitulah marwah peradilan dijaga bukan dengan kata-kata yang viral, tapi dengan sikap yang istiqamah. Sebab, dalam setiap putusan yang diucapkan dengan hati bersih, tersimpan doa agar hukum menjadi cahaya, dan keadilan tetap tegak, meski tak viral.”
