“The most basic meaning of virality is that the message spreads in a way analogous to the spread of a virus.”
Karine Nahon and Jeff Hemsley (Going Viral).
Pemikir Yuval Noah Harari (2024) menegaskan, informasi bukan kebenaran (truth). Informasi adalah instrumen untuk membangun sebuah fondasi sistem kepercayaan (belief)-baik saintifik maupun nonsaintifik, sebagai mekanisme kekuasaan (power).
Informasi perlu digali dan disuling atau dimurnikan oleh lembaga peradilan (dan institusi lainnya) untuk menghasilkan kebenaran. Informasi yang tidak diolah sifatnya tidak terkendali (contingent-acak/tak tentu). Secara neurosains, manusia cenderung untuk bereaksi terhadap informasi acak, dan memberikan perhatian pada fenomena semacam ini.
Viralitas adalah salah satu manifestasi dari kecenderungan biologis manusia. Seperti viralitas, umpan klik (click bait) juga merupakan cara meraih atensi. Karena penghitungan iklan didasarkan pada jumlah klik, dan karena media hidup dari sponsor pengiklan, mengumpan klik menjadi praktik wajar dari jurnalisme saat ini, baik yang tradisional maupun digital-terutama saat judul menjadi satu-satunya titik perhatian pembaca dan wartawan (Max-Planck-Gesellschaft, 19 Mei 2025).
Kajian viralitas di media sosial pada dasarnya mirip dengan studi-studi neuromarketing (neuro-pemasaran), sebuah konsep yang diperkirakan dikembangkan oleh seorang pakar pemasaran di Belanda, Ale Schmidts (Ramsøy, 2014). Subdisiplin ini muncul saat persaingan semakin ketat dan konsumen memiliki banyak alternatif. Neuromarketing memanfaatkan karakter otak manusia untuk meyakinkan pembeli.
Secara garis besar, ada tiga bagian besar dari otak: bagian baru, bagian tengah, dan bagian tua. Di bagian tua (basal ganglia), keputusan fight-or-flight (melawan atau kabur) diambil. Otak tengah (sistem limbik) memproses emosi dan intuisi. Otak baru, (neokorteks), bertugas untuk mengolah informasi.
Singkatnya, otak tua sifatnya sintasan (survival), dan dipengaruhi oleh enam elemen: egosentrik, kontras, terukur, atensi awal-akhir, stimulasi visual, emosi (Renvoisé dan Morin, 2007:11-16). Keputusan manusia dengan demikian dipicu oleh peristiwa yang mengacu pada keenam elemen tersebut.
Karakter Acak Informasi dan Stimulasi Otak Tua
Menjelaskan viralitas dapat dilakukan sebagai berikut: apapun yang viral adalah yang berkaitan dengan keenam elemen yang telah disebutkan di atas. Elemen-elemen ini secara langsung memicu kerja otak tua. Dalam pemasaran, tindakan untuk menarik perhatian konsumen dilakukan dengan stimulasi otak tua, dan hanya di bagian inilah tindakan manusia disaring untuk diteruskan ke tubuh. Bagian ini berfungsi sebagai saringan yang menentukan reaksi manusia.
Keenam elemen tersebut dapat dipadatkan lagi menjadi dua kategori besar: informasi yang berharga dan peringatan akan bahaya atau ancaman. Prioritas tindakan manusia dimulai dari bahaya atau ancaman, baru setelahnya hal-hal yang penting dan relevan bagi kemenyintasan hidupnya (Hazeldine, 2013). Sebelum era digital-virtual mulai, kategori-kategori ini bekerja di dunia riil. Sekarang sistem tersebut bekerja dalam dunia manusia sebagai citizen (warga negara) dan sekaligus netizen (“warganet”).
Di dunia nyata, otak tua dan tengah bekerja sama untuk menyelamatkan diri dari bahaya yang riil lewat keputusan untuk lari atau melawan, yang dipicu oleh rasa takut atau rasa percaya diri. Bila reaksi ini bekerja tanpa otak baru, maka sifatnya mekanis. Hal-hal yang viral pada dasarnya tidak melibatkan neokorteks. Di dunia riil, pandangan manusia dibatasi keterbatasan matanya. Di dunia virtual (termasuk media sosial), mata manusia bisa bergerak ke manapun.
Sosiolog Aniel Trottier, Rashid Gabdulhakov dan Qian Huang memperkenalkan istilah vigilant audiences (audiens waspada). Menurut Trottier, Gabdulhakov dan Huang: “In nearly any context, people are attentive and judgemental when it comes to the affairs of others. Vigilant audiences entail a range of phenomena, span geographic areas and vary in their motivations as well as their affiliations” (Dalam hampir setiap konteks, orang cenderung memberikan perhatian sekaligus penilaian terhadap urusan orang lain. Audiens yang waspada ini mencakup berbagai fenomena, melintasi wilayah geografis yang luas, serta bervariasi dalam hal motivasi maupun afiliasinya) (Trottier, Gabdulhakov dan Huang, 2020:1).
Selanjutnya, ketiganya mengatakan bahwa kewaspadaan ini menjelma menjadi vigilantism (vigilantisme)-sebuah ideologi yang hirau dengan pelbagai persoalan pribadi yang dilihat di media sosial. Reaksi otak tua dan tengah kemudian dibaurkan dengan pola pikir vigilantisme adalah prasyarat dari viral tidaknya sebuah informasi.
Dalam kaitannya dengan peristiwa-peristiwa hukum yang mendapatkan sorotan di media sosial, titik terpentingnya adalah seberapa besar emosi berperan untuk memicu reaksi kabur (dengan menutup layar) atau melawan (dengan memberikan “jempol naik” atau “jempol turun” dan menuliskan komentar).
Dengan kata lain, sebuah informasi viral karena masyarakat modern selalu waspada, dan karena bertindak berdasarkan emosi dan reaksi. Saat seseorang dengan pola pikir vigilantisme melawan secara agresif di media sosial, menurut Trottier, Gabdulhakov dan Huang (2020:3), ada tiga kemungkinan: denunciation (mengecam/melaporkan), shaming (mempermalukan), dan doxing (menyebarkan informasi pribadi). Namun demikian, viralitas media sebenarnya ambigu; vigilantisme bisa bernuansa konstruktif, atau destruktif.
Viralitas yang Ambigu
Sosiolog Karine Nahon dan Jeff Hemsley (2013) mengatakan, viralitas cenderung bebas nilai (value-free: bisa baik/buruk), dan bukan barang baru. Yang berbeda dari dulu hingga sekarang adalah seberapa cepat informasi itu menyebar. Di dunia virtual, viralitas bersifat normatif dan menjadi kewajaran. Pertanyaan paling penting adalah arus geraknya.
Bagi Nahon dan Hemsley, ada dua kemungkinan arah pergerakan informasi viral: bottom-up (dari bawah ke atas) dan top-down (dari atas ke bawah). Gerak ke atas dimungkinkan oleh jejaring yang diberi nama “interest network” (jaringan preferensi), sedang gerak ke bawah dikelola oleh “gatekeeper” (penjaga gerbang).
Pendapat lainnya dari psikologi, Tony D. Sampson menggagas viralitas di media sosial bekerja seperti penyakit flu menyebar. Masing-masing “pasien” memiliki tiga macam reaksi: repetisi-imitatif, oposisi, atau adaptasi (Sampson, 2012). Sederhananya, ada pasien yang menulari, tetap sehat, atau bahkan menjadi imun.
Dari perspektif ini, sebuah berita kejahatan di media sosial dapat diperlakukan sebagai “produk” yang diangkat ke publik (dengan prinsip top-down) atau berkembang di warganet secara mandiri (prinsip bottom-up). Pengguna internet bisa menyebarkan, menghapus, atau memodifikasi berita tersebut. Namun demikian, seperti penyakit flu, kecenderungan untuk menular lebih tinggi, dan masuk fase viral.
Viralitas ini dapat mudah bergerak karena, pertama, masyarakat selalu waspada (vigilantisme) dan kedua, dalam mengolah informasi, otak yang bekerja adalah bagian tengah dan tua. Singkatnya, berita kejahatan yang menjadi viral tidak memuat substansi, atau dengan kata lain, jauh dari kebenaran yang menjadi misi utama dunia peradilan. Posisi “tidak jelas” ini disebut ambigu. Melanjutkan argumen ini, bila aparat penegak hukum bekerja lewat prinsip viralitas, maka kecil kemungkinannya yang menjadi dasar adalah kebenaran.
Prinsip The Rule of Law versus Viralitas
Pakar politik penstudi demokrasi, Larry Diamond (1999) mencatat, demokrasi hanya bekerja bila hukum menjadi pilar utama di masyarakat (sebagai rule of law). Alasannya, hukum mencari kebenaran yang menjadi pondasi kepercayaan publik. Viralitas tidak bekerja berdasarkan kebenaran. Hukum yang bergerak hanya karena opini tertentu yang menjadi viral dengan demikian tidak bersifat mendasar, dan mudah dikendalikan oleh berbagai pihak yang berkepentingan (contingent). Bila penegakan hukum bekerja karena viralitas, keadilan yang ada menjadi pengadilan massa (mob justice), sebuah praktik yang umum terjadi jauh sebelum lembaga peradilan modern dibentuk.
Kasus Moore et al. v. Dempsey, 261 U.S. 86 (1923) di Amerika Serikat dapat menjadi contoh bagaimana sentimen viral publik mengendalikan proses di pengadilan. Dalam sebuah kerusuhan pada 2 November 1919, Clinton Lee yang berkulit putih tewas terbunuh. Dua belas orang kulit hitam kemudian dinyatakan bersalah tanpa saksi, bukti, atau kesaksian sama sekali dalam persidangan yang berjalan selama 45 menit dengan semua anggota juri berkulit putih.
Dari keseluruhan analisis di atas, tampak jelas bahwa viralitas, meskipun mampu menarik perhatian publik dengan sangat efektif, merupakan fenomena yang jauh dari ideal dalam hal pencarian kebenaran. Ketergantungan pada reaksi emosional dan pola pikir vigilantisme menjadikan viralitas berisiko tinggi menciptakan bias dalam persepsi masyarakat. Risiko terbesar adalah tergerusnya prinsip fundamental berupa kebenaran objektif, yang merupakan landasan utama supremasi hukum dalam demokrasi modern.
Dengan demikian, tantangan terbesar bagi institusi peradilan dewasa ini adalah menjaga kemandirian proses penegakan hukum bebas dari sekadar reaksi atas informasi viral, serta memastikan bahwa keputusan-keputusan hukum tetap berlandaskan prinsip keadilan substantif.
