Itsbat Nikah Setelah Tahun 1974, Peluang atau Ancaman?

Lebih daripada itu Undang-Undang Peradilan Agama telah memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama untuk mengitsbatkan perkawinan tidak tercatat yang dilakukan sebelum diwajibkannya perkawinan yaitu pada tahun 1974
Ilustrasi buku nikah. Foto : indonesia.go.id
Ilustrasi buku nikah. Foto : indonesia.go.id

Baru-baru ini kita dihebohkan dengan kasus nikah sirri beberapa artis maupun influencer di Indonesia. Sirri berasal dari bahasa Arab sirr, sembunyi-sembunyi.

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 telah mewajibkan bagi setiap orang untuk mencatatkan perkawinannya.  

Kewajiban tersebut, guna melindungi hak-hak perempuan maupun anak. Lebih daripada itu Undang-Undang Peradilan Agama telah memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama untuk mengitsbatkan perkawinan tidak tercatat yang dilakukan sebelum diwajibkannya perkawinan yaitu pada tahun 1974.

Kewenangan ini, diberikan untuk memberikan jembatan atau mengisi kekosongan hukum bagi perkawinan tidak tercatat sebelum kewajiban pencatatan itu ada.

Namun demikian, sejak lahirnya pengaturan mengenai kewenangan itsbat nikah pada Kompilasi Hukum Islam (KHI), yakni pada pasal 7 ayat 3 huruf e, yang menyebutkan: “Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974.”

Pasal ini, kemudian ditafsirkan oleh beberapa hakim bahwa sebagai dasar hukum kewenangan peradilan agama untuk mengitsbatkan perkawinan tidak tercatat yang dilakukan setelah tahun 1974.

Dengan demikian, sejak Kompilasi Hukum Islam (KHI) lahir, kewenangan mengitsbatkan perkawinan tidak tercatat bergeser, dari awalnya kepada perkawinan tidak tercatat sebelum tahun 1974 dan bergeser menjadi perkawinan tidak tercatat yang dilakukan baik sebelum tahun 1974 maupun setelahnya.

Hal ini, mengakibatkan tingginya permohonan itsbat nikah di pengadilan agama. Data terakhir yang dirilis badilag pada 2022, perkara itsbat nikah di seluruh Indonesia terdapat 79.639. 

Selain itu, penulis telah melakukan penelitian di PTA Jawa Barat, sebagaimana hasil data rekapitulasi, bahwa tren itsbat nikah dari tahun 2022-2024 memang menurun, namun jumlahnya masih lebih dari 5000 perkara dan 90% diantaranya merupakan itsbat nikah atas perkawinan setelah tahun 1974. Data ini menunjukkan masih tingginya angka perkawinan tidak tercatat setelah tahun 1974.

Berdasarkan hasil wawancara kepada para pemohon itsbat nikah, penulis mendapati alasan para pihak tidak mencatatkan perkawinannya diantaranya karena perkawinan di bawah umur, masih memiliki istri atau suami (poliandri maupun poligami illegal), tidak sempat untuk mengurus perkawinannya serta alasan ditipu oleh oknum yang menjanjikan buku nikah namun tidak dicatatkan.

Alasan-alasan tersebut, tentu pada dasarnya mendukung perkawinan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. 

Menanggapi kasus perkawinan sirri yang akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh para influencer maupun selebritas kita, sebenarnya sering terjadi di masyarakat, namun hal ini tidak tersorot oleh media.

Melihat data yang disajikan oleh penulis di atas, tentu melihat dari fungsi hukum itu sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pond, yakni law as a tool of social engineering, pada dasarnya hukum digunakan untuk melakukan rekayasa sosial. 

Lahirnya pengaturan kewajiban perkawinan pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pada dasarnya melahirkan semangat untuk membentuk masyarakat yang sadar atas pentingnya pencatatan perkawinan.

Hal ini, bukan semata-mata hanya menegakkan kepastian hukum saja, namun lebih dari pada itu kemanfaatan dan keadilan dapat dicapai melalui pencatatan perkawinan.

Hukum bukan sesuatu yang mati dan kaku, namun hukum senantiasa mengikuti perkembangan jaman. Satjipto Rahardjo melalui teorinya hukum progresif telah mengungkapkan bahwa hukum sebagai sebuah institusi manusia yang harus gelisah, dinamis, dan fleksibel untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat.  

Maka, kewajiban pencatatan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang perkawinan pada dasarnya merupakan hukum yang dapat melihat bagaimana kondisi masyarakat pada masa depan. 

Masyarakat membutuhkan perlindungan hukum guna kesejahteraan dan keadilan.

Melihat dari sisi agama, pada dasarnya perkawinan sah dilakukan jika telah memenuhi rukun dan syaratnya. Namun demikian, budaya pencatatan atau kultur tulis pada saat jaman nabi masih belum berkembang. Hal ini, memicu perkawinan tercatat belum diwajibkan pada saat itu.

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan bahwa sesungguhnya fatwa dapat berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan. 

Berdasarkan kaidah tersebut, pada dasarnya kaidah fiqhiyyah pun telah memberikan pandangan yang sesuai pula dengan para ahli hukum Barat, bahwa hukum senantiasa mengikuti perkembangan masyarakatnya. Hukum bukan sesuatu yang dinamis.

Melihat perkembangan kasus perkawinan sirri yang bermasalah baru-baru ini tentu negara wajib hadir untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Pada dasarnya, negara telah memberikan aturan kewajiban pencatatan perkawinan, namun negara masih belum konsisten mengatur kewajiban ini. 

Hal ini terlihat dengan masih munculnya pengaturan mengenai itsbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat setelah tahun 1974, yang justru bukan memberikan perlindungan bagi masyarakat namun menambah problema yang tidak pernah usai.

Negara wajib memberikan kesejahteraan melalui aturan yang tidak multitafsir serta tidak memberikan kran lain. Selama ini negara sudah mewajibkan pencatatan perkawinan, namun di sisi lain negara memberikan peluang untuk melakukan nikah sirri dengan cara terdapat jalan untuk mencatatkan perkawinan sirri dengan cara itsbat nikah.

Hal ini, menjadi pertanyaan bagi penulis apakah itsbat nikah bagi perkawinan setelah tahun 1974 benar-benar memberikan perlindungan bagi perempuan maupun anak atau justru sebaliknya menjadi ancaman bagi perempuan dan anak. 

Pertanyaan ini yang seharusnya telah terjawab dengan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan, yang mana sudah seharusnya perkawinan dicatatkan, mengingat kondisi masyarakat sekarang yang familiar dengan sosial media, dan akses yang mudah di setiap daerah maka bukan alasan lagi bagi setiap orang untuk tidak mencatatkan perkawinannya baik karena ketidaktahuannya terhadap prosedurnya maupun aksesnya ke KUA yang telah ada di setiap kecamatan di Indonesia.

Akhirnya penulis berharap agar kewajiban pencatatan perkawinan pada pasal 2 ayat 2 Undang-Undang perkawinan dapat dijalankan dengan baik agar tujuan perkawinan dapat tercapai.

Mengingat perkawinan merupakan akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalidzan) yang harus diumumkan, sehingga masyarakat mengetahui perkawinan tersebut bukan untuk disembunyikan. 

Dengan demikian sudah saatnya kewajiban pencatatan perkawinan memunculkan sanksi bagi para pelanggarnya, agar tidak ada korban dari perkawinan itu sendiri, baik hak-haknya maupun akibat hukumnya.

Penulis: Nur Latifah Hanum
Editor: Tim MariNews