Lex certa Artinya undang-undang harus jelas dan pasti. Prinsip ini menekankan bahwa undang-undang harus ditulis dengan cukup jelas sehingga orang bisa memahaminya dengan mudah dan menghindari penafsiran yang ambigu atau bervariasi. Menurut Lukman Hakim dalam "Asas-Asas Hukum Pidana Buku Ajar Mahasiswa, Deepublish, Yogyakarta, 2020.
Lex Stricta bermakna nullum crimen, noela poena sine lege stricta, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Konsekuensi dari makna ini secara implisit tidak diperbolehkannya analogi. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat, sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru. Eddy O. S. Hiariej. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga l, Jakarta, 2009.
Di Indonesia, Asas Lex Stricta dan Lex Certa memegang peranan krusial dalam perumusan pasal-pasal dalam undang-undang, khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana. Kedua asas ini merupakan pilar utama dalam menjamin kepastian hukum dan mencegah kesewenang-wenangan. Terlebih Indonesia menganut Asas Legalitas.
Anselm von Feuerbach, seorang sarjana hukum pidana Jerman, merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin sebagaimana di kutip dalam Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007, yaitu :
1. Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang.
2. Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana.
3. Nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Kebijakan Hukum Pidana dan Pembentukan Hukum Pidana menurut Profesor Barda Nawawi Arief dalam “Kebijakan Kriminal (criminal policy), Bahan Penataran Kriminologi”, Bandung, FH Universitas Katolik Parahyangan, 2001, terbagi dalam beberapa tahap berikut ini :
1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh pembuat undangundang. Tahap ini dapat pula disebut tahap kebijakan legislatif.
2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparatur penegak hukum mulai dari kepolisian sampai pengadilan. Tahap kedua ini dapat pula disebut tahap kebijakan yudikatif.
3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara kongkrit oleh aparataparat pelaksana hukum pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan eksekutif atau administratif.
Untuk dapat diberlakukan dan diterapkan dengan baik, maka setiap kata dalam Pasal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya yang mengatur mengenai ketentuan Pidana, hendaknya dipertegas dari dalam tahap formulasi, sehingga tidak terjadi banyak Pasal dengan kata kata multitafsir yang menimbulkan banyak perdebatan dan permasalahan di kemudian hari dari Undang-Undang yang telah dibentuk dan disahkan untuk diterapkan dalam tahap aplikasi oleh yudikatif dan tahap eksekusi, karena ini akan berimplikasi pada setiap hajat hidup manusia yang ada di Indonesia dan warga Indonesia dimanapun berada, sebagai konsekuensi dari adanya Asas Fiksi Hukum dimana setiap orang dianggap mengetahui hukum yang sudah disahkan dan berlaku, khususnya di Indonesia.
Asas Lex Stricta dan Lex Certa dalam Perumusan Undang-Undang
Asas Lex Stricta dengan luas oleh para sarjana hukum diketahui secara harfiah berarti "undang-undang yang ketat" atau "hukum yang sempit". Asas ini menekankan bahwa suatu ketentuan pidana harus dirumuskan secara tegas dan tidak multitafsir. Setiap unsur perbuatan pidana harus diuraikan dengan jelas, sehingga tidak ada ruang bagi penafsiran yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Tujuannya adalah untuk membatasi kekuasaan penegak hukum, memastikan bahwa seseorang hanya dapat dipidana atas perbuatan yang secara eksplisit dilarang oleh undang-undang.
Sejalan dengan Lex Stricta, Asas Lex Certa dengan luas oleh para sarjana hukum diketahui secara harfiah berarti "undang-undang yang pasti" atau "hukum yang jelas". Asas ini menuntut agar rumusan suatu pasal pidana harus jelas, terang, dan tidak menimbulkan keraguan. Masyarakat harus dapat memahami dengan mudah perbuatan apa yang dilarang dan konsekuensi hukumnya. Ketidakjelasan dalam rumusan pasal dapat mengakibatkan kebingungan, ketidakpastian hukum, dan bahkan potensi penyalahgunaan wewenang.
Kaitannya dengan Larangan Analogi dalam Hukum Pidana
Pentingnya Asas Lex Stricta dan Lex Certa menjadi semakin jelas jika dikaitkan dengan larangan bagi hakim untuk melakukan analogi dalam hukum pidana. Di Indonesia, berdasarkan Asas Legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHP lama), suatu perbuatan hanya dapat dipidana jika diatur secara tegas dalam undang-undang yang berlaku sebelum perbuatan itu dilakukan.
Larangan analogi ini termaktub secara jelas dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP baru) yang berbunyi: "Dalam menetapkan adanya Tindak Pidana dilarang digunakan analogi." Ayat ini merupakan konsekuensi langsung dari penerapan asas legalitas yang juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP baru yang berbunyi: "Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan, kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan". Asas legalitas dalam KUHP baru bergeser dari legalitas formal menjadi legalitas material, yang memungkinkan keberlakuan "hukum yang hidup dalam masyarakat" (hukum adat) dalam penentuan tindak pidana dalam ayat 2 KUHP Baru, namun tetap memerlukan pengaturan dengan batasan yang ketat.
Keterkaitan dengan Asas Lex Stricta dan Lex Certa
Ini berarti hakim tidak boleh memperluas cakupan suatu pasal pidana dengan menerapkan "analogi", yaitu menyamakan suatu perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang dengan perbuatan yang diatur, hanya karena dianggap memiliki kemiripan esensial.
Larangan analogi ini adalah konsekuensi logis dari Asas Lex Stricta dan Lex Certa. Jika hakim diizinkan melakukan analogi, maka kepastian hukum akan terkikis. Masyarakat tidak akan tahu secara pasti perbuatan mana yang dapat dipidana karena penafsiran hukum akan sangat bergantung pada subjektivitas hakim. Oleh karena itu, agar Asas Legalitas tetap tegak, rumusan undang-undang pidana harus sudah sangat jelas dan tidak membutuhkan perluasan melalui analogi.
Perlunya Kejelian Tim Penyusun Undang-Undang
Mengingat urgensi Asas Lex Stricta dan Lex Certa, kejelian tim penyusun undang-undang di Indonesia adalah mutlak diperlukan, khususnya dalam merumuskan ketentuan pidana. Mereka harus memastikan bahwa:
* Setiap unsur tindak pidana dirumuskan secara eksplisit dan tidak ambigu. Menghindari penggunaan frasa yang bersifat umum atau tafsir ganda.
* Terminologi yang digunakan konsisten dan memiliki definisi yang jelas. Jika diperlukan, sertakan glosarium atau penjelasan definisi istilah dalam pasal penjelas.
* Perumusan pasal harus komprehensif dan antisipatif. Tim penyusun perlu memprediksi berbagai kemungkinan penafsiran dan dampak dari rumusan yang dibuat.
* Dilakukan uji publik dan masukan dari berbagai ahli hukum untuk mendapatkan perspektif yang beragam dan mengidentifikasi potensi kelemahan dalam perumusan.
Kurangnya kejelian dalam penyusunan undang-undang pidana dapat berakibat fatal, menciptakan celah hukum, ketidakpastian, dan bahkan potensi kriminalisasi yang tidak adil. Oleh karena itu, tanggung jawab tim penyusun sangat besar dalam menjaga integritas dan keadilan sistem hukum pidana di Indonesia.
Pasal 1 ayat (2) KUHP baru tentang larangan analogi ini bukan hanya sekadar norma hukum, tetapi juga menjadi pengingat penting akan tanggung jawab besar tim penyusun undang-undang dalam tahap formulasi untuk menciptakan produk hukum pidana baik melalui Undang - Undang maupun peraturan daerah yang berkualitas untuk menjamin kepastian, keadilan, dan perlindungan hak asasi warga negara.
Jika hukum yang hidup tidak dirumuskan secara jelas dan rinci, hal ini dapat melanggar prinsip kepastian (Lex Certa) dan berujung pada inkonsistensi. Oleh karena itu, prinsip Lex Certa dan Lex Stricta menjadi batasan yang menuntut hukum yang hidup tersebut tetap memerlukan pengaturan dengan batasan yang ketat dalam perumusannya.
Sumber Referensi :
- Lukman Hakim dalam "Asas-Asas Hukum Pidana Buku Ajar Mahasiswa, Deepublish, Yogyakarta, 2020
- Eddy O. S. Hiariej. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga l, Jakarta, 2009
- Buku Ajar Hukum Pidana 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 2007
- Barda Nawawi Arief dalam “Kebijakan Kriminal (criminal policy), Bahan Penataran Kriminologi”, Bandung, FH Universitas Katolik Parahyangan, 2001