3N Bukan Sekadar Slogan, Ia Berdampak dan Bikin Enak Tidur

Ketenangan tersebut, bagi aparatur peradilan, khususnya hakim, akan datang bila putusan yang diberikan bisa memberikan rasa adil.
Ketua MA Sunarto. Foto : Dokumentasi Humas MA
Ketua MA Sunarto. Foto : Dokumentasi Humas MA

MARINews, Jakarta - Dalam berbagai kesempatan, Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. selalu mengingatkan agar seluruh aparatur peradilan baik itu hakim, panitera, arsiparis, staf, dan apapun itu, agar senantiasa menggunakan 3N: nalar, naluri, dan nurani dalam setiap pelaksanaan tugas.

Pesan ini ditegaskan pula oleh Ketua MA melalui imbauan yang secara rutin diputar setiap Senin dan Kamis di Mahkamah Agung dan di seluruh kantor pengadilan di Indonesia. Imbauan tersebut berisi:

  1. Meniatkan pekerjaan tidak hanya sebagai kewajiban, tetapi juga sebagai ibadah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Menjunjung tinggi etika profesi, berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, Panitera, Juru Sita, serta aturan perilaku pegawai Mahkamah Agung.
  3. ⁠Memberikan pelayanan terbaik dengan bekerja keras, cerdas, dan ikhlas, serta menghindari pelayanan transaksional.
  4. ⁠Menghindari perbuatan tercela demi menjaga kepercayaan publik terhadap badan peradilan.
  5. Memperkuat jiwa korsa agar terbangun persatuan, kebersamaan, dan rasa memiliki organisasi dalam mewujudkan peradilan yang agung.

Imbauan itu bukan sekadar rangkaian kata. Bila dijalankan dalam keseharian, ia tidak hanya memberi kepuasan batin, tetapi juga menghadirkan ketenangan. 

Ketenangan tersebut, bagi aparatur peradilan, khususnya hakim, akan datang bila putusan yang diberikan bisa memberikan rasa adil.

Dan kemampuan untuk memutus dengan adil itu tidak hadir begitu saja. Nilai-nilai kebaikan dan keadilan yang menuntun seorang hakim, keteguhan, ketulusan, keberanian, kejujuran, lahir dari pengalaman panjang mereka dalam menghadapi ragam manusia, perkara, tekanan, dan godaan. 

Pengalaman itu yang membentuk nalar yang matang, naluri yang terasah, dan nurani yang peka.

“Jika kita memutus perkara dengan benar, sesuai jalannya, minimal kita itu enak tidur, tidak takut pada apapun,” ujar Hakim Agung Kamar TUN, Lulik Tri Cahyaningrum, saat berbincang dengan MARINews. 

Menurutnya, bekerja sesuai koridor dan memutus berdasarkan rasa keadilan menghadirkan ketenteraman dalam hidup.

Ia berkisah tentang masa tugasnya di PN Meulaboh, Aceh. Suatu hari, saat berada di labi-labi (angkutan umum), seseorang menegurnya dan mengaku sebagai terdakwa yang pernah ia hukum. 

Lilik sempat khawatir orang tersebut dendam dan akan memberikan perlakuan buruk kepadanya. Namun ternyata, orang itu justru bersikap ramah, sehingga Lulik merasa aman dan nyaman dalam labi-labi tersebut.

Cerita serupa datang dari Sobandi, Hakim Tinggi yang kini menjabat Kepala Badan Urusan Administrasi MA. 

Saat ia bertugas di Pengadilan Negeri Sungai penuh, ia pernah terjebak kemacetan di Perkebunan Teh Kayu Aro, Gunung Kerinci. 

Di kemacetan itu, ia melihat seorang pria yang pernah ia hukum karena kasus perampokan. Ketika pria tersebut mengenalinya, pria itu justru datang menyapa penuh hormat dan membantu mengurai kemacetan yang sedang dialami Sobandi.

“Di situ saya belajar, bahwa putusan yang benar, dijatuhkan dengan jernih, tidak menimbulkan dendam,” ujar Sobandi. 

Hakim Irwan juga memiliki pengalaman mendalam terkait hal tersebut. Saat bertugas di PN Rangkasbitung, ia pernah memutus perkara seorang anggota Polri dalam kasus narkotika. 

Putusannya berat, bahkan berdampak pada karier orang itu. Namun bertahun-tahun kemudian, setelah masa hukumannya selesai, orang tersebut menyapanya di dalam kereta, padahal Irwan sudah lupa dengan orang itu.

“Pak, saya yang dulu Bapak hukum,” katanya mengagetkan Irwan.

Namun, tidak ada kemarahan, tidak ada kekesalan dalam tutur kata yang disampaikan orang tersebut kepada Irwan. 

Irwan yang saat ini menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Pandeglang menyimpulkan, selama prosesnya jujur dan tanpa kepentingan, orang akan menerima putusan, seberat apa pun itu.

Pengalaman tersebut pula yang dialami Hakim Qisthi di Aceh Tamiang. Ia yang terdampak banjir ditolong oleh seseorang yang pernah ia hukum.

Dari pengalaman-pengalaman itu menunjukkan bahwa imbauan yang digaungkan Ketua MA menjadi pegangan yang sangat penting bagi pengadil dalam melaksanakan tugas. 

Kisah-kisah di atas juga menunjukkan bahwa putusan yang adil tidak melukai, meskipun ia mungkin berat. 

Selama hakim memutus dengan nalar yang jernih, naluri yang terlatih, nurani yang bersih, dan nilai-nilai kebaikan yang ditempa oleh pengalaman hidup, maka keadilan akan dirasakan bahkan oleh mereka yang harus menanggung konsekuensi paling pahit.