Ketaatan Penggunaan Bahasa Indonesia di Meja Hijau

Pasal 36 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia.”
Ilustrasi bahasa Indonesia. Foto : dokumentasi language Center UNJ
Ilustrasi bahasa Indonesia. Foto : dokumentasi language Center UNJ

Beberapa waktu lalu, bangsa ini kembali memperingati Hari Sumpah Pemuda. Pada peringatan ke-97 tahun itu, kita kembali diingatkan pada ikrar suci para pemuda tahun 1928 yang salah satunya berbunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia”.

Kalimat tersebut sederhana, namun mengandung makna mendalam yakni bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan jiwa persatuan bangsa. Pengakuan dimaksud, menguat dalam konstitusi. 

Pasal 36 UUD 1945 dengan tegas menyatakan “Bahasa negara ialah Bahasa Indonesia.” Maka, berbahasa Indonesia, bukan hanya urusan tata krama, melainkan bentuk kepatuhan terhadap amanat konstitusi. 

Bahasa Indonesia adalah lambang jati diri bangsa yang harus dijaga di segala lini, termasuk di dunia hukum dan peradilan.

Bahasa Indonesia telah melalui perjalanan panjang. Ia lahir dari rahim pergaulan antaretnik, dibentuk oleh semangat kebangsaan, dan tumbuh bersama kesadaran akan kemerdekaan berpikir. 

Prof. Sutan Takdir Alisjahbana pernah berkata bahwa “Bahasa adalah alat utama kemajuan pikiran manusia dan dengan bahasa yang teratur, pikiran pun akan teratur.”

Kalimat ini mengingatkan, bahwa kualitas berpikir suatu bangsa dan keadilannya, dapat diukur dari ketertiban bahasanya.

Namun, bilamana melihat dunia peradilan hari ini, terkadang menemukan hal yang sebaliknya. Dokumen hukum yang disusun tergesa-gesa, bahkan kalimatnya tidak efisien dan ejaanya tidak sesuai KBBI

Hal seperti ini, sering luput dari perhatian, namun dalam dunia hukum, setiap kata memiliki bobot makna. Kesalahan satu huruf bisa mengubah tafsir, bahkan menimbulkan kekeliruan hukum.

Bahasa hukum, seharusnya jadi cerminan ketelitian berpikir. Sebab di balik setiap kalimat dalam putusan, tersimpan tanggung jawab moral dan intelektual. Bahasa yang tertata baik bukan hanya soal estetika, tetapi soal ketepatan makna dan ketegasan logika.

Di sinilah pentingnya kembali mengingat pesan Prof. Anton Mulyono yang menulis “Bahasa Indonesia adalah lambang kebanggaan nasional, sarana pemersatu bangsa, dan alat komunikasi yang memungkinkan setiap warga negara memahami hukum dan pemerintahan.”

Bilamana, bahasa di dunia hukum tidak teratur, maka saluran komunikasi antara hukum dan rakyat akan kabur.

Memang, ada istilah-istilah hukum yang belum memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia. Namun bahasa Indonesia cukup arif, di mana istilah asing masih bisa digunakan, asalkan dicetak miring (italic), tanda belum diserap secara resmi. 

Bahasa Indonesia tidak menutup diri, namun tetap menegakkan kaidah. Di sinilah keluwesan dan keagungan bahasa nasional kita.

Maka, di momentum Sumpah Pemuda ini, dunia hukum perlu melakukan ijtihad kebahasaan, guna memperbarui komitmen untuk setia pada bahasa persatuan. 

Mari dijaga Bahasa Indonesia pada ruang sidang, di naskah putusan, di berita acara, dan di setiap kalimat hukum yang ditulis. Sebab keadilan tidak hanya tegak melalui hukum yang benar, tetapi juga melalui bahasa yang jernih dan tertib.

Akhirnya, memperlakukan Bahasa Indonesia dengan hormat, berarti juga menjaga martabat hukum itu sendir,. karena sejatinya, kata-kata juga menjadi bagian wajah keadilan.