Ketika Warisan Menjadi Ajang Keserakahan (Refleksi atas Perkara Kewarisan di Pengadilan Agama)

Gugatan-gugatan yang diajukan para pihak, sering kali melalui kuasa hukum, kerap tampak berputar tanpa arah yang jelas, “lari ke sana kemari,” kehilangan fokus dari substansi utama kewarisan itu sendiri.
Ilustrasi hukum waris. Foto : Freepik
Ilustrasi hukum waris. Foto : Freepik

Ketika membaca berbagai berkas perkara kewarisan di Pengadilan Agama, terselip satu kenyataan pahit yang sulit diingkari: perkara waris sering kali lebih banyak memperlihatkan tabiat manusia ketimbang nilai hukum yang hendak ditegakkan. 

Gugatan-gugatan yang diajukan para pihak, sering kali melalui kuasa hukum, kerap tampak berputar tanpa arah yang jelas, “lari ke sana kemari,” kehilangan fokus dari substansi utama kewarisan itu sendiri. Padahal, dalam logika hukum kewarisan Islam, ada tiga hal pokok yang mestinya menjadi fokus utama gugatan. 

Pertama, siapa pewarisnya, karena dari sanalah sumber hak waris bermula. Kedua, apa saja harta peninggalannya, dan lebih penting lagi, apakah harta itu benar-benar milik pewaris secara sempurna. Ketiga, siapa saja ahli waris yang masih hidup saat pewaris meninggal dunia. 

Ketiga hal inilah yang menjadi pondasi untuk menegakkan keadilan dalam pembagian warisan.

Namun dalam praktiknya, kejujuran sering kali tersisih oleh kepentingan. Tidak sedikit penggugat yang “bermain cantik” dalam konstruksi gugatan. Ada yang menyembunyikan fakta tentang keberadaan ahli waris lain demi memperbesar bagian sendiri. Ada pula yang memasukkan harta yang bukan milik pewaris sebagai objek gugatan, bahkan kadang harta itu justru miliknya sendiri, namun sengaja diatasnamakan sebagai “harta warisan” untuk memperkuat posisi tawar.

Tidak jarang pula muncul penggugat yang menggugat harta yang status kepemilikannya masih bersengketa atau bahkan belum jelas batas-batasnya.

Di balik semua itu, sejatinya hanya ada satu motif tersembunyi: keserakahan.

Keserakahan yang berselimut argumentasi hukum. Keserakahan yang berbalut dalil-dalil agama. Keserakahan yang sering dibungkus dengan istilah “menuntut hak,” padahal sejatinya sedang menafikan hak orang lain.

Dalam ruang persidangan, keserakahan itu sering tampil elegan, berbaju rapi, berbahasa sopan, dan berbicara atas nama keadilan. Namun di baliknya, tersimpan niat untuk menguasai lebih banyak dari yang semestinya. 

Akibatnya, perkara waris yang mestinya sederhana menjadi rumit. Hubungan keluarga yang semula rukun berubah menjadi retak. 

Keadilan yang diharapkan dari hukum sering kali tidak sampai karena kejujuran telah gugur di awal.

Fenomena ini semakin mencolok di tengah perubahan nilai ekonomi harta warisan dewasa ini. Tanah yang dulu dianggap tidak berharga kini menjadi rebutan karena berubah menjadi area strategis; rumah tua kini bernilai miliaran karena lokasinya di pusat kota; kebun atau sawah yang dulu sepi kini dilirik pengembang. 

Nilai ekonomi yang melonjak membuat gairah menggugat semakin tinggi, bahkan dengan mengorbankan nurani.

Di titik ini, perkara waris bukan lagi soal hukum atau hak, melainkan soal nafsu kepemilikan. Hukum yang seharusnya menjadi alat keadilan malah diperalat untuk membenarkan keserakahan. 

Pengadilan Agama, dalam banyak kasus, akhirnya harus menjadi arena “membersihkan” niat-niat kabur itu. Hakim bukan hanya menilai fakta hukum, tetapi juga harus menembus lapisan kebohongan yang tersusun rapi dalam berkas gugatan. 

Dalam posisi demikian, keadilan tidak hanya ditentukan oleh hukum, tetapi juga oleh kejujuran para pihak.

Mungkin inilah pelajaran paling berharga dari perkara kewarisan di pengadilan: bahwa kejujuran adalah asas pertama dari keadilan. 

Sebelum bicara tentang siapa yang berhak, marilah jujur dulu tentang apa yang menjadi hak. Sebelum meminta bagian, marilah pastikan bahwa kita tidak mengambil bagian orang lain. 

Karena sesungguhnya, dalam setiap gugatan waris yang dilandasi kebohongan, yang diwarisi bukanlah harta, melainkan dosa.

Warisan, Keberkahan, dan Pertanggungjawaban Akhirat

Islam menegaskan bahwa harta adalah amanah, bukan sekadar milik. Ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal... dan tentang hartanya: dari mana ia memperoleh dan untuk apa ia membelanjakannya.” (HR. Tirmidzi).

Dalam Al-Qur’an, Allah memperingatkan dengan tegas agar manusia tidak memakan harta orang lain secara batil: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 188).

Ayat ini menggambarkan betapa dosa besar dilakukan ketika seseorang menggunakan jalur hukum untuk melegalkan perampasan hak orang lain. Seolah-olah menang di dunia, padahal kalah di akhirat.

Harta yang diperoleh dengan cara menzalimi ahli waris lain tidak akan membawa keberkahan. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya tidaklah seseorang mengambil hak saudaranya dengan sumpah dusta, melainkan Allah telah mewajibkan baginya neraka dan mengharamkan baginya surga.”

Para sahabat bertanya, “Sekalipun itu sesuatu yang kecil, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Sekalipun hanya sebatang ranting kayu arak.” (HR. Muslim).

Refleksi ini semestinya menggugah siapa pun yang terlibat dalam perkara kewarisan—baik sebagai pihak, kuasa hukum, maupun hakim—bahwa persoalan warisan bukan semata tentang pembagian harta, melainkan ujian kejujuran dan amanah. 

Karena setiap bagian yang diambil bukan pada tempatnya, tidak hanya mempunyai konsekuensi di dunia tetapi juga di akhirat kelak.