Bagi praktisi hukum di lingkungan peradilan agama mungkin tidak asing dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang sampai saat ini tetap eksis dan digunakan sebagai sumber hukum materiil di lingkungan peradilan agama khususnya tentang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Namun, sampai saat ini ada sebagian praktisi hukum yang tidak mengetahui asal-muasal dari munculnya Kompilasi Hukum Islam.
Latar belakang penyusunan KHI atau Kompilasi Hukum Islam adalah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek KHI.
Kemudian, KHI ini mendapat pengakuan ulama dari berbagai unsur, karena ia juga merupakan hasil konsensus (ijma') ulama dari berbagai golongan melalui media lokakarya yang dilaksanakan secara nasional, yang kemudian mendapat legalisasi dari kekuasaan negara melalui instruksi presiden.
Pembentukan KHI berkaitan erat sekali dengan kondisi hukum Islam di Indonesia selama ini. Proses perumusan KHI tidak terlepas dari pertumbuhan, perkembangan hukum Islam dan lembaga peradilan agama sebelum dan sesudah masyarakat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Mahkamah Agung (MA) memandang adanya sejumlah kelemahan, antara lain soal hukum Islam yang diterapkan di lingkungan peradilan agama, yang cenderung simpang siur karena perbedaan pendapat ulama dalam hampir setiap persoalan. Untuk mengatasi persoalan ini ditetapkan satu buku hukum yang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku di lingkungan peradilan agama. Dengan adanya buku tersebut sebagai pedoman oleh para hakim dalam melaksanakan tugasnya, adanya kesatuan dan kepastian hukum lebih terjamin.
Tujuan dari dibentuknya KHI di Indonesia adalah menyiapkan pedoman yang seragam (unifikasi) bagi hakim Pengadilan Agama, sehingga, tidak terjadi lagi simpang siur dalam putusan hakim. Tanpa adanya KHI, para hakim di Pengadilan Agama dalam mengadili perkara berpedoman kepada referensi kitab fiqih yang dibuat oleh para fuqaha (ahli hukum) terdahulu berdasarkan situasi dan kondisinya di mana fuqaha itu berada. Akibatnya, hakim yang mengadili perkara yang sama sering kali putusannya berbeda atau terjadi ketidakseragaman. Hal tersebut dapat membingungkan para pencari keadilan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
KHI adalah fiqih khas Indonesia karena disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fiqih tersebut telah dicetuskan oleh Prof. Dr. Hazairin dan Prof. Dr. Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. Fiqih sebelumnya mempunyai tipe fiqih lokal semacam fiqih Hijazy, fiqih Mishry, fiqih Hindy, dan fiqih lain-lain yang sangat memperhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat di mana fiqih-fiqih tersebut lahir dan berkembang.
Tetapi, yang dimaksud di sini bukan berupa mazhab baru, melainkan ia mempersatukan berbagai mazhab fiqih dalam menjawab suatu persoalan fiqih dan mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum Islam. Hal tersebut merupakan bentuk terdekat dengan arah pembangunan hukum nasional di Indonesia, yaitu kodifikasi hukum yang lebih pasti.
Sejalan dengan pembentukan KHI, politik hukum nasional yang ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah kodifikasi hukum. Sekaligus mengingat kebutuhan yang mendesak, maka MA berpendapat perlunya ditetapkan sasaran yaitu KHI. Selain itu, dengan adanya kompilasi hukum tersebut para hakim agama akan mempunyai pegangan tentang hukum yang harus diterapkan dan masyarakat akan lebih mantap dalam pengetahuannya tentang hak dan kewajiban menurut hukum-hukum Islam.
Dilihat dari perspektif hukum nasional, KHI dihadapkan pada dua pandangan; pertama, sebagai hukum tidak tertulis seperti yang ditunjukkan oleh penggunaan instrumen hukum berupa instruksi presiden yang tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber hukum tertulis. Kedua, KHI dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis yang menunjukkan bahwa KHI berisi law dan rule yang pada gilirannya terangkat menjadi law.
Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dipandang sebagai salah satu produk politik yang mengalirkan KHI dalam jajaran law. Pada akhirnya masyarakat yang mengaplikasikan KHI yang akan menguji keberanian pandangan ini sehingga menjadikannya sebagai hukum tertulis.
Maka, meskipun KHI bukanlah suatu undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan disahkan presiden, namun kedudukannya sebagai suatu kompilasi hukum harus dimaknai sebagai hukum positif Islam untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan dan dijadikan rujukan.
Berkaitan dengan lembaga peradilan, KHI dijadikan pedoman dalam penyelesaian perkara yang diajukan ke pengadilan dalam lingkungan peradilan agama sebagaimana tujuan dari penyusunan KHI tersebut.