Penal Welfarism: Pendekatan Kesejahteraan Sosial dalam Penjatuhan Pidana

Pada prinsipnya penal welfarism, berfokus pada rehabilitasi dan kesejahteraan pelaku pidana, daripada tindakan hukuman atau pembalasan.
Ilustrasi pidana penjara. Foto freepik
Ilustrasi pidana penjara. Foto freepik

Aspek pemidanaan merupakan salah satu aspek penting, di dalam kajian hukum pidana. Sampai saat ini, bisa dikatakan pemidanaan paling dominan adalah penjatuhan pidana penjara. Hal tersebut, dikarenakan Pasal 10 KUHP lama, menjelaskan jenis-jenis pemidanaan, dimana pidana pokok hanya terdiri dari lima jenis, antara lain pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, dan pidana tutupan. 

Berdasarkan data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sejak 1998 hingga 2016, terdapat 716 perbuatan yang merupakan tindak pidana baru. Dari angka tersebut, mayoritas 91,34% merupakan tindak pidana dengan sanksi pidana penjara. Sementara, 6,28%, sanksi pidana kurungan. 

Fenomena dimaksud, sepertinya ditangkap para pembuat undang-undang, ketika mengundangkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru). Di dalam KUHP Baru, pidana pokok terdiri atas pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial. Masuknya pidana pengawasan dan pidana kerja sosial sebagai pidana pokok, mengindikasikan sudah ada perubahan paradigma, dari KUHP Baru, khususnya dilihat aspek pemidanaannya.

Berkaitan dengan aspek pemidanaan, salah satu pendekatan yang dapat digunakan penegak hukum, dalam menjatuhkan pidana, adalah pendekatan penal welfarism. Pendekatan ini, penulis peroleh dari pidato pengukuhan guru besar Prof. Heru Susetyo, S.H., LL.M., M.Si., M.Ag., Ph.D., pada 30 April 2025, di Universitas Indonesia, Depok. Tulisan ini akan memaparkan secara garis besar isi pidato akademik, yang disampaikan Heru Susetyo.

Dalam pidato pengukuhan guru besarnya, Heru Susetyo mengkritik pidana pemenjaraan, dengan menggunakan metode analisis arkeologis dan genealogis dari foucault dan teori kapabilitas Amartya Sen. Pada intinya, diperoleh kesimpulan bahwa pemenjaraan mengalami diskontinuitas dan inkonsistensi antara teori dan praktik, pemenjaraan sebagai praktik pendisiplinan yang destruktif dan membatasi kapabilitas manusia, identitas dan kebebasan individu dalam penjara mengalami alienasi dan penghinaan, kekuasaan dalam pemenjaraan bekerja secara destruktif, baik dari perspektif institusi maupun kebebasan subjek dan pemenjaraan modern memiliki rasionalitas yang terbatas, serta sering bertentangan dengan tujuan keadilan dan rehabilitasi. 

Dari perspektif penologi, cabang ilmu kriminologi yang mempelajari filsafat, teori, dan praktik hukuman, serta pengelolaan pelaku tindak pidana, di mana rehabilitasi dan reintegrasi sosial lebih efektif dalam menangani pelaku tindak pidana dibandingkan pendekatan yang mengedepankan penghukuman. 

Pendekatan penal welfarism, pertama kali diperkenalkan David Garland, yang merupakan seorang sosiolog dan kriminolog terkemuka. Pada prinsipnya penal welfarism, berfokus pada rehabilitasi dan kesejahteraan pelaku pidana, daripada tindakan hukuman atau pembalasan. Menurut Garland, poin-poin penting dari pendekatan penal welfarism yaitu:

- Perlakuan individual: Pendekatan terhadap pelaku tindak pidana, dilakukan secara individu. Dalam hal ini, tidak hanya menghukum pelaku tindak pidana, namun juga berupaya memahami dan mengatasi penyebab mendasar perilaku kriminal seperti kemiskinan, kurangnya pendidikan, atau kesehatan mental.

- Rehabilitasi: Salah satu tujuan penal welfarism, adalah merehabilitasi pelaku tindak pidana dan membantu pelaku tindak pidana kembali terintegrasi ke dalam masyarakat, sebagai warga negara yang taat hukum. Hal ini dapat dicapai, melalui pendidikan, pelatihan kerja, konseling, dan upaya pendukung lainnya

- Perah Ahli: keberhasilan penal welfarism, sangat ditentukan ahli di bidang lain seperti pekerja sosial, psikolog, dan profesional lainnya, untuk menentukan intervensi apa yang tepat terhadap pelaku tindak pidana

- Kesejahteraan pelaku tindak pidana: kesejahteraan dan hak pelaku tindak pidana diprioritaskan, dalam merehabilitasi pelaku tindak pidana

- Legalisme liberal dan proses hukum yang wajar: Garland mencatat penal welfarism, menggabungkan legalisme liberal tentang proses hukum yang wajar dan hukuman proporsional, dengan komitmen pemasyarakatan terhadap rehabilitasi dan kesejahteraan    
penal welfarism di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 (KUHP Baru).

Secara paradigmatik, konsep pemidanaan di dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2023 (KUHP Baru) telah mengalami pergeseran, yang sebelumnya menekankan pendekatan retributif . Saat ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan restoratif dan rehabilitatif.

Beberapa aspek penal welfarism di dalam KUHP Baru meliputi:

- Pidana kerja sosial sebagai alternatif hukuman. Di dalam KUHP Baru, pidana kerja sosial dimasukan ke dalam pidana pokok, yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Pidana ini bertujuan memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana, agar berkontribusi positif terhadap masyarakat, sebagai bentuk rehabilitasi.

- Pendekatan keadilan restoratif sebagai pendekatan utama di dalam KUHP Baru. KUHP Baru membuka ruang, bagi penyelesaian perkara melalui musyawarah dan keterlibatan masyarakat, mengedepankan pemulihan hubungan sosial dan keseimbangan daripada pembalasan semata.

- Mengurangi overcrowding di LAPAS. Dengan pengenalan pidana alternatif seperti kerja sosial dan pengawasan KUHP baru, berupaya mengatasi isu kepadatan lembaga pemasyarakatan.

- Pemidanaan yang mendidik dan membangun kesadaran hukum, di mana KUHP 2023 menekankan pentingnya membangun budaya hukum yang tidak hanya menakuti, dengan ancaman hukuman, namun juga mendidik masyarakat, agar memahami konsekuensi perbuatan dan memperbaiki diri. 

Kesimpulan

Pada intinya, penal welfarism, fokus terhadap upaya pembinaan, reintegrasi, dan pemberdayaan sosial bagi pelaku tindak pidana, sebagai bagian dari pelayanan kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.

Penal welfarism sendiri, dapat terwujud melalui pendekatan penal maupun nonpenal, pendekatan keadilan restoratif atau penghukuman, namun dengan pendekatan kesejahteraan sosial yang menekankan aspek rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial, dan pemberdayaan sosial.