Mata Uang Digital, Bukti Digital: Siapkah Pengadilan?

MA perlu mengeluarkan pedoman teknis atau Surat Edaran yang memberikan arahan bagi hakim dalam menangani perkara digital, termasuk bagaimana menilai validitas bukti digital.
Ilustrasi mata uang kripto. Foto pixabay.com
Ilustrasi mata uang kripto. Foto pixabay.com

Di era serba digital ini, perkembangan teknologi menghadirkan tantangan baru bagi dunia peradilan. Mata uang digital seperti Bitcoin, Ethereum, hingga transaksi kripto lainnya semakin sering muncul dalam perkara-perkara pidana, perdata, maupun niaga. Sementara itu, pengadilan harus mulai bersiap menghadapi bukti-bukti digital yang bersifat kompleks dan cepat berubah.

Salah satu tantangan utama adalah bagaimana hakim memahami, menilai, dan memutus perkara yang melibatkan transaksi berbasis blockchain, yang tidak selalu terekam dalam sistem tradisional. Bukti digital seperti wallet address, hash transaction, hingga smart contract menuntut hakim untuk menguasai pemahaman teknis yang belum pernah ada dalam perkara konvensional.

Dalam konteks hukum, pembuktian adalah hal yang fundamental. Pasal 184 KUHAP mengatur alat bukti seperti keterangan saksi, ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Namun, era digital menuntut interpretasi baru: apakah tangkapan layar, metadata transaksi, atau verifikasi dari exchange dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah? Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka di ruang sidang.

Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi memegang peranan penting untuk merespons dinamika ini. MA perlu mengeluarkan pedoman teknis atau Surat Edaran yang memberikan arahan bagi hakim dalam menangani perkara digital, termasuk bagaimana menilai validitas bukti digital, siapa yang dapat dijadikan ahli, dan bagaimana cara memverifikasi transaksi kripto secara sah.

Pendidikan berkelanjutan dan pelatihan teknologi juga menjadi hal yang tak bisa ditunda. Hakim harus diberi kesempatan mengikuti pelatihan tentang blockchain, digital forensics, dan regulasi teknologi finansial. Hal ini penting agar putusan tetap objektif, akuntabel, dan tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat teknis semata.

Pengadilan dituntut untuk selalu adaptif. Ketika kejahatan berubah wujud, maka mekanisme keadilan juga harus berkembang. Ke depan, sinergi antara aparat penegak hukum, lembaga pengawas keuangan, dan pengadilan sangat diperlukan untuk memastikan bahwa keadilan tetap tegak, meskipun dilakukan dalam ruang digital.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews