Sitou timou tumou tou
”manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain”,
Mungkin, kita sudah banyak mendengar semboyan tersebut yang diucapkan oleh salah satu pahlawan nasional yaitu Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi, atau yang lebih dikenal dengan Sam Ratulangi. Dia adalah sosok yang sangat dihormati dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia lahir pada 5 November 1890 di sebuah kota kecil bernama Tondano, yang terletak di Sulawesi Utara.
Lingkungan pegunungan yang sejuk, danau yang tenang, serta budaya Minahasa yang kuat membentuk karakter Sam sebagai pribadi yang tekun, berpikiran terbuka, dan penuh empati terhadap sesama. Sejak kecil, Sam menunjukkan kecerdasan yang luar biasa. Ia menempuh pendidikan di sekolah Belanda dan kemudian melanjutkan studi ke luar negeri.
Beliau belajar di sekolah dasar Belanda (Europeesche Lagere School), lalu melanjutkannya di Hoofdenschool, keduanya di Tondano. Pada 1904, ia berangkat ke Jawa untuk masuk Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) setelah menerima beasiswa dari sekolah tersebut. Sebuah pencapaian langka untuk seorang pribumi pada masa itu.
Selama berada di Eropa, Sam aktif dalam organisasi pergerakan mahasiswa Indonesia dan mulai menanamkan semangat nasionalisme. Ia menyuarakan pentingnya pendidikan dan persatuan bagi bangsa Indonesia yang saat itu masih terpecah oleh kolonialisme Belanda. Sekembalinya ke Indonesia, Sam Ratulangi tidak hanya menjadi guru dan penulis, tetapi juga tokoh politik. Ia terkenal karena kemampuannya menyampaikan ide-ide besar dengan bahasa yang bisa dipahami rakyat. Gagasan filosofisnya yang terkenal, "Si tou timou tumou tou", menggambarkan pandangan hidupnya: bahwa "manusia hidup untuk memanusiakan manusia."
Pada 5 April 1946, Dr. Sam Ratulangi-Gubernur Sulawesi masa awal kemerdekaan-ditangkap oleh polisi militer Belanda karena menentang dominasi NICA dan mempertahankan pemerintahan Republik. Ia dan beberapa stafnya sempat dipenjara selama tiga bulan di Makassar, sebelum akhirnya dipindahkan ke Pulau Serui di Kepulauan Yapen, Papua Barat, tepatnya pada 18 Juni 1946 Pengasingan itu dimaksudkan untuk membungkam pengaruhnya.
Namun justru di ruang sempit dan terpencil inilah, api perjuangan dan pengabdian Ratulangi menyala semakin terang. Hidupnya di Serui sederhana: bangun pagi, menyapu halaman, lalu menerima tamu-biasanya warga setempat atau anak-anak yang datang membawa buku lusuh. Ia mengajar membaca, berhitung, dan kadang bercerita tentang dunia di luar pulau.
Dalam percakapan santai di beranda, ia menanamkan nilai kejujuran, kerja keras, dan rasa percaya diri. Tidak ada papan tulis besar, tidak ada seragam sekolah-hanya pena, kertas, dan semangat belajar yang menyatukan guru dan murid.
Angin laut dari Teluk Cenderawasih berhembus pelan, membawa aroma asin yang menyatu dengan wangi kayu tua dari rumah sederhana di tepi Serui. Catnya telah memudar, papan lantainya berderit pelan setiap kali diinjak, seolah mengisyaratkan usia panjang yang sarat cerita.
Di situlah, jauh dari tanah kelahirannya di Minahasa dan gemuruh panggung politik, Sam Ratulangi menghabiskan hari-hari pengasingan.Tak ada kemegahan, tak ada protokol kehormatan-hanya meja kayu, rak buku lusuh, dan secangkir teh yang dingin di sudut ruangan. Namun dari tempat sunyi inilah, Ratulangi menyalakan cahaya teladan. Ia mengajar anak-anak Serui membaca dan berhitung, menulis pandangan-pandangannya tentang kemerdekaan, dan berbincang dengan warga tentang kehidupan yang adil dan bermartabat.
Rumah ini bukan sekadar tempat berteduh; ia adalah pusat kecil yang memancarkan gagasan besar, bukti bahwa kepemimpinan sejati tak pernah mengenal jarak, jabatan, atau keadaan.
Melihat teduhnya rumah pengasingan Sam Ratulangi ini, bagi seorang hakim yang ditempatkan di Serui, kisah itu bukan sekadar sejarah. Itu adalah pengingat. Penempatan di ujung timur bukan berarti berada di pinggir panggung. Justru di sinilah, jauh dari pusat, keadilan diuji dalam bentuk yang paling murni. Seperti pena Ratulangi yang menulis kata-kata pengharapan, palu hakim pun harus mengetuk dengan keberanian dan kebijaksanaan.
Di sini, hukum tidak hanya diucapkan-ia dihidupkan. Keputusan yang lahir dari meja hakim harus memancarkan integritas, menghormati martabat manusia, dan membangun kepercayaan warga terhadap peradilan.
Serui telah mengajarkan bahwa seorang pengabdi sejati, apakah ia sebenarnya bukan seorang pemimpin yang sedang diasingkan atau seorang hakim yang ditempatkan, tidak diukur dari megahnya ruang kerja atau ramainya tepuk tangan. Ia diukur dari jejak kebaikan yang ia tinggalkan di hati orang-orang yang dijiwanya keadilan ditegakkan.
Dan hari ini, di Serui, palu hakim bukan hanya milik pengadilan-ia milik masyarakat. Ia akan mengetuk bukan hanya untuk menjatuhkan putusan, tetapi untuk menguatkan keadilan , menegakkan martabat, dan membangun harapan. Karena ketika hakim dan menegakkan hukum di masyarakat, Serui bukan lagi ujung peta-ia adalah pusat keadilan dan kemanusiaan.
Hari-hari di Serui bukan masa yang dihabiskan dalam keluh kesah, melainkan ladang subur bagi pengabdian. Ratulangi membuktikan bahwa kepemimpinan sejati tidak memerlukan panggung megah atau kekuasaan formal. Justru dalam keterbatasan, ia menyalakan api teladan yang menerangi sekitar.
Dia konsisten menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati dibangun di atas pendidikan, kerendahan hati, keberanian, inspirasi, dan kemanusiaan. Nilai-nilai inilah yang layak kita bawa ke masa kini-di tengah tantangan zaman yang berbeda, tetapi dengan kebutuhan teladan yang sama besarnya.
Perenungan dan wisata saya di rumah pengasingan Sam Ratulangi ini, sangat berkesan begitu membuka mata dan batin bahwa, di manapun berada pasti ada hal dan maksud Tuhan di dalamnya dan sebagai Punggawa Mahkamah Agung di manapun dan kapanpun seorang hakim harus siap bersedia untuk ditempatkan di segala penjuru tanah Nusantara.