Individu pemilik tanah, khususnya yang telah memiliki sertifikat hak milik, dinilai sebagai pihak yang memiliki hak terkuat, turun temurun (dapat diwariskan) dan terpenuh, tanpa mengesampingkan tanah yang memiliki fungsi sosial, sebagaimana Pasal 20 Ayat 1 jo Pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Sebagai hak terkuat, hak milik atas tanah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, termasuk dijadikan jaminan atas utang pemiliknya, dengan dibebani hak tanggungan (vide Pasal 20 Ayat 1 dan Pasal 25 UU Pokok Agraria).
Pemindahan hak milik atas tanah, baik melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam peusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan, bilamana dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT, sebagaimana ketentuan Pasal 37 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Namun dalam keadaan tertentu, pemindahan hak milik atas tanah, dapat dilakukan tanpa melalui akta PPAT dan melalui penilaian Kepala Kantor Pertanahan, yang kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak bersangkutan (vide Pasal 37 Ayat 2 PP Pendaftaran Tanah).
Kondisi faktual di Indonesia, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, menjelaskan pemilik tanah di Indonesia yang memiliki serfikat hak milik, hanya 40%.
Meskipun begitu, proses pendaftaran tanah, terutama yang mengkonversikan hak lama atas tanah terus mengalami kemajuan. Pada awal tahun 2020, terdapat 11,24 juta pendaftar hak atas tanah.
Dalam konteks penyelesaian sengketa kepemilikan tanah di berbagai Pengadilan Negeri, tidak jarang ditemukan dasar kepemilikannya adalah hak lama seperti petuk pajak bumi, girik, pipil, kekitir, dan bukti lainnya.
Kedudukan bukti lama atas tanah, dapat dijadikan salah satu syarat untuk mendaftarkan hak atas tanah berdasarkan bukti lama, sebagaimana penjelasan Pasal 24 Ayat 1 PP Pendaftaran Tanah.
Bukti hak lama tersebut, mayoritas tercatat dalam buku Letter C Tanah, yang disimpan Kepala desa atau perangkat desa lainnya. Demikian juga, setiap proses peralihan bukti lama atas tanah, dicatatkan Kepala Desa dalam buku Letter C Tanah.
Adapun catatan buku Letter C Tanah dimaksud, sering dijadikan alat bukti surat dalam penyelesaian sengketa kepemilikan tanah, yang didasarkan pembuktian hak lama dan belum dikonversi sertifikat hak atas tanah.
Selanjutnya, bagaimanakah kedudukan hukum catatan dari buku Letter C Tanah sebagai alat bukti dalam sengketa kepemilikan tanah, khususnya bagi tanah yang didasarkan hak lama dan belum didaftarkan sertifikat hak atas tanahnya?
Guna menjawab pertanyaan dimaksud, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 84 K/Sip/1973 yang diputus Majelis Hakim Agung RI Prof. R Subekti, S.H. (Ketua Majelis), dengan didampingi Bustanul Arifin, S.H. dan Sri Widojati Wiratmo Soekito, S.H. (masing-masing Hakim Anggota).
Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 84 K/Sip/1973, menjelaskan catatan dari buku Desa (Letter C) tidak dapat dipakai sebagai bukti hak milik, jika tidak disertai alat bukti lainnya.
Maka, dapat ditarik kesimpulan kedudukan catatan buku Letter C Tanah selama tidak didukung alat bukti lain, sehingga tidak dapat menguatkan dalil kepemilikan sengketa tanah, yang didasarkan pembuktian hak lama dan belum dikonversi sertifikat hak atas tanah.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 84 K/Sip/1973, telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi MA RI, sebagaimana buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia Seri Hukum Perdata dan Acara Perdata.