“Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,” demikian amanat Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Ketentuan ini bukan sekadar janji normatif, melainkan fondasi moral bahwa kesejahteraan hakim adalah prasyarat tegaknya keadilan. Namun, di balik idealisme tersebut, muncul pertanyaan yang layak direnungkan: apakah jaminan kesejahteraan itu sudah mencerminkan keadilan proporsional bagi setiap hakim, khususnya di lingkungan PTUN? Dari sinilah wacana diferensiasi tunjangan jabatan hakim berdasarkan tipe pengadilan hadir, menguji sejauh mana negara konsisten meletakkan prinsip suum cuique tribuere-memberikan kepada setiap orang sesuai bagiannya-bagi para pengemban hukum.
Pembedaan tunjangan jabatan hakim PTUN berdasarkan klasifikasi tipe pengadilan merupakan wacana yang rasional jika dilihat dari perspektif keadilan proporsional, beban dan kompleksitas perkara, serta risiko pekerjaan. Diskursus ini semakin relevan di tengah perhatian publik terhadap kenaikan tunjangan hakim, terutama setelah adanya pengumuman kenaikan gaji hakim hingga 280% oleh Presiden Prabowo Subianto. Pengumuman tersebut disampaikan Presiden Prabowo pada saat Penulis menghadiri pengukuhan Hakim Mahkamah Agung pada Kamis (12/06/2025).
Kenaikan gaji dan tunjangan jabatan hakim diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024, yang merupakan revisi ketiga dari PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Berdasarkan PP No. 44 Tahun 2024, terdapat struktur tunjangan jabatan hakim di empat lingkungan peradilan yang diatur berdasarkan tingkatan jabatan, pangkat/golongan dan kelas pengadilan. Namun, khusus PTUN yang menggunakan klasifikasi tipe, pengaturan spesifik terkait tipe pengadilan masih sangat terbatas.
Klasifikasi Tipe Pengadilan Tata Usaha Negara
Secara administratif, Mahkamah Agung mengelompokkan pengadilan berdasarkan kelas pengadilan maupun tipe pengadilan. Klasifikasi PTUN ke dalam tipe Khusus, A, B, maupun C didasarkan pada indikator volume perkara, baik dari segi jumlah maupun kompleksitas.
Peradilan Tata Usaha Negara memiliki 38 pengadilan, terdiri atas 8 Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan 30 Pengadilan Tata Usaha Negara, sesuai Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 28/KMA/SK.OT1.1/II/2025 tentang Nama, Kelas, Tipe, Lokasi, dan Daerah Hukum Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Dari 30 PTUN, klasifikasi terdiri atas tipe Khusus (PTUN Jakarta), tipe A sebanyak 6 PTUN, tipe B sebanyak 11 PTUN, dan tipe C sebanyak 12 PTUN.
Berdasarkan PP Nomor 94 Tahun 2012 jo. PP Nomor 44 Tahun 2024, penetapan tunjangan hakim mengacu pada jenjang jabatan, pangkat/golongan, dan kelas pengadilan. Regulasi eksisting tersebut tidak menyebut langsung tunjangan jabatan hakim PTUN berdasarkan pada tipe Khusus, A, B, atau C.
Konsekuensinya, adalah:
- Hakim PTUN, baik yang bertugas di pengadilan tipe Khusus, A, B, maupun C, memperoleh tunjangan jabatan yang disetarakan dengan tunjangan di pengadilan kelas IA. Berbeda halnya dengan hakim peradilan umum maupun peradilan agama yang memperoleh tunjangan jabatan berdasarkan kelas pengadilan;
- Hakim Pratama di PTUN tipe Khusus atau tipe A bisa mendapatkan tunjangan yang sama dengan Hakim Pratama di PTUN tipe C, kendati terdapat perbedaan yang signifikan dalam beban perkara, tingkat risiko, maupun intensitas tekanan publik;
- Besaran tunjangan hakim lebih ditentukan oleh status kelas pengadilan, seperti perbedaan antara kelas IA Khusus, IA, IB dan II, daripada oleh klasifikasi tipe Khusus/A/B/C yang bersifat internal di lingkungan MA;
Terdapat beberapa wacana krusial atas diferensiasi tunjangan jabatan Hakim PTUN berdasarkan tipe pengadilan, yaitu:
a. Beban Kerja yang Tidak Merata
Hakim PTUN di tipe Khusus maupun tipe A kerap dihadapkan pada perkara yang jauh lebih banyak, lebih rumit, serta melibatkan pihak-pihak kuat seperti Presiden, Menteri, atau korporasi besar. Namun, meski beban kerja Hakim PTUN di tipe Khusus maupun tipe A jelas lebih berat dibanding Hakim PTUN di tipe C, tunjangan yang diterima tetap sama. Kondisi ini menimbulkan ketidakadilan proporsional, karena perbedaan tanggung jawab dan tingkat kesulitan tidak tercermin dalam kebijakan tunjangan hakim.
b. Tingkat Risiko dan Sorotan Publik
Perkara di PTUN tipe Khusus maupun tipe A sering menjadi sorotan publik. Hakim harus menghadapi risiko tekanan publik, potensi ancaman, atau intervensi. Sedangkan, eksposur di PTUN tipe C relatif rendah, meskipun sesekali muncul perkara yang menarik perhatian publik.
c. Biaya Hidup dan Penempatan
PTUN tipe khusus maupun tipe A berada di kota metropolitan dengan biaya hidup jauh di atas rata-rata nasional. Meskipun ada tunjangan kemahalan, sistemnya masih berdasarkan zonasi sebagaimana Lampiran III PP No. 94 Tahun 2012, di mana zona 1 tidak memperoleh tunjangan, sehingga beleid tersebut belum menyesuaikan perbedaan biaya hidup antar kota besar.
Pentingnya Diferensiasi Tunjangan bagi Hakim PTUN
1. Mewujudkan Keadilan Proporsional
Diferensiasi tunjangan hakim PTUN mencerminkan beban kerja dan tanggung jawab yang diemban. Oleh karena itu, diferensiasi tunjangan bagi hakim di PTUN tipe Khusus dan tipe A dengan hakim di tipe B dan C menjadi relevan, sebab hakim pada tipe Khusus dan A umumnya menangani perkara yang lebih banyak, kompleks, serta melibatkan pihak-pihak dengan kedudukan hukum yang kuat, sehingga pemberian tunjangan yang lebih tinggi bukan hanya bentuk penghargaan finansial, melainkan juga wujud pengakuan atas tanggung jawab yang lebih berat sekaligus langkah untuk menjaga motivasi, profesionalitas, dan integritas hakim dalam menjalankan fungsi peradilan.
Lebih lanjut, fakta sosiologis menunjukkan mutasi seorang Ketua PTUN tipe B atau C menjadi Wakil Ketua PTUN tipe A atau Khusus, bukanlah sebuah promosi karena justru tunjangan jabatannya semakin berkurang dan tunjangan kemahalannya tidak lagi diterima. Berbeda halnya di peradilan umum, di mana mutasi Ketua PN Kelas 1A menjadi Wakil Ketua PN Kelas 1A Khusus merupakan promosi karena tunjangan jabatannya lebih besar.
2. Menghindari Potensi Korupsi
Diferensiasi tunjangan hakim PTUN merupakan perisai terhadap praktik korupsi. Dengan tunjangan yang memadai, hakim terlindungi secara finansial dan dapat fokus menegakkan keadilan tanpa intervensi transaksional.
3. Menjaga Kualitas Putusan
Kesejahteraan hakim memiliki pengaruh langsung terhadap kualitas putusan, karena hakim yang tercukupi secara finansial lebih mampu menjaga independensi, integritas, dan konsentrasi dalam menelaah perkara. Dengan jaminan kesejahteraan yang memadai, hakim dapat terhindar dari intervensi maupun godaan transaksional, sehingga setiap putusan yang dihasilkan lebih berkeadilan. Sebaliknya, ketidakcukupan kesejahteraan berpotensi melemahkan profesionalisme hakim dan menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
4. Tunjangan Berbasis Kinerja
Dengan adanya diferensiasi tunjangan, tunjangan jabatan bagi hakim PTUN dapat diarahkan secara lebih efektif karena penghargaan yang diterima selaras dengan kontribusi nyata yang diberikan. Hakim di PTUN tipe Khusus dan A yang dihadapkan pada perkara dengan risiko tinggi, sorotan publik, dan kompleksitas hukum yang mendalam akan lebih terdorong menjaga kualitas putusan serta integritasnya, sementara hakim di tipe B dan C tetap mendapatkan tunjangan sesuai beban kerja yang lebih ringan, sehingga tercipta proporsionalitas, di mana setiap hakim diberi insentif berdasarkan tanggung jawab dan tantangan yang dihadapinya.
5. Keselamatan Hakim
Perkara yang ditangani di pengadilan tipe Khusus dan A sering kali melibatkan pejabat tinggi negara, lembaga pemerintah, atau korporasi besar yang berpotensi menimbulkan tekanan politik, ancaman keselamatan, maupun risiko intimidasi. Dalam konteks ini, pemberian tunjangan yang lebih tinggi dapat dipandang sebagai kompensasi proporsional atas risiko personal yang lebih besar, sekaligus bentuk perlindungan dan pengakuan negara terhadap pentingnya menjaga keberanian, independensi, serta rasa aman para hakim dalam menjalankan fungsi peradilan secara objektif dan berintegritas.
6. Pemerataan Penempatan
Kebijakan pembedaan tunjangan jabatan hakim PTUN mendorong distribusi hakim yang merata ke seluruh daerah, termasuk wilayah yang sebelumnya kurang diminati. Korelasi tersebut menunjukkan bahwa pembedaan tunjangan mampu memperkuat efektivitas pemerataan penempatan sekaligus menjaga kualitas dan integritas peradilan.
Pembedaan tunjangan jabatan hakim PTUN berdasarkan tipe pengadilan merupakan wacana yang rasional jika dilihat dari perspektif keadilan proporsional, beban kerja, dan risiko pekerjaan. Namun, implementasinya memerlukan payung hukum yang jelas dan penghitungan anggaran yang matang. Dengan kebijakan yang tepat, diferensiasi ini dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan motivasi hakim, menjaga kualitas putusan, serta memperkuat integritas peradilan tata usaha negara di Indonesia.