Sebagai hakim di Pengadilan Negeri, setiap permohonan ganti nama yang masuk selalu menghadirkan dilema tersendiri. Di satu sisi, permohonan ini mencerminkan hak dasar setiap warga negara atas identitas pribadinya-sebuah peristiwa penting sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Permohonan ganti nama, seperti perkara voluntair lainnya, diajukan bukan karena ada sengketa, melainkan semata-mata demi kepentingan pemohon. Dalam konteks ini, hakim tidak berperan sebagai pemutus konflik, melainkan sebagai pihak yang memberikan penetapan hukum untuk melindungi hak sipil warga negara.
Sementara di sisi lain, tanggung jawab hakim tak hanya berhenti pada mengabulkan keinginan pemohon. Yurisprudensi kuat dari Putusan Peninjauan Kembali Nomor No/PK/AG/1990 telah menggariskan dengan tegas: perkara permohonan hanya bisa diterima dan diproses jika ada ketentuan undang-undang yang secara khusus mengaturnya. Ini adalah prinsip yang tak bisa ditawar. Artinya, setiap permohonan yang diajukan ke hadapan hakim harus punya landasan hukum yang kokoh.
Hal itulah yang menjadi titik kritis dalam permohonan ganti nama. Undang-Undang Administrasi Kependudukan, khususnya Pasal 52, memang memberi hakim wewenang untuk menetapkan perubahan nama berdasarkan permohonan. Setelah penetapan hakim keluar, pemohon wajib melaporkannya ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) dalam waktu 30 hari. Jika terlambat, sanksi denda Rp1 juta sudah menanti, sebagaimana diatur dalam Pasal 90 UU Administrasi Kependudukan. Persyaratan pencatatan pun jelas, mulai dari salinan penetapan, akta sipil, KK, KTP-el, hingga dokumen perjalanan bagi WNA, sebagaimana diatur Perpres 96/2018 dan Permendagri 108/2019.
Namun, yang sering luput dari perhatian pemohon adalah detail penting mengenai syarat sebuah nama itu sendiri. Permendagri Nomor 73 Tahun 2022 adalah kompas dalam melihat apakah nama baru yang diinginkan pemohon itu "layak" dicatatkan atau tidak. Aturan ini bukan sekadar formalitas, melainkan panduan agar nama-nama yang tercatat dalam dokumen kependudukan memenuhi kaidah yang baik dan benar.
Bayangkan jika seorang pemohon ingin mengganti namanya menjadi "A-123 Zzz" atau "Sang Penakluk Jagat Raya Yang Tak Terkalahkan Sepanjang Masa dan Selamanya". Meskipun terdengar unik, Permendagri 73/2022 jelas membatasi: nama harus mudah dibaca, tidak bermakna negatif, tidak multitafsir, maksimal 60 huruf (termasuk spasi), dan paling sedikit dua kata. Ada larangan mencantumkan angka, tanda baca, serta gelar pendidikan atau keagamaan pada akta pencatatan sipil. Nama juga harus selaras dengan norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan tentu saja, sesuai kaidah bahasa Indonesia.
Pertimbangan Hakim: Lebih dari Sekadar Mengabulkan
Di sinilah letak dilemanya. Meskipun permohonan ganti nama diajukan tanpa sengketa, hakim tetap memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa nama yang diminta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya, jika hakim mengabulkan permohonan nama yang jelas melanggar ketentuan dalam Permendagri Nomor 73 Tahun 2022-seperti nama yang terlalu panjang, mengandung angka, atau memiliki makna negatif-maka penetapan tersebut bisa dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang efektif, ibarat “macan ompong.”
Mengapa? Karena Disdukcapil memiliki hak dan bahkan kewajiban untuk tidak mencatatkan dan tidak menerbitkan dokumen kependudukan jika nama tersebut melanggar ketentuan Permendagri 73/2022. Bahkan, jika pejabat Disdukcapil nekat menerbitkan dokumen dengan nama yang melanggar, mereka sendiri bisa dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Lalu, apa gunanya sebuah penetapan pengadilan jika pada akhirnya tidak dapat dieksekusi di lapangan karena berbenturan dengan tata cara dan syarat pencatatan nama? Ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan frustrasi bagi pemohon. Oleh karena itu, dalam setiap persidangan permohonan ganti nama, hakim tidak hanya melihat alasan pemohon dan kelengkapan berkas, tetapi juga menimbang dengan saksama apakah nama yang akan diganti itu telah memenuhi koridor hukum yang ditetapkan, khususnya oleh Permendagri 73/2022.
Tugas hakim pada akhirnya adalah, memastikan bahwa setiap penetapan yang dikeluarkan benar-benar bermanfaat bagi pemohon dan selaras dengan seluruh tatanan hukum yang berlaku, sehingga perubahan nama itu tidak hanya sah secara yudisial, tetapi juga dapat diimplementasikan sepenuhnya dalam administrasi kependudukan. Ini adalah bentuk pertimbangan proaktif seorang Hakim demi kepastian dan keadilan bagi masyarakat.