Menyimpangi Undang-Undang Dalam Penentuan Status Barang Bukti Narkotika

Pasal 46 ayat (2) KUHAP mengatur: Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan.
Ilustrasi barang bukti. Foto ; Freepik
Ilustrasi barang bukti. Foto ; Freepik

Pada tahap penyidikan, diperoleh instrumen-instrumen yang diperlukan guna membuat terang suatu perkara. Satu diantara instrumen-instrumen ialah benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana yang lazim dikenal dengan istilah barang bukti. 

Pasal 46 ayat (2) KUHAP mengatur: Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Penentuan status narkotika sebagai benda sitaan/barang bukti pascaselesainya proses persidangan di pengadilan, diatur khusus dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (selanjutnya disingkat UU Narkotika), yaitu:

  • Pasal 101 ayat (1) UU Narkotika: “Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.” Penjelasan pasal 101 ayat (1) UU Narkotika: Ketentuan ini menegaskan bahwa dalam menetapkan Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dirampas untuk negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hasilnya” adalah baik yang berupa uang atau benda lain yang diketahui atau diduga keras diperoleh dari tindak pidana Narkotika.
  • Pasal 136 UU Narkotika: “Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika, baik berupa aset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.”

Ketentuan yuridis-normatif telah secara eksplisit mengatur status Narkotika sebagai barang bukti agar dinyatakan dirampas untuk negara. 

Akan tetapi dalam pelaksanaannya pada proses peradilan, secara masif penuntut umum dalam tuntutannya menuntut agar Narkotika dinyatakan untuk dimusnahkan, dan sejalan dengan tuntutan tersebut Hakim juga sependapat dan menyatakan dalam amar putusannya dengan menyatakan Narkotika dirampas untuk dimusnahkan, bahkan telah terdapat kesatuan pendapat Mahkamah Agung sebagaimana tertuang dalam SEMA No. 5 tahun 2014, angka 5 huruf b yang memuat kaidah: “Barang bukti Narkotika dirampas untuk dimusnahkan.” 

Lantas, apa saja alasan yang melatarbelakangi terbentuknya pilihan penegakan hukum tersebut ?

Pembahasan

Berdasarkan kedua pasal tersebut (Pasal 101 ayat 1 jo Pasal 136 UU Narkotika), dapat ditarik beberapa poin utama, yaitu:

 I Objek penentuan status terdiri dari:

  • Narkotika
  • Prekursor Narkotika
  • Alat/barang yang digunakan dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika (instrumentum sceleris)
  • Alat/barang yang menyangkut/berhubungan dengan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika (objectum sceleris)
  • uang atau benda lain yang diketahui atau diduga keras diperoleh dari tindak pidana Narkotika (fructum/productum sceleris)

  II. Adapun yang dimaksud dengan ‘Ketetapan dalam proses penyidikan’, dimaknai sebagai jumlah barang bukti Narkotika yang diajukan dalam persidangan dapat berbeda apabila dibandingkan dengan jumlah ketika penyidik melakukan penyitaan di awal proses, oleh karena dalam proses penyidikan, Narkotika yang disita dapat ditetapkan untuk (vide Pasal 90-93 UU Narkotika):

  • Disisihkan guna pembuktian perkara itu sendiri.
  • Disisihkan sebagian kecil untuk dijadikan sampel guna pengujian di laboratorium.
  • Disisihkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (disimpan Menteri dan BPOM).
  • Disihkan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan (disimpan oleh BNN). 
  • Dapat dikirimkan ke negara lain yang diduga sebagai asal Narkotika atau tanaman Narkotika tersebut untuk pemeriksaan laboratorium guna pengungkapan asal Narkotika atau tanaman Narkotika dan jaringan peredarannya berdasarkan perjanjian antarnegara atau berdasarkan asas timbal balik. Dan/atau
  • Dimusnahkan.

  III. Pascaproses pemeriksaan di persidangan dan setelah memperhatikan ‘ketetapan dalam proses penyidikan’, maka Hakim dalam amar putusannya wajib menyatakan Narkotika dirampas untuk negara (sifatnya mutlak karena tidak terbuka pilihan selain daripada itu).

Adapun alasan yang melatarbelakangi dalam proses penegakan hukum dilakukannya penyimpangan terhadap ketentuan Undang-Undang perihal status Narkotika sebagai barang bukti dari yang semula diatur agar dinyatakan dirampas untuk negara, menjadi dirampas untuk dimusnahkan, diantaranya:

1, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor  40  Tahun  2013  Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, sebagai aturan pelaksana UU Narkotika tidak mengatur lebih lanjut mengenai mekanisme Narkotika sebagai barang bukti yang dinyatakan dirampas untuk Negara. 

Baik UU Narkotika maupun PP hanya mengatur terkait Harta Kekayaan atau Aset Hasil Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika (fructum/productum sceleris) yang berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara, yang digunakan untuk kepentingan: 

  • pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan 
  • upaya rehabilitasi medis dan sosial.

Oleh karena baik UU Narkotika maupun peraturan pelaksananya tidak mengatur, maka apabila mengikuti aturan yang bersifat umum terkait pelaksanaan barang yang dirampas untuk negara sebagaimana diatur Pasal 273 ayat (3) KUHAP yang mengatur: Jika putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa. Maka praktis mekanisme tersebut juga tidak dapat ditempuh oleh karena sifat Narkotika tersebut terlarang sehingga tidak dapat dilakukan pelelangan terhadapnya.

Kondisi tersebut secara implementatif membuat tidak tuntasnya perampasan Narkotika untuk negara (tidak efektifnya penerapan pasal 45 ayat 4 KUHAP), menimbulkan kendala kepada pihak siapa Narkotika diserahkan dan bagaimana manfaat pihak yang menerima barang rampasan tersebut, terlebih misalnya barang bukti Narkotika golongan I merupakan barang berbahaya, yang tidak dapat digunakan untuk keperluan kesehatan seperti rehabilitasi. 

Hal-hal tersebut memunculkan banyak soal dan beragam pandangan di masyarakat diantaranya dikemanakan barang bukti narkoba yang dirampas untuk Negara ?.
Sebagai solusi atas keadaan tersebut, pemerintah dapat melakukan setidaknya 2 (dua) alternatif cara yang bisa ditempuh, pertama, melakukan perubahan substansi atas ketentuan Pasal 101 ayat 1 jo Pasal 136 UU Narkotika dengan memuat norma agar Narkotika dan Prekursor Narkotika dinyatakan dimusnahkan atau kedua, tetap mempertahankan substansi saat ini akan tetapi dengan menerbitkan aturan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan putusan terkait Narkotika yang dinyatakan dirampas untuk negara. 

Nampakya cara yang kedua yang kemungkinan besar dapat terealisasi, hal mana didasarkan pada perkembangan hukum pidana melalui diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), sebagai cerminan politik hukum teranyar yang hendak dituju Indonesia, tidak membawa implikasi terhadap Pasal 101 ayat 1 jo Pasal 136 UU Narkotika (KUHP Nasional hanya membawa perubahan dengan mencabut dan menyatakan tidak berlaku Pasal 11 sampai dengan Pasal 126 UU Narkotika dengan mereformulasi kedalam Pasal KUHP), dengan kata lain norma dalam Pasal 101 ayat 1 jo Pasal 136 UU Narkotika oleh pemerintah tetap dipertahankan/dianggap sudah tepat dan menjadi arah politik hukum pidana Indonesia. 

Oleh karenanya tinggal bagaimana pemerintah menyusun aturan terkait mekanisme lanjutan/aturan pelaksana terhadap narkotika yang dinyatakan dirampas untuk negara, apabila hal tersebut dapat terwujud maka sejatinya negara dapat me-manage peruntukkan narkotika tersebut agar memenuhi berbagai kepentingan sebagaimana diatur Pasal 4 huruf a UU Narkotika yang memuat: “Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” dan dipertegas dalam Pasal 7 UU Narkotika yang memuat: “Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi”.

2. Hambatan yang bersifat non yuridis dalam melakukan eksekusi barang bukti Narkotika yang dirampas untuk Negara adalah Tidak adanya anggaran dari pemerintah khusus Perawatan Barang Rampasan berupa Narkotika, Tempat penyimpanan yang kurang memadai, minimnya biaya pemeliharaan basan dan baran yang diterima Rupbasan setiap tahun, dan terjadinya penumpukan Basan dan Baran di Rupbasan.

Penutup

Penyimpangan terhadap ketentuan Undang-Undang perihal penentuan status Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagai barang bukti dalam amar putusan, dari yang ditentukan agar dinyatakan dirampas untuk negara menjadi dirampas untuk dimusnahkan, disebabkan karena kendala bagi Jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan apabila Narkotika dan Prekursor Narkotika dinyatakan dirampas untuk negara, oleh karena belum terdapat aturan pelaksanaan/mekanisme terkait untuk itu. Penegakan hukum yang demikian menjadi contoh nyata bagaimana keadilan dan kemanfaatan diutamakan menyampingkan kepastian hukum.

Daftar Rujukan

As’ad Djaelani Sibghatullah, 2023, Tesis Efektivitas Pelaksanaan Putusan Hakim Terkait Dengan Barang Bukti Narkotika Yang Dirampas Oleh Negara.
Eduward, et.al, Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika Yang Dirampas Untuk Negara (Studi Putusan Hakim Pengadilan Negeri Balige) USU Law Journal, Vol.4.No.2 (Maret 2016).
Lucky Aditya Widianto, 2012, Tesis Dasar Pertimbangan Kajari Dalam Menetapkan Status Barang Bukti Dalam Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Pasal 91(1) UU Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Di Kejaksaan Negeri Padang).
Ratna Nurul Afiah, 1989, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.
Richo Sumardana dan Ainal Hadi, Jurnal FH Universitas Syiah Kuala, Vol. 3 (3) Agustus 2019.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor  40  Tahun  2013.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 2014