Kekuatan Akta Perdamaian dalam Perdata

Kekuatan hukum akta perdamaian, jauh melampaui perjanjian biasa di bawah tangan. Wujudnya, perpaduan unik antara kesepakatan kontraktual dan kekuatan putusan yudisial.
Ilustrasi akta perdamaian. Foto : Freepik
Ilustrasi akta perdamaian. Foto : Freepik

Dalam sistem peradilan perdata Indonesia, ketika para pihak yang bersengketa berhasil mencapai titik temu melalui mediasi wajib, hasil kesepakatan damai itu diabadikan dalam bentuk akta perdamaian (Akte van Dading). 

Kekuatan hukum akta perdamaian, jauh melampaui perjanjian biasa di bawah tangan. Wujudnya, perpaduan unik antara kesepakatan kontraktual dan kekuatan putusan yudisial. 

Memahami kekuatan akta perdamaian, terutama merujuk PERMA Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan ketentuan dalam HIR (Herzien Indonesisch Reglement)/RBG (Reglement Buitengewesten), adalah kunci untuk mengapresiasi efisiensi dan kepastian hukum penyelesaian sengketa melalui jalur damai.

Dasar Hukum dan Kekuatan Mengikat Mutlak

1. Kekuatan Akta Perdamaian bersumber dari dua pilar hukum:

  • Pasal 130 HIR / Pasal 154 RBG: Kekuatan Eksekutorial: Pasal 130 HIR (dan Pasal 154 RBG untuk wilayah luar Jawa dan Madura), secara eksplisit mengatur bahwa perdamaian yang dilakukan di depan Hakim dan dikuatkan dalam putusan hakim memiliki kekuatan yang sama dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
  • Implikasi dari kekuatan ini adalah sifat eksekutorial langsung: Jika salah satu pihak, melakukan wanprestasi (ingkar janji) terhadap isi kesepakatan dalam akta perdamaian, pihak yang dirugikan tidak perlu mengajukan gugatan baru. Pihak tersebut dapat langsung mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan yang menguatkan akta tersebut. Hal ini sangat memangkas waktu dan biaya, membuat akta perdamaian menjadi instrumen hukum yang sangat efisien.

2. Prinsip Ne Bis in Idem

Akta Perdamaian otomatis menutup pintu, bagi perselisihan yang sama di kemudian hari. Putusan perdamaian yang telah dikuatkan Hakim, memiliki kekuatan mengikat mutlak (ne bis in idem), artinya perkara sama, dengan pihak dan objek yang sama, tidak dapat diajukan gugatan kembali. Kekuatan ini, menjamin kepastian hukum dan mencegah proses litigasi yang berulang-ulang.

Akta Perdamaian vs. Putusan Perdata Biasa

Meskipun sama-sama memiliki kekuatan inkracht, akta perdamaian berbeda dari putusan perdata biasa yang dihasilkan melalui pemeriksaan sengketa secara kontradiktor.

Aspek pembeda terkait dasar penerbitannya, akta perdamaian muncul dari kesepakatan dan kemauan para pihak (voluntair). Sedangkan putusan berdasarkan kewenangan dan pertimbangan Hakim (judex facti dan judex juris). 

Kemudian, terhadap putusan dapat dilakukan upaya hukum, sedangkan untuk akta perdamaian tidak dapat dimohonkan banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK). 

Selanjutnya terkait pembatalannya akta perdamaian, hanya dapat dibatalkan melalui gugatan pembatalan atas alasan cacat kehendak (penipuan, paksaan, kekhilafan) atau melanggar ketertiban umum, sedangkan putusan dapat dibatalkan melalui mekanisme upaya hukum (banding, kasasi, pk).

Implikasi Perma 1 Tahun 2016: Kewajiban dan Sanksi

PERMA 1/2016 memperkuat kedudukan akta perdamaian dengan menetapkan mediasi sebagai prosedur wajib dalam persidangan perdata. 

Peraturan ini memastikan bahwa setiap upaya perdamaian dilakukan secara formal dan terstruktur. PERMA ini juga memperkuat sanksi atas ketidakpatuhan.

Salah satu dampak terpenting PERMA, adalah penegasan bahwa akta perdamaian muncul dari proses mediasi yang wajib dan didukung oleh iktikad baik. 

Dikarenakan kesepakatan lahir dari kehendak bebas dan tulus para pihak, Hakim tidak lagi perlu mempertimbangkan keadilan materiil dari isi kesepakatan yang penting kesepakatan itu sah.

Ketiadaan jalur upaya hukum biasa (Banding, Kasasi, PK) menunjukkan penghargaan sistem peradilan terhadap self-determination (penentuan nasib sendiri) para pihak. 

Hakim adalah fasilitator kesepakatan, bukan pemutus sengketa. Konsekuensinya, para pihak harus berhati-hati menyepakati akta perdamaian, karena saat disahkan, akibat hukumnya final dan mengikat.

Mekanisme Pembatalan Ketat

Pembatalan akta perdamaian harus diajukan melalui gugatan baru (gugatan pembatalan) dan harus berdasarkan alasan yang membatalkan perjanjian, yaitu:

  • Ditemukan adanya unsur penipuan atau paksaan yang memengaruhi kesepakatan.
  • Ditemukan adanya kesalahan (kekhilafan) yang mendasar.

Prosedur pembatalan yang sulit,memperkuat posisi akta perdamaian sebagai solusi yang paling mengikat, memberikan kepastian hukum yang kokoh dan tidak mudah digoyahkan oleh upaya hukum di kemudian hari. 

Akta Perdamaian adalah mahkota dari sistem peradilan yang berorientasi pada perdamaian dan efisiensi.

Penulis: Fuadil Umam
Editor: Tim MariNews