Menyoal Kualitas Anggota Legislatif

Lembaga legislatif jelas sarat kekuasaan, karena melahirkan perundang-undangan dan turut mengawasi pengelolaan negara.
Ilustrasi ruangan parlemen. Foto : Freepik.com
Ilustrasi ruangan parlemen. Foto : Freepik.com

“The slave revolt in morality begins when ressentiment itself becomes creative and gives birth to values. The ressentiment of natures that are denied the true reaction, that of deeds, and compensate themselves with an imaginary revenge.” – Friedrich Nietzsche (On the Genealogy of Morals).

Dalam ilmu sosial-humaniora, ada sebuah fabel bijak yang sering dipergunakan untuk mengajari kita tentang hakikat kekuasaan (power): lebih baik seekor serigala yang memegang senjata mematikan daripada seekor domba.

Fabel ini sebenarnya mau mengatakan: kekuasaan akan menjadi sangat berbahaya bila dipegang oleh mereka yang tidak terbiasa dengannya. Simbol serigala adalah sosok mereka yang sudah terbiasa dengan kekuasaan: dinasti-dinasti turun-temurun, borjuasi aristokratik dan industrialis, atau kaum cerdik cendekia yang sudah melembaga dari generasi ke generasi.

Sebaliknya, domba melambangkan mereka yang tidak pernah sedikit pun mengenyam kekuasaan; tidak di masa hidup mereka, dan tidak pula generasi pendahulu mereka. Singkatnya, domba melambangkan mereka yang mendadak punya kekuasaan dalam waktu singkat.

Friedrich Nietzsche, salah satu filsuf besar dalam sejarah pemikiran Barat, mencurigai disposisi “domba” sebagai jalan untuk meraih kebenaran dalam bukunya On the Genealogy of Morals (2009). Mereka yang tidak pernah bersentuhan dengan kekuasaan ini, kata Nietzsche, memiliki kecenderungan untuk melakukan apa pun demi tujuan apa pun, karena seumur hidupnya orang-orang seperti ini belum pernah dijunjung, dihargai, dan dihormati.

Nietzsche mempergunakan istilah ressentiment, sebuah mekanisme mental reaktif yang ditujukan untuk menutup luka masa lampau. “Domba-domba” ini, secara analogi, akan lebih berbahaya jika mereka memegang kendali sebuah tank perang daripada seekor serigala. Pengalaman inferior yang mereka hidupi sebelumnya cenderung menjadi ajang “balas dendam”; semua upaya dilakukan untuk meredakan trauma yang pernah mereka alami.

Ambiguitas Pemilih dan Kerja Legislasi

Lembaga legislatif jelas sarat kekuasaan, karena melahirkan perundang-undangan dan turut mengawasi pengelolaan negara. Eksistensi hukum di sebuah negara sangat tergantung pada kualitas perundang-undangan yang dihasilkan oleh lembaga legislatif.

Sebuah putusan dari lembaga yudikatif tidak akan pernah bermutu bila didasarkan pada hukum yang buruk (bad law): “garbage in, garbage out.” Kerja para iuris sangat terkait dengan kerja keras para legislator di badan-badan legislatif. Ini berarti jika kinerja lembaga negara ini sangat buruk, dampaknya akan terasa di wilayah penyelenggaraan dan penegakan hukum.

Hukum akan semakin berjarak dengan rakyat sebagai pemilik negara bila institusi yang mengawasi dan mengesahkannya tidak benar-benar memahami kata representasi.

Namun demikian, ada satu tantangan serius dalam menyelenggarakan kerja legislatif: menjamin kualitas legislatornya.

Penstudi politik Bryan Caplan (2006) mengatakan bahwa tantangan terbesar dari demokrasi adalah konstituennya sendiri. Asumsi pemilih adalah sosok rasional, tukas Caplan, didasarkan pada teori ekonomi klasik tentang rasionalitas pembeli. Dalam kenyataannya, pemilih di sebuah negara jauh dari konsep rasional.

Demokrasi modern, menurut Caplan, diwarnai oleh irasionalitas konstituen. Ancaman terbesar mengapa semakin banyak negara yang memilih untuk meninggalkan demokrasi adalah ketidakpastian irasional semacam ini. Dengan tajam Caplan mengatakan: “voters are worst than ignorant; they are, in a word, irrational – and vote accordingly” (pemilih lebih buruk dari sekadar abai; mereka, dengan kata lain, irasional – dan memilih secara irasional pula) (Caplan, 2006:2).

Caplan tidak asal tuding. Fenomena gestural dan emosional (gerak untuk mengaktifkan sisi emosional manusia), seperti yang kita lihat dalam beberapa aksi panggung elite politik berbagai negara yang alih-alih menghibur malah menuai konflik, adalah cara ampuh untuk mematikan kerja pre-frontal cortex otak manusia yang alamiahnya berperan dalam berpikir dan bertindak rasional.

Demokrasi yang diasah saat ini adalah demokrasi “like” di media sosial, dan medan pertempuran perpolitikan sekarang adalah persoalan “like-war” (Singer & Brooking, 2018).

Legislator yang meraih kursinya di dewan perwakilan sebuah negara dengan jalur pintas irasionalitas tersebut cenderung hanya memiliki kompetensi afektif, tetapi sama sekali tidak analitik. Persoalannya, masalah-masalah yang perlu diselesaikan oleh lembaga legislatif sifatnya riil, dan tidak cukup dengan memberi kelegaan mental-emosional yang sifatnya temporer.

Hegemoni dan Massa dalam Demokrasi

Sebuah partai yang berkuasa dari tahun 1929 hingga 2000 di Meksiko, Partido Revolucionario Institucional (PRI, Partai Revolusi Institusional), menggunakan mekanisme “ternak suara” (vote buying) sebagai cara mereka mempertahankan konstituen. Politik negara ini bersifat patronase terikat, dengan pemilih mendapatkan imbalan kebijakan sesuai dengan yang mereka harapkan bila mereka dapat memastikan dominasi PRI (Magaloni, 2006).

Manipulasi elektoral menjadi hal rutin, dan koalisi di parlemen Meksiko menjadi upaya untuk meniadakan oposisi. Dampaknya, menurut pengkaji demokrasi dari Universitas Stanford, Beatriz Magaloni, hegemoni PRI menjadi semakin berat dan tidak lagi mampu ditopang oleh keuangan negara saat krisis moneter yang menimpa berbagai negara di tahun 1990-an.

Jarak yang semakin besar antara elite politik dengan pemilih loyal mereka yang berasal dari kaum berpenghasilan bawah membuat PRI sulit menjalankan praktik vote buying mereka.

Massa, menurut filsuf politik Ortega y Gasset (1932), adalah mereka yang hidup tanpa aspirasi untuk meraih tatanan kehidupan sosial yang lebih baik. Politik massa, bagi Y Gasset, tumbuh subur seiring dengan perkembangan teknologi yang justru menjadi antitesis dari gerakan edukasi publik. Publik mengalami kemunduran berpikir lewat teknologi, dan menjadi lahan eksploitatif dari pemerintahan yang cenderung otoritarian.

Y Gasset mencatat tiga macam ekses dari politisasi massa: mediokritas (berkurangnya kecerdasan politik konstituen), hostilitas terhadap minoritas (tindak kekerasan terhadap etnis minoritas menjadi semakin marak), dan otoritarianisme (kecenderungan untuk membentuk pemerintahan despotik menjadi semakin kuat).

Praktik pembelian suara yang diangkat Magaloni menjadi semakin relevan dalam politik massa. Meskipun Y Gasset menuliskan pemikirannya sebelum Perang Dunia Kedua, kekhawatirannya masih tetap relevan hingga hari ini.

Peringatan yang diberikan Y Gasset menjadi semakin relevan karena praktik politisasi massa sekarang menjadi terstruktur.

Pengkaji politik Edward Aspinall dan Ward Berenschot (2019) menengarai bahwa politik semacam ini sekarang beralih dari sisi formal menjadi informal. Alih-alih hegemonik seperti yang kita lihat dalam pemikiran Magaloni, praktik informal ini menjelma menjadi klientelisme dengan tiga ciri utama.

Pertama, klientelisme bersifat sangat partikular. Kebijakan dari anggota legislatif yang terpilih hanya diarahkan pada konstituennya semata, bukan pada warga negara.

Kedua, kontingensi (contingency) kebijakan nasional yang dimanipulasi berdasarkan angka perolehan suara dari daerah pemilih tertentu. Program jaring pengaman sosial pun dibajak menjadi instrumen kampanye politik.

Terakhir, kedekatan personal menjadi dasar dari penempatan dan strategi partai dengan mengabaikan aspek kompetensi dan kapabilitas.

Pakar demokrasi dari Stanford, Diego Abente Brun, menegaskan definisi klientelisme: “a set of asymmetric dyadic relationships that consists of the exchange of private and occasionally access to club goods and/or political influence to ensure that even non-excludable public goods reach their beneficiaries in a relatively expeditious manner in exchange for political support and/or loyalty that include but are not limited to voting” (Kumpulan hubungan diadik yang bersifat asimetris, yang terbentuk atas pertukaran sumber daya privat dan akses acak terhadap materi dan/atau pengaruh politik, untuk memastikan bahwa barang publik yang bersifat tidak dapat dikecualikan bisa sampai pada para sasarannya dengan cepat, disertai imbalan dukungan politik dan/atau loyalitas yang mencakup, tetapi tidak terbatas pada, pemberian suara dalam pemilu) (Brun, 2014:4).

Lebih lanjut, Brun menambahkan bahwa klientelisme politik berlangsung dalam periode yang cukup lama, meskipun hasil dari interaksi klientelistik dapat hanya terjadi pada satu momen tertentu, seperti pemilihan umum.

Jaring Perangkap Demokrasi Irasional

Argumen dari Nietzsche, Caplan, Singer dan Brooking, Magaloni, Aspinall dan Ward Berenschot, serta Brun semuanya bermuara pada satu kesimpulan: anggota lembaga legislatif di sebuah negara yang naik dengan cara irasional seperti hegemoni massa, jual-beli suara, atau klientelisme politik, akan berujung pada kualitas legislator yang buruk dan tidak dapat dipertanggungjawabkan pula.

Dan bila semua ini menjelma menjadi sebuah sistem yang mengeras dan menafikan berbagai kemungkinan untuk menata ulang pengelolaan negara secara akuntabel, maka siapa pun tidak akan bisa keluar dari perangkap irasionalitas ini.

Bahkan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva dari Brasil pernah mengalami kasus (Habeas Corpus 193726) yang menjerat dirinya. Da Silva dituduh menerima suap dari perusahaan konstruksi Organização Augusto de Souza, S.A. untuk keperluan dana kampanye dan kontrak dengan perusahaan minyak negara, Petrobras.

Perkara ini naik hingga Mahkamah Agung Brasil setelah pembelaannya mengajukan habeas corpus guna membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama di Curitiba. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menilai bahwa hakim Sérgio Moro yang memimpin persidangan sebelumnya tidak berwenang secara yuridis, karena pengadilan Curitiba tidak memiliki kompetensi hukum atas kasus tersebut. Selain itu, ditemukan adanya indikasi pelanggaran asas imparsialitas dan hak atas peradilan yang adil.

Oleh karena itu, Mahkamah Agung Brasil menyatakan kasus ini cacat secara prosedural dan formal, sehingga seluruh dakwaan serta vonis yang dijatuhkan sebelumnya harus dibatalkan (Supremo Tribunal Federal, 9 Januari 2021).

Dalam konteks demokrasi kontemporer, kekuasaan bukanlah sekadar jabatan, melainkan kapasitas untuk membentuk kehidupan bersama. Ketika kekuasaan jatuh ke tangan mereka yang tidak pernah dipersiapkan secara struktural, intelektual, maupun moral untuk menanggungnya, maka kekuasaan itu justru berubah menjadi instrumen destruksi.

Demokrasi yang dibangun di atas pondasi irasionalitas, klientelisme, dan vote buying hanyalah ilusi partisipasi.

Fabel serigala dan domba bukan sekadar alegori moral, tetapi peringatan struktural tentang pentingnya kapasitas dalam representasi anggota legislatif. Maka, tugas utama demokrasi bukan hanya membuka ruang partisipasi untuk memilih mereka secara langsung, tetapi memastikan bahwa yang mengisinya adalah sosok yang tahu bagaimana mengendalikan diri di tengah godaan absolutnya kekuasaan.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews