Navigasi Peradilan Digital Indonesia: Analisis Sinkronis PERMA No.7 Tahun 2022 dalam Konteks Transformasi Yudisial Global

Dengan memetakan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman tersebut, visi transformasi peradilan Indonesia untuk dua dekade mendatang dapat dirumuskan dalam sebuah lintasan evolutif.
Indonesia telah meluncurkan sistem E-Court yang bertujuan untuk mengubah lanskap peradilan negara ini. Foto: kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/
Indonesia telah meluncurkan sistem E-Court yang bertujuan untuk mengubah lanskap peradilan negara ini. Foto: kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/

Abstrak

Dunia kini berada di sebuah persimpangan historis, di mana transformasi digital secara fundamental mendefinisi ulang fungsi institusi publik, termasuk lembaga peradilan. Gelombang perubahan ini menuntut peradilan untuk beradaptasi demi menjaga relevansi, efisiensi, dan kepercayaan publik.

Tulisan ini terinspirasi dari diskursus dalam Congressional Office for International Leadership Alumni Conference di Ulaanbaatar, Mongolia, menyajikan analisis sinkronis terhadap langkah-langkah transformasi peradilan di Indonesia.

Dengan menjadikan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 7 Tahun 2022 sebagai objek utama, artikel ini akan menjalin benang merah antara kerangka kerja normatif Indonesia dengan spektrum model, tantangan universal, dan peluang strategis yang teridentifikasi di tingkat global.

Tulisan ini bertujuan memetakan kekuatan, kerentanan, serta visi masa depan peradilan digital Indonesia dalam dua dekade mendatang.

Pendahuluan: Imperatif Transformasi Global

Dorongan untuk mendigitalkan peradilan tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari tekanan kebutuhan yang nyata dan mendesak. Setidaknya terdapat tiga imperatif fundamental yang bersifat universal. Pertama, eskalasi volume dan kompleksitas perkara. Data dari Mongolia, misalnya, menunjukkan lonjakan beban perkara sebesar 86,76% dalam satu dekade, yang mustahil dikelola secara efisien dengan metode manual.

Kompleksitas ini diperparah dengan munculnya sengketa jenis baru yang melibatkan aset kripto dan blockchain, serta bukti digital canggih seperti deepfake yang menantang metode pembuktian konvensional. Hal ini menuntut seperangkat kompetensi yudisial yang baru dan lintas disiplin ilmu.

Kedua, erosi kepercayaan publik. Data menunjukkan tren penurunan kepercayaan terhadap institusi peradilan di berbagai negara, seperti yang tercatat di Mongolia di mana kepercayaan publik turun dari 53,17% pada 2021 menjadi 48,40% pada 2023.

Digitalisasi melalui transparansi radikal seperti publikasi putusan daring dan siaran langsung persidangan, dipandang sebagai penawar yang efektif untuk membangun kembali legitimasi.

Ketiga dan yang paling esensial, adalah pemenuhan hak atas akses terhadap keadilan (access to justice). Prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan menjadi mesin penggerak utama. Sistem digital mampu memangkas hambatan geografis dan finansial yang sebelumnya memaksa pencari keadilan untuk menempuh perjalanan jauh dan mengeluarkan biaya tinggi, sebuah kendala yang kini dapat diatasi dengan pendaftaran daring dan sidang virtual.

Spektrum Model Transformasi Global: Sebuah Analisis Komparatif

Pengalaman dari berbagai negara menunjukkan, tidak ada formula tunggal dalam menavigasi transformasi digital. Setiap yurisdiksi mengadopsi model yang paling sesuai dengan konteks sistem hukum, kapasitas teknologi, dan filosofi pemerintahannya, menciptakan sebuah spektrum pendekatan yang kaya untuk dipelajari.

Model Kazakhstan merepresentasikan pendekatan terpusat dan dikemudikan oleh negara (state-driven). Melalui evolusi strategis selama lebih dari satu dekade, Kazakhstan membangun sebuah ekosistem digital terintegrasi yang puncaknya adalah Situation Center, sebuah pusat komando yang memonitor 850 indikator kinerja pengadilan secara real time.

Kemampuan pengawasan mendetail ini memungkinkan manajemen yudisial yang proaktif dan berbasis data. Dengan tingkat adopsi kasus elektronik mencapai 95% (perdata) dan 87% (pidana) pada 2024, model ini menunjukkan fokus pada kontrol dan efisiensi sistemik, yang diimbangi dengan layanan publik yang luas seperti Judicial Portal dan E-Mediation.

Di ujung spektrum yang berbeda, Amerika Serikat, melalui Federal Judicial Center (FJC), menampilkan model yang berfokus pada kompetensi sumber daya manusia (human centric). Berlandaskan keyakinan, teknologi hanya seefektif penggunanya, FJC merancang kerangka kerja pengembangan kompetensi yudisial dalam tiga pilar: Pengetahuan (pemahaman mendalam tentang AI, bukti elektronik, forensik digital), Keterampilan (kemahiran praktis dalam keamanan siber dan manajemen sidang hibrida), dan Nilai-Nilai (internalisasi etika, privasi, dan kesetaraan digital).

Konsep Digital Equity menjadi sangat penting, memastikan bahwa kelompok rentan atau yang memiliki literasi digital rendah tidak terpinggirkan oleh kemajuan teknologi. Pendekatan pedagogis "Untuk Hakim, Oleh Hakim" (For Judges, By Judges) memastikan relevansi dan penerimaan dari program ini.

Sementara itu, Mongolia menawarkan model yang dipimpin oleh institusi pelatihan (institution led). Transformasi mereka didorong secara organik dari dalam sebagai respons terhadap masalah nyata seperti rendahnya tingkat kelulusan calon hakim (hanya 45 dari 366 yang lulus) dan tingginya tingkat stres hakim (82% mengalami burnout).

Akademi Yudisial Mongolia menjadi motor penggerak dengan merombak total kurikulumnya melalui komite multistakeholder, mengembangkan platform e-learning, dan secara proaktif mengadaptasi praktik terbaik internasional dari Singapura, Korea Selatan, dan Kanada. Inisiatif unik seperti program "Kesejahteraan Psikologis Hakim" (judicial wellbeing) menunjukkan fokus holistik pada kesehatan aparat peradilan sebagai fondasi kinerja.

Model-model lain seperti Uzbekistan yang menekankan akselerasi via kemitraan internasional dengan lembaga seperti UNDP dan Bank Dunia, serta Serbia yang berfokus pada penguatan konsistensi yurisprudensi melalui basis data digital untuk mengatasi paradoks dalam sistem hukum sipil, semakin melengkapi kekayaan lanskap global ini.

Konteks Indonesia: Fondasi Yuridis Melalui PERMA Nomor 7 Tahun 2022

Di tengah dinamika global, Indonesia telah mengambil langkah proaktif dengan meletakkan fondasi yuridis yang kokoh melalui PERMA Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.

Peraturan ini bukan sekadar respons teknis, melainkan sebuah instrumen rekayasa ulang proses peradilan yang fundamental, yang kekuatannya terletak pada kemampuannya untuk mengkodifikasi, melegitimasi, dan menstandardisasi praktik-praktik digital.

Pertama, PERMA ini menciptakan kerangka kerja yang komprehensif dengan mendefinisikan "Administrasi Perkara secara Elektronik" secara menyeluruh dalam Pasal 1 angka 6, mencakup seluruh siklus hidup perkara dari pendaftaran hingga upaya hukum. Ini mentransformasikan alur kerja parsial berbasis kertas menjadi sebuah ekosistem digital yang tunggal dan terintegrasi.

Kedua, PERMA ini memperkenalkan inovasi prosedural yang signifikan, terutama melalui konsep "Domisili Elektronik" (Pasal 1 angka 3), yang secara efektif memutus mata rantai inefisiensi dalam proses pemanggilan konvensional.

Kekuatan paling fundamental dari PERMA ini adalah legitimasi yuridis yang diberikannya. Pasal 26, misalnya, melakukan sebuah rekonstruksi hukum yang canggih dengan menyatakan bahwa pengunggahan salinan putusan ke Sistem Informasi Pengadilan (SIP) secara hukum telah memenuhi asas sidang terbuka untuk umum. Ini memberikan ketahanan operasional tanpa mengorbankan prinsip fundamental peradilan.

Terakhir, dengan merinci setiap tahapan-termasuk penambahan BAB IIIA yang khusus mengatur Upaya Hukum secara Elektronik-PERMA ini menciptakan kepastian hukum (rechtszekerheid). Standardisasi dari pengajuan banding, pembayaran, hingga pemeriksaan berkas (inzage) secara elektronik (Pasal 28C) memastikan prosedur yang seragam dan dapat diprediksi bagi seluruh pencari keadilan di Indonesia.

Analisis Kritis: Peluang Strategis dan Kerentanan Sistemik

Di balik kekuatan fondasi yuridis tersebut, terdapat dialektika antara peluang dan kerentanan yang harus diidentifikasi secara kritis untuk navigasi ke depan.

- Peluang Strategis: Indonesia memiliki dua peluang utama. Pertama, peluang akselerasi melalui adaptasi evolutif. Dengan belajar dari lintasan strategis negara seperti Kazakhstan, Indonesia dapat melakukan lompatan kemajuan (leapfrogging) dalam menyempurnakan SIP menjadi sebuah "Judicial Portal" terintegrasi tanpa harus melalui trial and error yang panjang.

Kedua, peluang penguatan konsistensi hukum. Implementasi PERMA secara masif akan menghasilkan mahadata yudisial (judicial big data) yang tak ternilai. Repositori data ini dapat ditransformasikan dari sekadar arsip pasif menjadi alat analisis aktif berbasis AI untuk melakukan riset yurisprudensi dan mengidentifikasi pola-pola inkonsistensi putusan, sebagaimana menjadi fokus di Serbia.

- Kerentanan Sistemik: Terdapat tiga titik lemah yang perlu dimitigasi. Pertama, adanya lacuna juris pada aturan pembuktian materiil. Dalam pengamatan penulis, PERMA Nomor 7 Tahun 2022, meskipun kuat dalam mengatur prosedur, relatif masih diam mengenai pedoman bagi hakim untuk menilai keaslian dan kekuatan pembuktian dari bukti digital yang kompleks seperti deepfake.

Kekosongan ini, berisiko menciptakan inkonsistensi putusan dan dapat menjadi dasar bagi pembatalan putusan di tingkat yang lebih tinggi karena ketidakpastian prosedural.

Kedua, absennya mandat standar keamanan siber yang eksplisit. Berbeda dengan rekomendasi preskriptif dari FJC (seperti Zero Trust Architecture), PERMA ini tidak memandatkan standar keamanan teknis tertentu. Hal ini berisiko menciptakan postur keamanan yang tidak seragam, di mana satu data breach di satu pengadilan dapat merusak kepercayaan publik terhadap keseluruhan sistem.

Ketiga, dan yang paling fundamental, adalah kerentanan pada kapasitas sumber daya manusia. Sebagaimana disoroti oleh Mongolia, digitalisasi tidak akan berhasil tanpa aparat peradilan yang kompeten. Tantangan manajemen perubahan, termasuk mengatasi kesenjangan generasi dan resistensi terhadap teknologi baru, adalah nyata. Tanpa investasi masif dan berkelanjutan dalam pelatihan yang relevan-mengadopsi model "Untuk Hakim, Oleh Hakim" dari FJC-maka PERMA yang canggih ini berisiko menjadi "instrumen hampa" (hollow instrument): sebuah peraturan yang maju di atas kertas, namun gagal terimplementasi secara optimal dalam praktik.

Visi ke Depan dan Kesimpulan

Dengan memetakan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman tersebut, visi transformasi peradilan Indonesia untuk dua dekade mendatang dapat dirumuskan dalam sebuah lintasan evolutif.

Jangka pendek (1-5 tahun) harus berfokus pada adopsi penuh PERMA No. 7 Tahun 2022 sambil secara masif berinvestasi dalam pembangunan kompetensi digital aparat peradilan, serta menutup celah regulasi terkait pembuktian.

Jangka menengah (5-10 tahun) harus diarahkan pada evolusi SIP menjadi sebuah ekosistem terintegrasi atau "Judicial Portal" yang komprehensif, mengintegrasikan berbagai layanan dalam satu pintu.

Jangka panjang (10-20 tahun) adalah mewujudkan "Peradilan Cerdas" (Smart Judiciary).

Dalam visi ini, AI dimanfaatkan secara etis sebagai alat bantu analisis canggih untuk mendukung pengambilan keputusan oleh hakim-misalnya, dalam mendeteksi anomali atau memprediksi risiko-bukan untuk menggantikan peran sentral mereka sebagai pengambil keputusan akhir. Sepanjang perjalanan ini, penjagaan terhadap etika, privasi, dan kesetaraan akses digital harus menjadi prasyarat yang tidak dapat ditawar.

Sebagai kesimpulan, PERMA Nomor 7 Tahun 2022 merupakan pilar yuridis yang kokoh dan menjadi modalitas fundamental bagi Indonesia dalam menapaki era peradilan digital.

Keberhasilan dari cetak biru ini, bagaimanapun, sangat bergantung pada kemampuan untuk secara simultan mengatasi kelemahan-kelemahan inheren, terutama dalam hal pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan penguatan regulasi teknis di bidang keamanan siber dan hukum acara pembuktian.

Pada akhirnya, setiap langkah transformasi digital harus senantiasa kembali pada tujuan utamanya: mewujudkan peradilan yang lebih transparan, akuntabel, dan dapat diakses. Sebagaimana diungkapkan dengan indah dalam paparan dari Serbia, "Kepastian hukum bukan hanya sebuah prinsip-ia adalah sebuah janji kepada warga negara". Digitalisasi, pada hakikatnya, adalah alat baru yang ampuh untuk menunaikan janji abadi tersebut.

Penulis: Bony Daniel dan Diah Astuti Miftafiatun (Hakim-Hakim Pengadilan Negeri Serang)

Penulis: Bony Daniel
Editor: Tim MariNews