Menurut Perma No. 1 Tahun 2016, mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan bantuan mediator untuk mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksa sebuah penyelesaian.
Peraturan ini mewajibkan mediasi pada sidang pertama perkara di pengadilan, dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian sengketa secara lebih cepat, murah, dan memuaskan para pihak.
Semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan, termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek dan perlawanan pihak berperkara (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Perma tersebut.
Pada Pasal 6 Perma No. 1 Tahun 2016, diterangkan bahwa para pihak wajib menghadiri secara langsung pertemuan mediasi dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.
Ketidakhadiran para pihak dapat dilakukan berdasarkan alasan sah, meliputi kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan berdasarkan surat keterangan dokter, di bawah pengampuan, mempunyai tempat tinggal atau kedudukan di luar negeri, atau menjalankan tugas negara, tuntutan profesi, atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Apabila salah satu pihak atau para pihak tidak hadir setelah dipanggil secara patut dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, lalu menghadiri pertemuan pertama tetapi tidak pernah hadir pada pertemuan selanjutnya meski telah dipanggil secara patut dua kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, serta ketidakhadiran berulang-ulang yang mengganggu jadwal pertemuan mediasi tanpa alasan sah hingga akhirnya berakibat pada mediasi yang tidak dapat dilaksanakan, maka salah satu pihak atau para pihak itu dapat dinyatakan sebagai pihak yang tidak beriktikad baik oleh mediator.
Apabila pihak tersebut merupakan pihak penggugat, maka berdasarkan laporan mediator majelis hakim dapat mengeluarkan putusan akhir yang menyatakan gugatan tidak dapat diterima disertai penghukuman pembayaran biaya mediasi dan biaya perkara.
Sedangkan jika pihak tersebut adalah tergugat, maka berdasarkan laporan mediator majelis hakim dapat mengeluarkan penetapan yang menyatakan tergugat tidak beriktikad baik dan menghukum tergugat untuk membayar biaya mediasi.
Kehadiran kuasa hukum dalam proses mediasi dapat berupa pendampingan pihak prinsipal atau mewakili kehadirannya apabila pihak yang didampinginya tidak dapat hadir dengan alasan sah.
Kuasa hukum mewakili pihak tersebut untuk melakukan mediasi dengan menyertakan surat kuasa khusus yang berisi kewenangan kuasa hukum untuk menghadiri proses mediasi. Selanjutnya, dalam mengikuti proses mediasi, kuasa hukum juga perlu beriktikad baik dan mematuhi tata tertib mediasi yang telah ditetapkan.
Karena keharusan kehadiran para pihak dalam mengikuti mediasi, diizinkan pula para pihak untuk mengikuti mediasi dan hadir melalui komunikasi audio-visual jarak jauh. Namun, tetap diperlukan persetujuan para pihak, antara lain untuk menentukan aplikasi yang akan dipakai dalam pertemuan dan pengiriman dokumen elektronik.
Dengan demikian, seluruh proses administrasi serta teknis hingga penyampaian kesepakatan perdamaian dilaksanakan secara elektronik, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Perma No. 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan secara Elektronik.
Bagaimana kuasa hukum mewakili pihaknya saat mediasi di pengadilan?
Dalam praktiknya, kuasa hukum baik dari satu pihak maupun para pihak terkadang ikut serta dalam proses mediasi tanpa memperlihatkan surat kuasa yang dikhususkan untuk mediasi, sehingga yang ditunjukkan dalam proses mediasi tersebut merupakan surat kuasa yang dipakai dalam pendaftaran perkara.
Hal tersebut kadang menjadi perdebatan di ruang mediasi antara mediator dengan kuasa hukum sebelum dilaksanakan proses mediasi. Padahal, bila mengacu pada ketentuan Perma di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kuasa khusus untuk perkara dan kuasa khusus untuk mediasi memiliki fungsi yang berbeda dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan.
Tak jarang, bahkan kuasa hukum telah menyiapkan kuasa khusus mediasi, namun tidak dapat memperlihatkan kepada mediator bahwa pihak yang didampinginya benar-benar tidak dapat hadir dengan alasan yang sah dalam proses mediasi. Hal ini juga menjadi bahan perdebatan antara mediator dan kuasa hukum pada saat proses mediasi.
Sebab, bila merujuk pada ketentuan Perma di atas, kuasa hukum baru boleh membuat kuasa khusus untuk mediasi apabila pihak yang didampinginya memang tidak dapat hadir dengan alasan yang sah. Oleh karena itu, mediator dalam proses mediasi meminta kepada kuasa hukum tidak hanya kuasa khusus untuk mediasi, melainkan juga dokumen atau bukti semacamnya yang menunjukkan bahwa pihak yang didampinginya memang tidak hadir karena alasan yang sah.
Surat kuasa khusus mediasi yang dibuat tetapi tidak mencantumkan klausul “kewenangan kuasa hukum untuk mengambil keputusan” juga menjadi persoalan. Klausul tersebut merupakan kalimat yang sangat penting dalam proses mediasi. Mengingat pentingnya peran prinsipal dalam proses mediasi, karena merekalah yang mengetahui akar perselisihan atau sengketa, maka merekalah yang seharusnya bertatap muka untuk bernegosiasi menyelesaikan masalah dengan lawannya.
Bisa jadi penyelesaian yang diinginkan oleh pihak prinsipal berbeda dengan maksud kuasa hukum, mengingat dinamika yang terjadi saat mediasi dengan pihak lawan. Opsi-opsi negosiasi bersifat sensitif karena terkait dengan seberapa besar kemampuan masing-masing pihak memikul hak dan kewajiban yang akan dijalankan di kemudian hari.
Bila terjadi miskomunikasi antara kuasa hukum dengan prinsipal terkait opsi negosiasi itu, lalu hendak memperbaiki opsi-opsi tersebut pada agenda mediasi selanjutnya, justru dapat memperkecil peluang terjadinya kesepakatan dan bahkan menimbulkan permasalahan baru.
Kesimpulan
Penulis berharap dalam melaksanakan mediasi di pengadilan agar memedomani Perma berkaitan dengan tata cara proses mediasi yang berlaku. Selanjutnya, dalam proses mediasi, diupayakan terlebih dahulu agar para pihak bertatap muka untuk menyelesaikan permasalahannya, meskipun dilakukan secara audio-visual.
Karena merekalah pihak yang mengalami permasalahan itu, dan mereka pula yang mengetahui kemampuannya apabila hendak melakukan perdamaian dengan lawannya. Sedangkan apabila kuasa hukum hendak mewakili pihaknya dalam proses mediasi, diharapkan dapat dengan cermat menyiapkan dokumen yang diperlukan dengan memperhatikan keadaan dan kondisi dari pihak yang didampinginya.