Ketika Opini Menggiring Persepsi: Pengadilan di Era Cancel Culture

Mahkamah Agung memiliki peran strategis dalam menjaga independensi itu tetap kokoh, tanpa terpengaruh opini viral.
Ilustrasi hakim dalam tekanan opini. Foto: gemini.google.com/
Ilustrasi hakim dalam tekanan opini. Foto: gemini.google.com/

Di era digital yang serba cepat ini, muncul satu istilah yang kini semakin sering terdengar: cancel culture. Menurut Lisa Nakamura, seorang profesor studi media di Universitas Michigan, cancel culture adalah praktik sosial untuk menarik dukungan dari tokoh atau lembaga yang dianggap bermasalah, sebagai bentuk protes atau hukuman. Fenomena ini muncul dari dorongan moral publik, namun sering kali mengarah pada tekanan massa yang dapat melampaui batas-batas objektivitas, bahkan ke wilayah hukum.

Dalam konteks pengadilan, cancel culture kerap menimbulkan persepsi keliru. Potongan video atau kutipan sepihak di media sosial bisa menggiring opini publik sebelum proses hukum berjalan utuh. Hakim-yang semestinya memutus berdasarkan alat bukti dan fakta persidangan-sering kali dihujani kritik warganet yang telah "mengadili" lebih dulu.

Hal ini tentu menjadi tantangan besar bagi Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib memeriksa dan mengadili secara independen. Mahkamah Agung memiliki peran strategis dalam menjaga independensi itu tetap kokoh, tanpa terpengaruh opini viral.

Keputusan seorang hakim tidak bisa ditakar hanya dari persepsi publik, apalagi dari dunia maya. Keadilan tidak ditentukan oleh jumlah like, trending hashtag, atau tekanan opini, melainkan oleh bukti, hukum, dan hati nurani. Maka dari itu, MA perlu menguatkan posisi para hakim, tidak hanya lewat perlindungan formal, tetapi juga edukasi publik yang menekankan pentingnya menghormati proses hukum.

Dalam jangka panjang, sinergi antara peradilan, media, dan masyarakat menjadi kunci. Dunia digital memang membuka ruang kritik dan diskusi hukum, tetapi jangan sampai menjadi pengadilan baru yang melemahkan fungsi lembaga resmi.

Hakim bukanlah tokoh populer yang dinilai berdasarkan popularitas. Mereka adalah penjaga keadilan yang bekerja dalam sunyi, berpijak pada hukum dan integritas. Sudah seharusnya kita mendukung ruang pengadilan tetap menjadi tempat paling sah untuk menilai benar dan salah.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews