Selain integritas, ada persoalan lain yang dihadapi profesi hakim saat ini yaitu penyakit kemakmuran (diseases of affluence). Beberapa hakim di tingkat pusat maupun daerah mengidap penyakit kemakmuran seperti obesitas, stroke, jantung, dan diabetes. Penyakit kemakmuran ini disebabkan gaya hidup tidak sehat, pola makan “kotor” dan malas berolahraga. Jika ancaman ini diabaikan maka mortalitas massal akan terjadi di masa depan, bendera kuning terpasang di tiang jalan.
Mengapa penyakit kemakmuran mengancam hakim? Menurut Hakim Banding AS Amul Thafar, setidaknya ada dua alasan; pertama, hukum adalah profesi yang menegangkan dan dapat menimbulkan tantangan kesehatan mental, penyalahgunaan zat dan kesulitan tidur yang cukup. Kedua, profesi penegak hukum sangat banyak diam dan duduk seharian (original jurisdiction, 2025).
Penyakit kemakmuran ini berpengaruh terhadap kinerja hakim untuk jangka panjang yang dapat mengganggu sistem peradilan secara keseluruhan. Jika hakimnya sering bolak-balik ke rumah sakit, bagaimana mungkin keadilan dapat didistribusikan dengan baik di tengah masyarakat.
Tren sakit (morbiditas) yang dialami para hakim tidak terlepas dari gaya hidup sehat. Seorang hakim yang menderita sakit kemudian wafat akan berimbas langsung terhadap keberlanjutan penegakan hukum. Artinya, wafatnya seorang hakim berarti wafatnya penegakan hukum. Tidak hanya keluarga yang dirugikan, lembaga pun turut rugi karena untuk mencari pengganti hakim yang wafat tidak semudah membalik telapak tangan, butuh waktu, dana dan tenaga.
Memperkuat Kekuasaan Kehakiman
Sebagai profesi yang sepi (silent corps), sahabat sejati para hakim adalah buku dan sepatu; olahpikir dan olahraga. Sehari-hari, hakim bergumul dengan bacaan untuk menambah nutrisi pikirannya dan memakai sepatu untuk menjaga kesehatan badannya. Jika salah satunya menderita sakit, maka tugas mulianya akan terganggu.
Perhatian terhadap faktor kesehatan merupakan salah satu upaya memperkuat kekuasaan kehakiman. Kesehatan menjadi barometer prestasi hakim. Sebanyak apapun gaji dan wawasan yang dimiliki jika sakit-sakitan tidak akan dirasakan manfaatnya oleh keluarga dan masyarakat. Justru dirinya sibuk mondar mandir ke rumah sakit bukan duduk di meja hijau memegang palu perkara. Jika hakimnya sudah sakit-sakitan kemana lagi masyarakat menemukan keadilan.
Kekuasaan kehakiman yang lumpuh akibat kondisi morbiditas hakim menjadi ancaman nyata bagi eksistensi negara. Karena itu, harapannya hakim wajib berolahraga dan negara wajib menyediakan anggarannya.
Dalam menghadapi ancaman morbiditas, para hakim dapat melakukan beberapa langkah sebagai berikut:
Pertama, manajemen stres. Hakim mengelola stres pekerjaan dengan cara olahraga, healing atau istirahat yang cukup. Beban kerja yang tidak wajar akan menambah tingkat stres seorang hakim sehingga merusak kesehatan mental yang ujung-ujungnya menimbulkan penyakit.
Kedua, relasi internal yang kondusif. Salah satu penyebab gangguan mental saat kerja adalah lingkungan kerja yang tidak nyaman dan aman. Para hakim sebisa mungkin menghindari konflik verbal antar sesama rekan kerja dan membangun relasi yang baik dalam batas kewajaran.
Ketiga, selalu bergerak. Tagar onedayoneactivity dimaknai sebagai perbuatan nyata dalam bentuk aktivitas positif yang berimplikasi langsung terhadap kebugaran diri dan memberi manfaat kepada orang lain.
Lantas, apa yang dilakukan Mahkamah Agung?
Sebagai pembina para hakim, pimpinan Mahkamah Agung bersama stakeholder lainnya memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan kesehatan hakim tetap terjaga, staminanya tetap bugar dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Karena itu, untuk mewujudkan visi badan peradilan yang agung apabila hakimnya gemar berolahraga bukan gemar tidur di atas ranjang bangsal.
Pertama, untuk kepentingan organisasi jangka panjang, Mahkamah Agung dapat menghimbau para hakim agar senantiasa rajin berolahraga secara wajar, tidak mencolok dan rutin. Himbauan tersebut juga dapat berbentuk instrumen kebijakan sehingga mengikat bagi personal hakim. Harapannya semakin panjang napas hakim maka semakin kuat endurance keadilan di ruang publik.
Kedua, Mahkamah Agung menginstruksikan jajarannya agar berkolaborasi dengan instansi kesehatan dan olahraga guna menyusun pedoman peningkatan kualitas hidup sehat. Relasi kekuasaan-kesehatan berbanding lurus dengan kualitas keadilan. Sinergi antar kekuasaan negara dalam rangka meningkatkan kesehatan profesi hakim dapat menjaga stabilitas keadilan di ruang publik tak terkecuali bagi anggota masyarakat.
Ketiga, kesehatan hakim menjadi salah satu indikator penilaian dalam pola promosi dan mutasi. Track record kesehatan hakim sejak penempatan pertama hingga terakhir menjadi database Mahkamah Agung dalam menyusun promosi mutasi sesuai kebutuhan organisasi. Hakim yang sudah sakit-sakitan dan secara medis dinyatakan sakit keras maka yang bersangkutan sebaiknya ditugaskan di dekat domisilinya sehingga lebih fokus dalam berobat dan menghindari kendala pada institusi dalam pelaksanaan penegakkan hukum.
Keempat, dianggarkannya program kebugaran untuk hakim yang bertujuan untuk menjaga kesehatan hakim. Upaya menganggarkan olahraga hakim adalah strategi pencegahan atas segala bentuk mudarat keadilan. Jenis olahraga yang wajar, tidak hedonis dan murah meriah dapat menciptakan sistem peradilan yang kuat di masa depan.
Dengan anggaran olahraga yang memadai maka interaksi hakim semakin terkontrol, dan maslahat keadilan semakin terjaga. Karena itu, penganggaran khusus untuk kebugaran hakim jauh lebih ekonomis ketimbang mengobati penyakitnya seperti pepatah lebih baik mencegah dari pada mengobati.