Doa Seorang Ibu di Balik Pelantikan Hakim Muda

Ketika sumpah jabatan diucapkan, suara lantang sang anak menggema di ruangan. Namun di kursi itu, sang ibu mulai menundukkan kepala. Tangan gemetar memegang tasbih, air mata jatuh satu-satu ke pangkuan.
Perjuangan seorang ibu, tak pernah tercatat dalam catatan negara. Namun pada momen pelantikan hakim ini, perjuangan itu hadir begitu nyata menyusup di sela-sela isak haru. Foto dokumentasi PN Merauke
Perjuangan seorang ibu, tak pernah tercatat dalam catatan negara. Namun pada momen pelantikan hakim ini, perjuangan itu hadir begitu nyata menyusup di sela-sela isak haru. Foto dokumentasi PN Merauke

Merauke, ujung timur Nusantara. Di ruang sidang utama Pengadilan Negeri Merauke yang tampak khidmat, digelar prosesi pelantikan enam hakim muda. Hadir dalam acara itu, ada satu sosok yang begitu mencuri perhatian, seorang ibu datang dari Jogja, berselendang biru muda, duduk di kursi undangan. Wajahnya penuh haru, matanya berkaca-kaca menatap anak lelakinya yang kini berseragam toga hakim, berdiri tegak mengucap sumpah jabatan.

Perjuangan seorang ibu, tak pernah tercatat dalam catatan negara. Namun pada momen pelantikan ini, perjuangan itu hadir begitu nyata menyusup di sela-sela isak haru, menggema dalam doa yang lirih namun penuh kekuatan.

Ibu itu, sejak anaknya masih dalam kandungan, sudah mengiringinya dengan pengorbanan yang tak terhitung. Melahirkan, merawat, membesarkan, menyekolahkan dengan penuh kasih dan doa yang tak pernah putus, bahkan hingga anak itu kini menjadi hakim muda.

Sebagai seorang wanita, sang ibu bahkan rutin melakukan puasa setiap hari kelahiran putranya, sepanjang tahun. Semua demi satu harapan,  agar sang anak kelak tumbuh menjadi manusia yang baik, yang berakhlak mulia, yang bermanfaat bagi sesama, yang sukses dalam jalan yang diridai Allah.

Hari itu, harapan itu terwujud di depan matanya. Namun, justru di puncak rasa bahagia itu, terselip kecemasan. Sebab, menjadi hakim bukan sekadar jabatan melainkan amanah yang amat berat, di mana setiap keputusan bukan hanya berimplikasi hukum, tetapi juga berimbas pada nasib banyak orang.

Ketika sumpah jabatan diucapkan, suara lantang sang anak menggema di ruangan. Namun di kursi itu, sang ibu mulai menundukkan kepala. Tangan gemetar memegang tasbih, air mata jatuh satu-satu ke pangkuan. Dalam hati, sang ibu berbisik:

"Ya Allah, bimbinglah dan berikan petunjuk kepada anakku di setiap langkahnya. Lindungilah  dalam setiap putusan yang dibuatnya, agar semua keputusannya lahir dari bimbingan-Mu, bukan dari hawa nafsunya. Jadikanlah dia hakim yang jujur, yang independen, yang adil. Jauhkanlah dari segala godaan syetan yang terkutuk. Ya Allah, Engkau Yang Maha Hakim, tuntunlah anakku menjadi hakim yang Engkau ridai. Jauhkanlah sifat tercela”

Sebuah doa sederhana, namun menggugah nurani. Sebuah ungkapan cinta dan pengharapan seorang ibu, yang sejatinya menjadi pengingat bagi siapa pun yang mengemban amanah sebagai hakim, baik hakim muda yang baru dilantik, maupun hakim-hakim senior yang telah lama menjalankan tugas mulia ini.

Betapapun beratnya tantangan dunia peradilan saat ini, integritas sejati akan selalu bersumber dari dalam, dari hati yang bersih, dari niat yang tulus, dari kesadaran bahwa di balik jabatan itu ada amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan Yang Maha Hakim.

Pelantikan hari itu, bukan semata seremoni. Ada air mata ibu yang mengandung makna. Ada doa tulus yang terbang menembus langit. Semoga semua hakim muda yang baru dilantik, dan seluruh insan peradilan di negeri ini, senantiasa terjaga dalam kejujuran dan keadilan.

Dari ruang sidang Pengadilan Negeri Merauke, tanah damai di ujung timur Indonesia semoga gema doa seorang ibu ini mengetuk hati kita semua.
 

Penulis: Unggul Senoadji
Editor: Tim MariNews