Pembaruan hukum acara pidana di Indonesia memasuki era baru dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang pada 18 November 2025 telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sehingga membawa perubahan signifikan pada berbagai definisi dasar penegakan hukum.
Salah satu perubahan paling pokok terletak pada ketentuan umum mengenai definisi saksi.
Dalam ketentuan KUHAP Lama, saksi kerap dimaknai secara sempit sebagai orang yang hadir secara fisik pada saat kejadian yaitu “yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”, namun KUHAP Baru meluaskan definisi saksi untuk menyesuaikan diri dengan kompleksitas permasalahan tindak pidana pada era modern.
Secara spesifik, Pasal 1 angka 47 KUHAP Baru memberikan definisi yang lebih luas pada saksi.
Pasal tersebut, berbunyi saksi adalah seseorang yang memberikan keterangan mengenai peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, atau orang yang memiliki dan/atau menguasai data dan/atau informasi yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
Menurut Penulis, definisi saksi pada KUHAP Baru telah menggabungkan konsep saksi fakta dengan konsep baru yang mengakomodasi seseorang yang memiliki dan/atau menguasai informasi dan/atau data, atau yang bisa kita sebut sebagai pemilik dari informasi dan/atau data.
Frasa pokok yang patut digarisbawahi adalah orang yang memiliki dan/atau menguasai data dan/atau informasi yang berkaitan dengan perkara.
Penambahan frasa ini, bukan sekedar pelengkap, namun penulis mengartikan perluasan tersebut sebagai sebuah pembaruan hukum karena dalam KUHAP Lama, definisi saksi dimaknai sejauh pada unsur “mendengar, melihat, dan mengalami sendiri”, sehingga sering kali menyulitkan pembuktian dalam kasus-kasus di mana pelaku tidak bertemu secara fisik dengan korban atau kasus yang berbasis transaksi maya.
Penulis juga menafsirkan frasa tersebut, secara langsung menegaskan seseorang dapat saja dikualifikasikan sebagai saksi yang sah meskipun ia tidak berada di tempat kejadian perkara (TKP) saat tindak pidana terjadi.
Seseorang kini dapat saja dipanggil sebagai saksi karena kapasitasnya sebagai pemegang kendali atas data atau informasi yang relevan dengan kejahatan yang diselidiki oleh penyidik.
Sebagai penggambaran, misalnya seorang administrator sistem IT di sebuah bank yang menyimpan catatan transaksi mencurigakan kini memiliki legal standing yang kuat untuk dihadirkan sebagai saksi, bukan sekedar pemberi petunjuk saja, karena kedudukan hukum mereka dianggap sebagai seseorang yang memiliki dan/atau menguasai informasi dan/atau data” yang berkaitan dengan perkara tersebut.
Urgensi dari perluasan definisi saksi ini menurut penulis sangat erat kaitannya dengan perubahan modus operandi kejahatan di era digital.
Tindak pidana saat ini, seperti korupsi, pencucian uang, sampai dengan kejahatan siber, jarang meninggalkan jejak fisik yang kasat mata atau disaksikan oleh orang banyak secara langsung.
Bukti utama dari kejahatan-kejahatan tersebut sering kali tersembunyi dalam server, cloud, atau dokumen elektronik yang hanya dapat diakses oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki otoritas atau akses data.
Tanpa perluasan definisi saksi ini, kemungkinan aparat penegak hukum sering kali akan terbentur pada formalitas hukum saat hendak memeriksa pihak yang mengetahui aliran data namun tidak melihat perbuatan pidananya secara langsung.
Dengan Pasal 1 angka 47 KUHAP Baru, penyidik memiliki landasan hukum yang cukup untuk mendapatkan keterangan dari pihak-pihak yang berada di balik layar sistem informasi tersebut.
Hal ini dapat menutup celah hukum yang selama ini dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan kerah putih (white-collar-crime) yang berlindung di balik ketiadaan saksi mata.
Selain itu, ketentuan ini juga memberikan kepastian hukum pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang sebelumnya telah memperluas cakupan ketentuan saksi.
KUHAP Baru juga mengodifikasikan putusan tersebut ke dalam batang tubuh undang-undang secara eksplisit. Kodifikasi ini penting mengingat agar tidak ada lagi perdebatan di ruang sidang mengenai validitas keterangan saksi yang hanya berdasarkan pengetahuan atas dokumen dan/atau data, tanpa melihat peristiwa pidananya secara langsung.
Perluasan definisi ini, juga berdampak pada efisiensi proses pembuktian. Keterangan dari pemilik data ini dikategorikan sebagai keterangan saksi, yang merupakan alat bukti sah.
Hal ini cukup berbeda dengan keterangan ahli yang berbasis pada keahlian khusus. Pemilik data memberikan keterangan mengenai fakta data yang dikuasainya (fakta empiris), bukan memberikan opini atau analisis atas data tersebut.
Pembedaan ini menjadi jelas dengan adanya frasa baru dalam Pasal 1 angka 47 KUHAP Baru tersebut.
Implikasi lain yang tidak kalah penting adalah terkait perlindungan hukum. Dengan dikategorikan secara resmi sebagai saksi, maka orang yang memiliki data atau informasi tersebut berhak mendapatkan perlindungan penuh sebagaimana diatur dalam Pasal 53 dan Pasal 143.
Hak-hak tersebut. meliputi perlindungan keamanan pribadi, kerahasiaan identitas, hingga bebas dari pertanyaan yang menjerat. Hal ini memberikan rasa aman bagi whistleblower atau pihak administrasi yang memegang data sensitif untuk membuka informasi demi kepentingan peradilan.
Namun, di balik kemudahan tersebut, menurut penulis berkaitan implementasi pasal ini menghadirkan tantangan serius, terutama terkait autentikasi dan validitas data.
Ketika seseorang dipanggil sebagai saksi karena menguasai data, pengadilan harus memastikan bahwa data yang dikuasainya adalah murni dan belum dimanipulasi.
KUHAP Baru mengantisipasi hal ini dengan menegaskan bahwa alat bukti, termasuk bukti elektronik, harus dapat dibuktikan autentikasinya dan diperoleh secara tidak melawan hukum.
Hakim memiliki wewenang penuh untuk menilai autentikasi tersebut, dan jika dinyatakan tidak autentik, maka alat bukti itu tidak memiliki kekuatan pembuktian.
Tantangan kedua, menurut penulis berkaitan dengan batas kompetensi. Saksi yang dipanggil karena menguasai data harus memberikan keterangan sebatas data yang ia miliki atau kuasai, bukan memberikan pendapat teoretis layaknya seorang Ahli yang memiliki sertifikasi atau keahlian khusus.
Percampuran peran ini jika tidak dijaga dapat mengaburkan nilai pembuktian di persidangan.
Lebih jauh lagi, ketentuan ini mendukung sistem peradilan pidana yang berbasis teknologi informasi yang juga diamanatkan dalam Pasal 360 KUHAP Baru.
Ketika sistem peradilan bergerak ke arah digital, maka definisi subjek hukum yang terlibat di dalamnya, termasuk saksi, juga harus adaptif terhadap realitas data elektronik.
Pemilik data adalah kunci untuk membuka celah masalah dalam suatu kejahatan yang terkadang terbungkus secara rapi dalam sistem teknologi.
Menurut penulis penerapan pasal ini juga dapat mencegah impunitas bagi korporasi atau organisasi terorganisir. Dalam kejahatan korporasi, sering kali struktur organisasi dibuat sedemikian rupa sehingga eksekutor lapangan terputus dari pengambil kebijakan.
Namun, aliran data dan informasi pasti terekam. Dengan menjadikan "kepemilikan dan/atau penguasaan informasi dan/atau data" sebagai saksi, penegak hukum memiliki dasar hukum yang cukup untuk menelusuri pertanggungjawaban pidana terhadap seseorang melalui jejak data yang dikuasai oleh saksi tersebut.
​Sebagai penutup, menurut penulis Pasal 1 angka 47 KUHAP Baru merupakan langkah progresif yang sangat dibutuhkan. Penafsiran bahwa saksi adalah juga "orang yang memiliki dan/atau menguasai data" merupakan sebuah fondasi bagi penegakan hukum modern yang efektif.
Hal ini memastikan bahwa hukum acara pidana Indonesia tidak gagap menghadapi kejahatan canggih, menjamin bahwa siapa pun yang memegang kunci informasi kejahatan, baik fisik maupun digital, memiliki kewajiban dan perlindungan hukum yang sama untuk membuat terang suatu tindak pidana.


