Pelatihan Aset Digital bagi Hakim: Menyambut Tantangan Kripto

di balik kemudahan dan popularitasnya, kripto juga menyimpan potensi risiko, salah satunya dijadikan sarana tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Ilustrasi aset kripto. Foto ; Pexels/worldspectrum
Ilustrasi aset kripto. Foto ; Pexels/worldspectrum

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, mata uang kripto kini menjadi topik hangat yang tak lagi asing di telinga masyarakat. 

Bitcoin, Ethereum, hingga ragam aset digital lainnya sering dibicarakan, bahkan digunakan sebagai instrumen transaksi. 

Namun, di balik kemudahan dan popularitasnya, kripto juga menyimpan potensi risiko, salah satunya dijadikan sarana tindak pidana pencucian uang (TPPU). 

Di titik inilah, pemahaman aparat penegak hukum, khususnya hakim, menjadi sangat krusial.

Selama ini, perkara-perkara TPPU lebih banyak berkutat pada aliran dana konvensional melalui bank, koperasi, atau aset berwujud seperti tanah dan kendaraan. 

Namun, dengan hadirnya aset digital, jalur kejahatan menjadi semakin rumit dilacak. Sayangnya, hingga kini, belum ada pembekalan yang memadai bagi para hakim terkait pemahaman kripto. 

Padahal, ketika perkara TPPU yang melibatkan aset digital masuk ke ruang sidang, hakimlah yang harus mengambil keputusan berdasar hukum dan bukti.

Secara hukum, tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU. 

Regulasi ini sejatinya cukup komprehensif, tetapi dalam praktik, teknis pelacakan aset digital masih menjadi tantangan. Di sinilah muncul kebutuhan akan payung kebijakan dan pedoman teknis. 

Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif memiliki peran strategis, baik dengan mendorong regulasi turunan, maupun menyelenggarakan pelatihan berkelanjutan bagi hakim di seluruh Indonesia.

Pelatihan ini penting agar hakim tidak hanya memahami aspek legalitas aset digital, tetapi juga cara kerjanya. 

Bagaimana transaksi kripto berlangsung, bagaimana alamat dompet digital dilacak, hingga bagaimana kerja sama internasional dilakukan dalam penelusuran aset. 

Pemahaman seperti ini bukan sekadar teori, melainkan bekal praktis untuk menghadapi realitas persidangan modern.

Ke depan, diharapkan Mahkamah Agung dapat bekerja sama dengan lembaga lain, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hingga Kementerian Keuangan, untuk menyusun kurikulum pelatihan aset digital bagi hakim. 

Dengan begitu, peradilan di Indonesia tidak tertinggal oleh perkembangan zaman, dan tetap mampu menegakkan hukum secara adil di tengah tantangan dunia digital.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews