Mahkota sesungguhnya dari sebuah proses peradilan perdata tidak terletak pada gemuruh palu yang mengesahkan sebuah putusan, melainkan dalam efektivitasnya yang sunyi saat putusan itu dieksekusi.
Tahap eksekusi adalah manifestasi ultima dari keadilan; ia adalah momen di mana kontrak sosial antara negara dan warganya ditunaikan, yakni jaminan bahwa putusan yang lahir dari rahim lembaga yudisial memiliki daya paksa yang riil dan bukan sekadar retorika.
Dalam arsitektur hukum acara di Indonesia, eksekusi terhadap putusan yang mengandung kewajiban pembayaran dalam valuta asing telah lama menemukan elegansi proseduralnya. Berpijak pada otoritas Undang-Undang Mata Uang serta dikukuhkan oleh yurisprudensi dan berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung, konversi kewajiban tersebut ke dalam Rupiah senantiasa merujuk pada sebuah kompas tunggal yang terkalibrasi dan tak terbantahkan: kurs tengah direktif yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Mekanisme ini adalah fondasi dari kepastian eksekutorial, sebuah prosedur yang menjamin objektivitas dan mereduksi peran Juru Sita menjadi sekadar pelaksana teknis yang presisi, jauh dari potensi sengketa interpretatif.
Namun, ketertiban yang mapan dan telah teruji oleh waktu ini kini berhadapan dengan sebuah anomali yuridis yang lahir dari revolusi digital: aset kripto.
Kendati legislasi sekunder melalui Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) telah memberinya status legalitas sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, otoritas moneter tertinggi di republik ini secara sadar dan konsisten menjaga jarak, menolak memberinya pengakuan sebagai alat tukar atau mata uang. Sikap ini, meskipun dapat dipahami dari perspektif kebijakan moneter, secara tidak langsung menciptakan sebuah ruang hampa eksekutorial (executorial vacuum) yang sangat berbahaya dan belum pernah terpetakan sebelumnya.
Absensi kurs tengah direktif untuk aset seperti Bitcoin atau Ethereum berarti bahwa kompas yang selama ini menjadi pemandu eksekusi kini lenyap tanpa pengganti. Hal ini bukan sekadar celah teoretis; ia adalah benih dari potensi kelumpuhan eksekutorial massal di masa depan, di mana putusan-putusan pengadilan yang melibatkan nilai ekonomi miliaran Rupiah dalam bentuk aset kripto terancam menjadi tak lebih dari sekadar macan kertas.
Kegagalan sistemik untuk mengeksekusi putusan secara adil dan dapat diprediksi akan menggerus kepercayaan publik terhadap sistem peradilan komersial secara keseluruhan.
Tulisan ini berpretensi untuk membedah problematika fundamental yang sejauh ini luput dari diskursus hukum secara mendalam, yakni "Paradoks Sumber Referensi Otoritatif", dan mengajukan sebuah tesis bahwa dalam kekosongan normatif ini, hakim tidak lagi bisa sekadar menjadi penafsir hukum; ia harus berevolusi menjadi arsitek mekanisme eksekusi melalui suatu laku penemuan hukum (rechtsvinding) yang bersifat antisipatif.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, analisis mendalam dalam artikel ini akan difokuskan untuk menjawab dua permasalahan hukum yang fundamental dan memiliki implikasi sistemik:
- Bagaimana absensi kurs tengah direktif dari Bank Indonesia untuk aset kripto, sebagai satu-satunya preseden mekanisme konversi nilai yang diakui dalam sistem hukum Indonesia, menciptakan suatu kekosongan hukum kritikal pada tahap eksekusi putusan perdata, yang secara langsung mengancam integritas, marwah, dan efektivitas lembaga peradilan akibat ketiadaan tolok ukur valuasi yang objektif dan otoritatif?
- Menghadapi paradoks sumber referensi otoritatif tersebut, metodologi rechtsvinding antisipatif apa yang harus dirumuskan dan dituangkan oleh hakim di dalam amar putusannya untuk membangun sebuah mekanisme konversi nilai aset kripto ke Rupiah yang adil, dapat dieksekusi (executable), dan berkepastian hukum, sehingga dapat berfungsi sebagai preseden yurisprudensial bagi penyelesaian sengketa serupa di masa mendatang?
Pembahasan
Untuk memahami skala disrupsi yang diakibatkan oleh aset kripto pada tahap eksekusi, esensial untuk terlebih dahulu mengapresiasi landasan filosofis dan yuridis dari mekanisme yang berlaku untuk valuta asing.
Kurs tengah Bank Indonesia bukanlah sekadar angka. Ia adalah sebuah fiksi hukum (legal fiction) yang disepakati, di mana negara melalui bank sentralnya memberikan sebuah tolok ukur yang dianggap "benar" untuk tujuan penegakan hukum. Kekuatannya terletak pada delegasi kewenangan yang implisit dari sistem hukum kepada otoritas moneter. Keberadaannya menjamin Rechtssicherheit (kepastian hukum) dan Rechtsgleichheit (kesetaraan di hadapan hukum), karena semua pihak, dalam kasus apapun dan di pengadilan manapun, akan tunduk pada metode konversi yang identik.
Inilah yang memungkinkan sebuah proses eksekusi berjalan dengan efisiensi mekanis yang nyaris sempurna, sebuah prasyarat utama bagi tegaknya supremasi hukum dalam ranah perdata.
Kondisi ideal tersebut hancur berkeping-keping saat berhadapan dengan aset kripto. Jantung permasalahan terletak pada transformasi dari kepastian tunggal menjadi sebuah kakofoni digital yang membingungkan. Inilah inti dari "Paradoks Sumber Referensi Otoritatif".
Saat amar putusan menghukum pembayaran setara 5 Bitcoin, Juru Sita tidak lagi berhadapan dengan satu angka referensi, melainkan dengan badai informasi dari berbagai platform pedagang aset kripto yang masing-masing memiliki justifikasinya sendiri.
Problema ini memiliki beberapa lapisan kompleksitas. Pertama, multiplisitas sumber harga; pada hari dan jam yang sama, harga 1 Bitcoin di platform Indodax bisa jadi berbeda dengan harga di Tokocrypto atau Pintu. Perbedaan ini bukan ilusi, melainkan buah dari faktor-faktor pasar riil seperti spread bid-ask, kedalaman likuiditas, dan premi platform yang berbeda-beda. Kedua, volatilitas intra-hari yang ekstrem; aset kripto diperdagangkan dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu. Harga dapat berfluktuasi secara signifikan dalam hitungan menit, menciptakan sebuah "disonansi temporal" antara momen penetapan eksekusi dan momen pelaksanaan sita.
Kombinasi dari multiplisitas sumber dan disonansi temporal ini menempatkan Juru Sita dalam sebuah dilema yang melumpuhkan. Ia dipaksa untuk membuat pilihan yang pada dasarnya bersifat yudikatif, menentukan sumber mana yang paling "adil", sebuah peran yang berada di luar kompetensinya. Pilihan referensi manapun yang ia ambil secara sepihak akan membuka gerbang bagi tuduhan keberpihakan, potensi gugatan perbuatan melawan hukum baru dari pihak yang merasa dirugikan, dan pada akhirnya, penundaan eksekusi tanpa batas.
Akibatnya, putusan pengadilan yang telah diperjuangkan dengan susah payah berisiko menjadi brutum fulmen, petir yang tak bersuara, sebuah proklamasi yuridis yang agung namun impoten. Kegagalan pada tahap paling hilir ini adalah ancaman langsung terhadap kepercayaan publik pada keseluruhan institusi peradilan.
Di hadapan kebuntuan ini, melimpahkan beban untuk menemukan tolok ukur kepada Juru Sita adalah sebuah kekeliruan fatal dan bentuk pengingkaran tanggung jawab yudisial.
Solusi yang paling elegan dan secara yuridis dapat dipertanggungjawabkan harus lahir dari sumber putusan itu sendiri: hakim. Hakim dituntut untuk melampaui perannya sebagai penafsir hukum masa lalu dan menjelma menjadi arsitek hukum masa depan.
Rechtsvinding yang dibutuhkan bukanlah yang bersifat reaktif, melainkan antisipatif. Serupa dengan seorang arsitek yang merancang fondasi bangunan untuk menahan gempa yang belum terjadi, hakim harus mampu meramalkan badai eksekusi yang akan datang dan membangun pemecah gelombangnya di dalam pertimbangan dan amar putusannya. Ia tidak bisa lagi sekadar menyatakan hak; ia harus merancang jalan bagi perwujudan hak tersebut.
Metodologi yang dapat ditempuh adalah sebuah rekayasa yuridis di dalam putusan. Hakim, dalam magisterium yudisialnya, harus secara presisi dan otoritatif menetapkan sendiri mekanisme konversi yang akan digunakan.
Sebuah solusi yang paling mendekati spirit kurs tengah, dan yang paling dapat dipertahankan dari sisi objektivitas, adalah dengan menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "indeks komposit yudisial". Melalui formula ini, hakim tidak memilih satu sumber, melainkan menggabungkan beberapa sumber untuk menciptakan sebuah rerata yang lebih stabil dan representatif terhadap pasar.
Pendekatan ini selaras dengan praktik terbaik dalam pembentukan tolok ukur finansial di tingkat global dan secara signifikan mereduksi potensi arbitrariness. Manifestasi dari penalaran ini akan termaktub dalam sebuah klausa eksekutorial preskriptif, yang mengubah amar putusan dari sekadar deklarasi menjadi sebuah algoritma eksekusi.
Amar putusan yang ideal tidak akan lagi ambigu, melainkan akan berbunyi laksana sebuah manual teknis yang presisi, contohnya: "Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat sejumlah uang dalam Rupiah yang nilainya setara dengan 5 (lima) Bitcoin, yang perhitungannya wajib didasarkan pada nilai rerata dari harga penutupan harian (closing price) pada pukul 16.00 Waktu Indonesia Barat dari 3 (tiga) platform Pedagang Fisik Aset Kripto yang terdaftar secara resmi di Bappebti, yaitu Indodax, Tokocrypto, dan Pintu, pada hari kerja yang sama dengan dilaksanakannya sita eksekusi (executorial beslag)."
Amar semacam ini adalah sebuah mahakarya rechtsvinding. Ia mengubah putusan dari sekadar pernyataan hak menjadi sebuah manual pelaksanaan yang rinci. Ia memecahkan paradoks sumber referensi dengan menciptakan sumber referensi kompositnya sendiri. Ia membebaskan Juru Sita dari dilema yang mustahil dan menutup setiap celah bagi perdebatan pada tahap eksekusi, sehingga memberikan kepastian hukum absolut bagi kedua belah pihak.
Kesimpulan
Absensi kurs tengah direktif untuk aset kripto telah menciptakan sebuah vakum eksekutorial yang secara serius mengancam efektivitas dan marwah lembaga peradilan.
Paradoks sumber referensi otoritatif bukanlah sekadar isu teknis, melainkan sebuah tantangan fundamental terhadap kemampuan sistem hukum untuk beradaptasi dengan inovasi finansial. Membiarkan kekosongan ini berlarut-larut sama artinya dengan membiarkan putusan pengadilan di masa depan menjadi tidak relevan dalam sengketa-sengketa bernilai ekonomi tinggi.
Jalan keluarnya tidak terletak pada penantian pasif akan adanya intervensi legislatif yang mungkin memakan waktu bertahun-tahun. Solusinya terletak pada keberanian yudisial. Melalui rechtsvinding yang bersifat antisipatif, hakim memiliki kewenangan dan kewajiban untuk bertindak sebagai arsitek mekanisme eksekusi di dalam putusannya.
Dengan merumuskan klausa eksekutorial preskriptif yang menetapkan formula konversi yang jelas dan objektif, hakim tidaklah melampaui kewenangannya. Justru sebaliknya, ia sedang menjalankan panggilan tertingginya: memastikan bahwa keadilan yang ia putuskan bukanlah sekadar sebuah gagasan abstrak dalam selembar kertas, melainkan sebuah realitas konkret yang dapat dirasakan dan dieksekusi di tengah masyarakat.
Walaupun solusi jangka panjang yang ideal adalah melalui sebuah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA), terobosan yurisprudensial dari para hakim di tingkat judex facti adalah langkah pertama yang paling krusial. Inilah cara hukum, dalam kebijaksanaannya yang dinamis, beradaptasi dan menegaskan kembali otoritasnya di hadapan setiap disrupsi zaman, memastikan bahwa keadilan tetap menjadi kekuatan yang hidup dan berdaya paksa.