Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Anggota POLRI, Perlukah Upaya Administratif?

UU AP mengatur tahapan upaya administratif, yang terdiri atas keberatan dilanjutkan banding administratif.
Ilustrasi sengketa PTDH. Foto : Dokumentasi ilustrasi pribadi
Ilustrasi sengketa PTDH. Foto : Dokumentasi ilustrasi pribadi

Upaya administratif dalam sengketa tata usaha negara merupakan proses penyelesaian sengketa yang dilakukan di internal pemerintahan, guna menyelesaikan sengketa tata usaha negara antara warga masyarakat dan pemerintahan, di luar proses peradilan. 

Dari segi peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) telah memberi ruang bagi warga masyarakat untuk mengajukan upaya administratif. 

UU AP merupakan payung hukum, yang mengatur mengenai upaya administratif. UU AP mengatur tahapan upaya administratif, yang terdiri atas keberatan dilanjutkan banding administratif. 

UU AP memberikan kewenangan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa TUN, bilamana warga masyarakat tidak menerima keputusan atas upaya administratif yang telah dilalui. 

Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung menetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif (PERMA 6/2018) yang pada pokoknya memberikan kewenangan bagi PTUN untuk mengadili sengketa TUN, bilamana upaya administratif telah dilalui.

Berbicara mengenai sengketa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), terdapat 2 (dua) pandangan mengenai kewajiban ditempuhnya upaya administratif dalam perkara PTDH. 

Pandangan pertama menyatakan bahwa tetap diperlukannya upaya administratif sesuai tahapan dalam UU AP, setelah diterbitkannya Keputusan PTDH. 

Pandangan kedua, menyatakan bahwa tidak diperlukan lagi upaya administratif dalam sengketa PTDH, karena sebelum diterbitkannya Keputusan PTDH, penggugat dalam hal ini anggota POLRI yang diberhentikan telah diberi kesempatan untuk membela diri dalam forum komite etik POLRI. 

Terdapat beberapa alasan yang mendasari pandangan kedua. Institusi POLRI telah memiliki mekanisme tersendiri, untuk memberhentikan anggotanya. Prosedur PTDH dilakukan oleh suatu lembaga ajudikasi non litigasi di internal POLRI, yang disebut Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (KKEP).
 
Penegakan Kode Etik POLRI oleh KKEP diawali dengan adanya pemeriksaan pendahuluan yang di dalamnya dilakukan audit investigasi, untuk mendengar keterangan dari terduga pelanggar kode etik POLRI. 

Selanjutnya dilaksanakan sidang KKEP, yang bertujuan memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran kode etik POLRI. 

Apabila terduga pelanggar tidak menerima putusan KKEP, maka dapat diajukan permohonan banding yang kemudian akan diperiksa oleh KKEP Banding. 

Setelah putusan KKEP final dan mengikat, masih dimungkinkan adanya upaya berupa KKEP Peninjauan Kembali oleh Kapolri, dalam hal terdapat kekeliruan putusan KKEP dan/atau ditemukan alat bukti yang belum diperiksa, saat Sidang KKEP atau KKEP Banding.

Dengan demikian, telah terdapat serangkaian proses ajudikasi non litigasi yang mengakomodasi ruh dari upaya administratif, yakni proses penyelesaian di internal pemerintahan. 

Putusan PTDH tidak serta merta diterbitkan, namun telah berdasarkan pemeriksaan Komisi Kode Etik POLRI dan memungkinkan terduga pelanggar untuk menyampaikan pembelaannya. 

Penulis berpendapat, proses ini secara substantif telah mengakomodasi kebutuhan terduga pelanggar untuk mengajukan upaya administratif. 

Sejalan dengan hal tersebut, Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Tahun 2020 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 10/2020) menegaskan bahwa PTUN berwenang mengadili sengketa PTDH yang didasarkan pada putusan pengadilan pidana atau Komisi Etik, tanpa perlu dilakukan upaya administatif terlebih dahulu, karena sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.