Melihat trending topic (tema yang dibicarakan banyak pengguna media sosial dan dibincangkan terus-menerus) di dunia maya, media sosial banyak menampilkan sentimen positif ataupun negatif terkait keputusan majelis hakim dalam memutus perkara.
Hal itu terlihat dari platform media sosial X yang beberapa hari terakhir menjadi trending topic. Banyak apresiasi netizen juga muncul di TikTok serta Instagram. Banyak sekali FYP (for your page) atau halaman yang direkomendasikan mengenai kejadian itu, dan beberapa komentar di media sosial memberikan sentimen positif ataupun negatif tentang hal tersebut.
Bila merujuk Wikipedia, media sosial atau sering juga disebut sosial media adalah platform digital yang memfasilitasi penggunanya untuk saling berkomunikasi atau membagikan konten berupa tulisan, foto, dan video. Media sosial juga merupakan sarana untuk bersosialisasi satu sama lain secara daring, yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Pemanfaatan media sosial di Mahkamah Agung sudah sangat masif. Mulai dari Aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) dan e-Court Mahkamah Agung RI, hingga baru-baru ini dengan aplikasi E-BIMA, E-Prima, dan E-Berpadu, serta masih banyak lagi aplikasi berbasis teknologi informasi di lingkungan Mahkamah Agung. Bahkan setiap satuan kerja berlomba-lomba melakukan inovasi guna memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mendapat akses pelayanan di pengadilan. Hal ini merupakan implementasi dari apa yang sering digaungkan oleh Ketua Mahkamah Agung, yaitu mewujudkan Peradilan Modern Berbasis Teknologi Informasi.
Bila merujuk penjabaran di atas, penulis membagi dua bagian penting, yaitu media sosial yang dibuat dan digunakan oleh Mahkamah Agung serta media sosial yang digunakan di lingkungan Mahkamah Agung. Dengan keterbatasan penulis, pembahasan hanya dibatasi pada media sosial yang digunakan di lingkungan Mahkamah Agung. Sebab, bila digunakan untuk membahas dua bagian tersebut, tentu spektrum menjadi semakin luas sehingga tidak akan menemukan fokus untuk mendapatkan intisari dari bahasan.
Sedikit membahas penggunaan media sosial yang dibuat dan digunakan Mahkamah Agung. Hampir semua platform media sosial populer sudah digunakan, dari Instagram dengan nama akun @humasmahkamahagung, Facebook dengan nama akun @humasma123, Twitter dengan nama akun @humas_MA, hingga TikTok dengan nama akun @humasmahkamahagung. Semua ini dipakai untuk mensosialisasikan kebijakan dan kegiatan Mahkamah Agung. Selain itu, seluruh satuan kerja juga menggunakan berbagai platform media sosial sebagai sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada masyarakat, mulai dari Pengadilan Negeri Sabang sampai dengan Pengadilan Negeri Merauke.
Media Sosial dan Peradilan
Media sosial secara luas didefinisikan sebagai sekelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun atas fondasi ideologis dan teknologi Web 2.0, serta memungkinkan konstruksi dan pertukaran konten yang dibuat pengguna. Banyaknya variasi dan jenis platform media sosial yang muncul memengaruhi karakteristik komunikasi penggunanya.
Tipologi media sosial berdasarkan dua karakteristik, yaitu sifat koneksi (berbasis profil versus berbasis konten) dan tingkat kustomisasi pesan (sejauh mana layanan disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan individu atas preferensi tertentu). Terdapat empat kategori media sosial berdasarkan dua karakteristik tersebut, yaitu:
Relationship, merepresentasikan platform berbasis profil dengan pesan khusus, seperti Facebook dan LinkedIn.
Self-media, berbasis profil tetapi memungkinkan pengguna mengelola saluran komunikasi sendiri, contohnya Twitter.
Creative outlet, berbasis konten, memungkinkan pengguna berbagi minat dan kreativitas, misalnya YouTube dan Instagram.
Collaboration, berbasis konten, memungkinkan orang bertanya, memberi saran, atau menemukan berita dan konten menarik pada saat itu.
Kutipan di atas dimaksudkan untuk memudahkan analisis dalam menarik kesimpulan tentang pengaruh media sosial dalam membentuk peradaban peradilan.
Media sosial terdiri dari aktivitas yang melibatkan sosialisasi dan jaringan daring dengan menggunakan kata-kata, gambar, dan video. Media sosial menegaskan kembali bagaimana kita berhubungan satu sama lain sebagai manusia, dan bagaimana kita berhubungan dengan organisasi yang melayani kita. Ini semua tentang dialog dua arah yang mempertemukan orang untuk berdiskusi, menemukan, dan membagikan informasi.
Intinya, dengan media sosial, orang dapat melakukan berbagai aktivitas sosial layaknya di dunia nyata. Ada aktivitas dua arah dalam berbagai bentuk pertukaran, kolaborasi, serta saling mengenal melalui tulisan, visual, maupun audiovisual.
Sebagai salah satu tolok ukur kegunaan teknologi informasi, media sosial menggunakan komponen utama yaitu internet, dan kini muncul sebagai sarana komunikasi populer. Pengguna cenderung menerima aplikasi teknologi baru jika dianggap mudah diakses dan berguna bagi mereka untuk mendapatkan informasi sekaligus memberi umpan balik secara langsung.
Konvergensi media biasanya mengacu pada pengembangan teknologi komunikasi digital yang dimungkinkan oleh konvergensi jaringan. Kini, konvergensi media berkembang menjadi penggabungan atau integrasi media untuk diarahkan ke tujuan yang sama.
Menurut Henry Jenkins, konvergensi adalah aliran konten melintasi berbagai platform media, kolaborasi antara berbagai industri, serta perilaku migrasi khalayak media. Konvergensi media ini menyatukan 3C: computing (memasukkan data melalui komputer), communication, dan content.
Dengan fenomena konvergensi, cukup dengan satu perangkat seperti smartphone, laptop, atau tablet, seseorang dapat mendengarkan radio, membaca koran daring, menonton televisi, bersosialisasi di media sosial, menulis blog, membuat konten, berkomentar, hingga memberikan kritik secara langsung.
Media sosial yang digunakan di lingkungan Mahkamah Agung tidak hanya menjadi sarana sosialisasi, tetapi juga sarana aktualisasi diri warga peradilan. Beberapa media sosial populer yang hampir pasti digunakan adalah YouTube, Facebook, Instagram, TikTok, dan Twitter.
Dapat dikelompokkan dua bagian: akun media sosial representasi institusi atau lembaga, dan akun media sosial individu warga peradilan.
Ekosistem media sosial di lingkungan Mahkamah Agung terlihat dari aktifnya setiap akun di berbagai tingkatan, mulai dari daerah hingga pusat. Setiap pengadilan sudah menggunakan media sosial untuk sosialisasi kebijakan. Namun, yang jarang disorot adalah media sosial yang digunakan warga pengadilan, mulai dari pimpinan hingga petugas kebersihan, dari junior hingga senior. Bisa dikatakan hampir semua warga pengadilan menggunakan media sosial sebagai sarana aktualisasi diri maupun berbagi informasi.
Kekuatan Media Sosial
Laporan We Are Social mengungkapkan jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia pada Januari 2022 tumbuh 12,35% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah pengguna aktif pada awal 2022 mencapai 191 juta orang, sedangkan pada 2021 sebesar 170 juta. Dengan total populasi lebih dari 273,5 juta, berarti hampir setengah penduduk Indonesia adalah pengguna aktif media sosial.
Laporan tersebut juga menunjukkan media sosial yang paling sering digunakan. WhatsApp menempati posisi pertama dengan persentase 88,7%. Posisi kedua dan ketiga ditempati Instagram dan Facebook, masing-masing 84,8% dan 81,3%. TikTok digunakan oleh 63,1% pengguna, sementara Telegram 62,8%.
Jika menggunakan pendekatan umur, data Statista tahun 2020 mencatat pengguna terbanyak berusia 25–34 tahun, disusul kelompok usia 18–24 tahun. Paling sedikit adalah kelompok usia 55–64 tahun, lalu 65 tahun ke atas.
Dominasi generasi milenial memperlihatkan kebutuhan akan informasi yang cepat, tepat, dan akurat. Dengan cakupan jumlah dan rentang usia yang luas, tidak ada alasan mengatakan bahwa media sosial tidak berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Dampaknya tergantung pada konten yang dibagikan—apakah mampu menggerakkan publik untuk memberi atensi dan umpan balik.
Fenomena No Viral, No Justice
Fenomena no viral, no justice (tidak ada keadilan jika belum viral) belakangan ini muncul sebagai kritik terhadap Polri. Fenomena ini merupakan bentuk mobilisasi masyarakat di ruang digital yang kemudian menjadi kelompok penekan terhadap lembaga terkait.
Kepolisian yang diharapkan sebagai pelayan dan pelindung masyarakat dinilai gagal menjalankan tugasnya. Fenomena no viral, no justice seringkali dimulai dengan sebuah postingan yang kemudian viral dan menjadi opinion leader.
Meskipun bersifat opinion-driven, fenomena ini bukanlah hal negatif karena dilandasi kepedulian. Bahkan, fenomena ini mendorong instansi terkait untuk lebih tanggap terhadap isu yang berkembang.
Manusia sebagai Agen Perubahan
Dalam teori sosial, manusia bukan hanya kontrol sosial, tetapi juga agen perubahan (agent of change). Manusia memiliki dasar kreatif, proaktif, dan kearifan internal sehingga menjadi aktor penting dalam realitas sosial.
Artinya, tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan norma, kebiasaan, dan nilai. Manusia dapat mengembangkan diri secara kreatif melalui respons terhadap stimulus di dunia kognisinya.
Dalam paradigma konstruktivis, realitas adalah konstruksi sosial individu. Namun, kebenaran realitas bersifat nisbi dan berlaku sesuai konteks yang relevan bagi pelaku sosial.
Dengan adanya kontrol sosial masyarakat melalui media sosial—yang sering disebut new media—terciptalah era baru. Setiap kegiatan yang mendapat atensi publik membuat aparatur lebih hati-hati dalam interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan institusi, sehingga bermuara pada integritas pelayanan peradilan.
Media, Kekuasaan, dan Profesi Baru
Pakar sosiologi menyatakan konstruksi realitas sosial tidak dapat dipisahkan dari teori komunikasi massa. Gagasan awal Aristotelis tentang komunikator, pesan, dan penerima diperluas oleh Harold Dwight Laswell menjadi: Who, says what, in which channel, to whom, with what effect.
Artinya, siapa pembuat konten, apa yang dikatakan, melalui saluran apa, ditujukan kepada siapa, dan apa efek yang ditimbulkan, semuanya tidak dapat dipisahkan dari komunikasi massa.
Media sering dianggap alat yang sangat kuat. Pemilik media dapat memengaruhi keputusan politik atau menggunakan medianya untuk kepentingan kelompok dominan. Namun, dengan munculnya media sosial, peta kekuatan itu bergeser. Media sosial memberi ruang bagi kelompok marginal untuk bersuara tanpa harus menunggu media arus utama.
Fenomena ini melahirkan profesi baru, seperti buzzer dan influencer.
Buzzer adalah orang yang menggunakan akun media sosial untuk menyebarkan informasi atau promosi, biasanya melalui Twitter. Mereka menyampaikan pesan berulang-ulang agar menjangkau audiens lebih luas.
Influencer adalah individu dengan jumlah pengikut signifikan yang dibayar untuk mempromosikan produk atau gagasan. Mereka lebih sering menggunakan Instagram atau YouTube, dan memiliki hubungan yang lebih otentik dengan pengikutnya.
Selain itu, muncul pula profesi lain seperti youtuber, content writer, content creator, social media specialist, dan konsultan media sosial. Semua ini muncul karena media sosial telah menjadi ladang ekonomi baru dengan pangsa pasar yang jelas.
Kesimpulan
Pesatnya media sosial membawa perubahan radikal dalam kondisi sosial masyarakat. Pergeseran pola komunikasi dan interaksi yang terjadi merupakan simulasi dari realitas sebenarnya. Media sosial kini menjadi bagian penting dari kehidupan manusia.
Di lingkungan pengadilan, sudah banyak platform media sosial digunakan. Namun, perlu ada kesadaran dari setiap insan peradilan untuk membiasakan budaya sharing is caring, yaitu membagikan konten positif tentang Mahkamah Agung. Dengan jumlah ASN yang besar, hal ini bisa menjadi kekuatan kolektif untuk menggerakkan kampanye publik mengenai pencapaian MA.
Untuk meningkatkan manfaat media sosial dalam mewujudkan peradilan yang agung, jejaring sosial di lingkungan peradilan harus dipahami sebagai kekuatan bersama. Akun-akun resmi dapat menjadi opinion leader yang memicu interaksi positif dengan masyarakat. Bila mendapat afirmasi publik, hal ini berpotensi menjadi social movement.