Ketika Keputusan Hakim Salah Pun Bernilai Pahala

Dalam konteks kehakiman, ijtihad dilakukan ketika hakim menghadapi perkara yang tidak memiliki ketentuan hukum yang jelas.
Iustrasi putusan hakim. Foto pixabay.com
Iustrasi putusan hakim. Foto pixabay.com

Dalam sistem hukum Islam, hakim (qadhi) tidak hanya dipandang sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai pelaksana keadilan yang berlandaskan nilai-nilai ilahiah. 

Salah satu prinsip penting dalam tradisi keilmuan, adalah penghargaan terhadap ijtihad seorang hakim sebagai konsep penemuan hukum (rechtsvinding) yang sungguh-sungguh dalam menemukan kebenaran hukum ketika tidak ada nash (teks) yang secara eksplisit menjelaskan suatu perkara. 

Nabi Muhammad SAW, menegaskan dalam hadisnya “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia berijtihad lalu salah, ia mendapat satu pahala.” (HR. al-Bukhari, no. 7352; Muslim, no. 1716)

Hadis ini, menggambarkan betapa tinggi kedudukan seorang hakim. Profesi hakim tidak hanya diukur dari hasil putusannya, tetapi dari keikhlasan dan kesungguhan dalam mencari kebenaran, sehingga keadilan dapat dirasakan oleh setiap pihak yang berperkara.

Makna Ijtihad dalam Konteks Kehakiman

Secara etimologis, ijtihad diartikan mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu. 

Dalam konteks kehakiman, ijtihad dilakukan ketika hakim menghadapi perkara yang tidak memiliki ketentuan hukum yang jelas dalam Al-Qur’an maupun Hadis. 

Dengan menggunakan akal, kaidah ushul fiqh, dan nilai-nilai keadilan, hakim berusaha memutus perkara seadil-adilnya. 

Menurut al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul, ijtihad adalah “mengerahkan seluruh kemampuan untuk memperoleh hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terperinci.” 

Dengan demikian, ijtihad bukan sekadar opini pribadi, melainkan hasil dari proses intelektual, spiritual, dan moral yang mendalam.

Seorang hakim tidak hanya bertanggung jawab di hadapan manusia, tetapi juga di hadapan Allah SWT, sebagai pemilik keadilan yang hakiki. 

Maka, keputusan yang lahir dari hasil pemikirannya harus mencerminkan keseimbangan antara rasionalitas hukum dan moralitas ketuhanan. 

Dalam pandangan ini, berfungsi sebagai jembatan antara teks normatif dan realitas empiris, sekaligus menegaskan peran hakim sebagai pelaku ijtihad qadha’i, yaitu ijtihad dalam lingkup peradilan yang memiliki nilai hukum dan pahala di sisi Allah.

Dua Pahala dan Satu Pahala: Nilai Ilahiah dalam Keadilan

Hadis Nabi Muhamad SAW mengandung pesan, bahwa sebuah kebenaran dalam Islam tidak semata diukur dari hasil, tetapi juga dari niat dan proses, 

  • Hakim yang benar dalam konsep penemuan hukum (rechtsvinding) mendapat dua pahala, satu atas kesungguhannya berijtihad, dan satu lagi atas kebenaran hasilnya.
  • Hakim yang salah dalam konsep penemuan hukum (rechtsvinding) tetap mendapat satu pahala, karena telah berusaha maksimal menggunakan ilmunya dengan niat mencari kebenaran.

Imam al-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan pahala bagi hakim yang salah berlaku selama kesalahannya bukan karena kelalaian, hawa nafsu, atau kebodohan, tetapi karena keterbatasan pengetahuan manusia dalam menyingkap kebenaran yang hakiki. 

Prinsip ini menunjukkan bahwa agama menghargai upaya ilmiah dan moral seseorang dalam mencari keadilan, sekalipun hasilnya belum sempurna.

Etika dan Tanggung Jawab Hakim 

Meskipun ijtihad yang salah tetap berpahala, bukan berarti kesalahan dapat dianggap remeh. Seorang hakim tetap dituntut untuk berhati-hati, adil, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu atau tekanan eksternal. 

Imam al-Ghazali mengingatkan seorang hakim yang tidak memenuhi syarat keilmuan dan keadilan, tetapi tetap memutus perkara, justru berdosa besar. Artinya, pahala ijtihad hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berijtihad dengan tulus. 

Dalam konteks modern, semangat hadis ini menegaskan di mana seorang hakim harus profesional, berintegritas, dan menjunjung tinggi nilai keadilan substantif. 

Kesalahan manusiawi bisa dimaklumi, tetapi ketidakjujuran dan penyalahgunaan wewenang tidak pernah mendapat ruang dalam sistem hukum manapun di dunia.

Relevansi Hadis Ijtihad Hakim di Era Kini

Di tengah kompleksitas hukum kontemporer, pesan Nabi SAW. ini tetap relevan. Hakim di pengadilan, terutama pada negara dengan sistem hukum majemuk seperti Negara Indonesia, sering dihadapkan pada perkara yang belum memiliki preseden atau aturan yang jelas. 

Dalam situasi seperti ini, prinsip penemuan hukum oleh hakim menjadi pedoman moral, di mana yang terpenting kejujuran intelektual, ketulusan niat, dan tanggung jawab terhadap Tuhan dan masyarakat.

Ijtihad hakim juga mengajarkan kesalahan tidak selalu berakhir pada hukuman, tetapi bisa menjadi jalan pembelajaran dan kematangan moral dalam menegakkan keadilan. Prinsip ini memperkaya etika peradilan dan memperkuat posisi hakim sebagai penjaga nurani hukum.

Penutup

Pahala ijtihad seorang hakim bukan sekadar penghargaan terhadap profesi hakim, tetapi juga ajaran tentang etika mencari kebenaran. Seorang hakim yang jujur, adil, dan tulus berijtihad, akan selalu bernilai di sisi Allah SWT, baik ketika keputusannya benar maupun salah.

Pesan ini, menegaskan keadilan tidak berhenti pada hasil, melainkan bermula dari niat yang lurus, usaha sungguh-sungguh, dan tanggung jawab moral kepada Tuhan Sang Maha Adil.

Daftar Pustaka

Al-Bukhari. (n.d.). Shahih al-Bukhari, Kitab al-I’tisham bi al-Kitab wa al-Sunnah, Hadis No. 7352.
Al-Ghazali, A. H. (1993). Al-Mustashfa fi ‘Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Nawawi, Y. ibn S. (n.d.). Syarh Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Ma’rifah.
Muslim. (n.d.). Shahih Muslim, Kitab al-Aqdiyah, Hadis No. 1716.
Suadi, A. (2020). Etika dan tanggung jawab hakim dalam Islam dan hukum nasional. Jakarta: Prenadamedia Group.

Penulis: Al Fitri
Editor: Tim MariNews