Problematika Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) Bank dan Kontradiksi dalam Pengaturannya

Peraturan pelaksanaan AYDA sebagaimana diamanatkan UU Perbankan sampai saat ini belum diundangkan.
Ilustrasi agunan. Foto : Freepik
Ilustrasi agunan. Foto : Freepik

Dalam pemberian kredit kepada nasabah, lembaga perbankan tidak serta merta memberikan pinjaman tanpa adanya sebuah mekanisme yang menjamin pelunasan pinjaman nasabah kepada bank. 

Mekanisme penjaminan ini merupakan upaya penanggulangan risiko yang timbul dari kredit itu sendiri.

Salah satu komponen usaha penjaminan pelunasan pinjaman oleh nasabah adalah dengan adanya agunan dari nasabah, sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 71 Tahun 1992 tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut UU Perbankan).

Adanya penyerahan agunan dari nasabah kepada bank mengakibatkan adanya perjanjian lain yang mengikuti perjanjian kredit sebagai pokok.

Bank dan nasabah biasanya mengikatkan diri dengan perjanjian accesoir tentang jaminan kebendaan seperti hak fidusia, hak tanggungan, gadai dan hipotik. 

Dengan tersedianya agunan, maka apabila debitur wanprestasi bank sebagai kreditur dapat memilih beberapa cara untuk memenuhi kewajiban debitur dengan melakukan eksekusi agunan, melalui mekanisme lelang atau melalui mekanisme penjualan di bawah tangan dengan persetujuan dari pemilik agunan.

Pemberian kredit oleh perbankan juga membawa risiko lain yang tidak dapat diabaikan, yaitu risiko kredit macet (Non-Performing Loans, untuk selanjutnya disebut NPL). 

NPL merupakan salah satu aspek dalam keuangan yang mengindikasikan kesehatan aset sebuah lembaga keuangan.

NPL menjadi indikator penting untuk mengukur kesehatan ekonomi dan manajemen risiko suatu lembaga perbankan. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan batas rasio NPL sebesar 5% (lima persen). Batasan ini dirancang untuk menjaga kesehatan sektor perbankan dan mencegah potensi risiko yang dapat mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. 

AYDA Sebagai Alternatif Eksekusi Agunan oleh Bank

Untuk menekan rasio NPL bank pada umumnya dapat melakukan eksekusi agunan yang dijaminkan oleh debitur. Namun demikian, bank juga diberikan opsi lain yakni kewenangan untuk mengambil alih agunan milik nasabah, yang biasa dikenal dengan Agunan Yang Diambil alih (untuk selanjutnya disebut AYDA).

Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan telah mengatur bahwa bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

Dalam Penjelasan Pasa 12A ayat (2) pada huruf b ditegaskan bahwa agunan yang telah dibeli wajib dicairkan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. 

Selain itu bank juga dilarang memiliki agunan yang telah dibeli, dan secepatnya harus dijual kembali kepada pihak lain agar hasil penjualan agunan dapat segera dimanfaatkan oleh bank.

Peraturan pelaksanaan AYDA sebagaimana diamanatkan UU Perbankan sampai saat ini belum diundangkan. Namun demikian terdapat beberapa peraturan terkait yang menyinggung tentang mekanisme pelaksanaan AYDA.

Dalam Peraturan OJK Nomor 40/POJK.03/2019 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum (untuk selanjutnya disebut POJK No. 40/2019) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (untuk selanjutnya disebut PBI No. 14/15/PBI/2012) menjelaskan pengertian AYDA yang hampir sama yaitu, “Agunan yang Diambil Alih yang untuk selanjutnya disebut AYDA, adalah aset yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.”

Berdasarkan definisi AYDA tersebut, Penulis menarik benang merah bahwa mekanisme pelaksanaan AYDA dilakukan dengan cara pelelangan maupun di luar pelelangan (penjualan secara langsung) dengan klausula terpenting yaitu adanya kesukarelaan oleh pemilik agunan untuk menyerahkan objek agunan kepada bank. 

AYDA yang dilakukan dengan cara pelelangan harus sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang (untuk selanjutnya disebut sebagai PMK 122 Tahun 2023). 

Dalam Pasal 87 ayat (1) dan (2) PMK 122 Tahun 2023 menjelaskan bahwa lembaga jasa keuangan sebagai kreditor dapat membeli agunannya dalam pelaksanaan lelang sepanjang diatur dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

Lembaga jasa keuangan harus menyampaikan kepada pejabat lelang surat pernyataan dalam bentuk akta notaris yang berisikan pernyataan pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung mulai tanggal pelaksanaan lelang. 

Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun terlampaui, maka Pejabat Lelang menetapkan lembaga jasa keuangan sebagai Pembeli.

Mekanisme pelaksanaan AYDA kedua di luar pelelangan, dilakukan dengan cara penjualan secara langsung dengan cara pengalihan di bawah tangan atas persetujuan dari pemilik agunan itu sendiri.

Dalam praktiknya pemilik agunan bisa memberikan persetujuan untuk menjual agunannya dengan memberikan surat kuasa untuk menjual (eigenmachtige verkoop). 

Dalam hal agunan berbentuk barang tidak bergerak khususnya tanah yang diberikan hak tanggungan, praktik seperti ini dapat dilakukan.

Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (untuk selanjutnya disebut UUHT) menjelaskan bahwa atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan obyek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. 

Namun perlu dicermati bahwa surat kuasa untuk menjual yang diberikan oleh pemilik agunan tidak boleh berumur kurang dari 1 (satu) tahun. Hal ini karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak jual beli didasarkan surat kuasa pada AYDA yang melebihi masa satu tahun, dengan merujuk pada Pasal 12 ayat (1) UU Perbankan.

Hal lain yang juga perlu dicermati adalah surat kuasa menjual tidak boleh dibuat pada awal perjanjian kredit. Hal ini karena surat kuasa menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada awal kredit dapat membatalkan perjanjian.

Secara prinsip, bank seharusnya segera menjual agunan yang telah diambil alih. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar hukum jaminan yang menegaskan bahwa agunan tidak boleh dikuasai oleh kreditur.

Hal inilah yang pada akhirnya dapat menimbulkan celah timbulnya gugatan, yang dapat berupa partij verzet, derden verzet, maupun gugatan perdata baik yang diajukan di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama.

Kondisi ini menjadi kontraproduktif terhadap tujuan AYDA sebagai opsi percepatan pelunasan hutang oleh debitur dan untuk menekan rasio NPL di lembaga keuangan.

Persepsi Mahkamah Agung Berkaitan Dengan AYDA

Pelaksanaan AYDA di lapangan kerap mengalami permasalahan karena aturan pelaksana yang diamanatkan oleh UU Perbankan belum ada.

Peraturan pelaksana AYDA sebagaimana diamanatkan Pasal 12A ayat (2) UU Perbankan belum diundangkan oleh Pemerintah sampai saat ini. Salah satu permasalahan yang timbul adalah peran bank dalam kepemilikan objek agunan pada proses AYDA. 

Hal ini menyebabkan adanya kekosongan hukum terhadap proses pelaksanaan AYDA, dan konsekuensi yang ditimbulkan apabila proses tersebut tidak diikuti baik oleh kreditur maupun debitur.

Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (untuk selanjutnya disebut SEMA 4 tahun 2016) menjelaskan bahwa proses eksekusi atau lelang eksekusi secara hukum telah selesai jika objek eksekusi atau objek lelang telah diserahkan kepada pemohon eksekusi atau pemenang lelang.

Keberatan terhadap penyerahan tersebut harus diajukan dalam bentuk gugatan bukan perlawanan. 

Ketentuan SEMA 4 tahun 2016 ini menutup adanya potensi pengajuan derden verzet maupun partij verzet, yang pada praktiknya justru bertujuan semata-mata untuk memperlama proses peralihan objek agunan. 

Permasalahan lainnya dalam Pasal 12A ayat (1) UU Perbankan maupun aturan turunannya menyatakan bahwa, “Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik.”

Secara gramatikal, aturan di UU Perbankan ini dapat diartikan bahwa Bank maupun lembaga keuangan dapat membeli objek agunan melalui lelang maupun di luar lelang selama objek agunan diserahkan secara sukarela oleh pemilik objek agunan. 

Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum jaminan, dimana klausula yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak jaminan untuk memiliki objek jaminan apabila debitur wanprestasi adalah batal demi hukum.

Untuk menghindari ketidakpastian hukum ini, melalui Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2023 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (untuk selanjutnya disebut SEMA 3 tahun 2023), Mahkamah Agung memberikan menjelaskan tentang AYDA, yaitu: 

  1. AYDA tidak dikonstruksikan sebagai jual beli objek jaminan, melainkan hanya penyerahan objek jaminan secara sukarela kepada bank untuk dijual sebagai pelunasan utang.
  2. Selama AYDA belum terjual maka status bank tetap sebagai kreditor separatis dan objek AYDA merupakan boedel pailit. Namun ketika objek AYDA sudah terjual, sedangkan masih ada sisa piutang, maka bank dapat menagihnya dalam status sebagai kreditor konkuren.

Terbitnya SEMA 3 Tahun 2023 ini memberikan kejelasan bahwa AYDA bukanlah mekanisme pembelian objek agunan oleh kreditur ketika debitur wanprestasi, namun harus dikonstruksikan sebagai penyerahan objek jaminan secara sukarela kepada bank untuk selanjutnya diteruskan sebagai pelunasan hutang sebagaimana telah dijelaskan di PMK Nomor 122 tahun 2023 dan PBI No. 14/15/PBI/2012. 

Pembelian yang dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan harus dimaksudkan secara temporer yakni paling lama 1 (satu) tahun. 

Bank atau lembaga keuangan yang dengan sengaja tidak mencari pembeli baru dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus dinyatakan beritikad buruk dalam kepemilikan objek agunan melalui AYDA.

Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa harus ada peraturan pelaksana tentang AYDA sebagaimana diamanatkan UU Perbankan. Tata cara dan praktik AYDA di Indonesia perlu dibuat pengaturannya secara komprehensif dan mendetail.

Terjadinya kekosongan hukum saat ini mengakibatkan masing-masing instansi mengeluarkan peraturannya sendiri-sendiri sehingga terjadi potensi tumpang tindih aturan terkait AYDA.

Sampai sekarang peraturan perundang-undangan tentang jaminan tersebar sesuai dengan bentuk dan mekanisme masing-masing. Padahal setiap bentuk jaminan memiliki satu benang merah yang saling terkait satu sama lain. 
Untuk itu lebih lanjut penulis berpendapat harus segera dibuat omnibus law tentang hukum jaminan di Indonesia. 

Adanya aturan baru multisektoral di bidang hukum jaminan ini penting untuk menyelesaikan berbagai persoalan norma hukum jaminan yang saat ini tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Adanya aturan baru tersebut selain dapat menghilangkan tumpang tindih dan disharmoni perundang-undangan di bidang hukum jaminan, juga dapat memberikan kepastian hukum kepada debitur dan kreditur yang terikat dalam perjanjian penjaminan termasuk melalui mekanisme AYDA.

Referensi:

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 71 Tahun 1992 tentang Perbankan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang 
Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan 
Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2023 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2023 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan 
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/POJK.03/2019 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum 
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia No.9/9/PBI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah 

Penulis: Fakhir Tashin Baaj
Editor: Tim MariNews