Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, asas personalitas menyatakan bahwa seseorang hanya bisa dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya sendiri. Maka dari itu, ketika seorang terdakwa meninggal dunia, sebagaimana terjadi dalam kasus koneksitas TWP AD dengan terdakwa Brigjen TNI (Alm) Yus Adi Kamrulah, proses pidana terhadapnya harus dihentikan. Ini merupakan ketentuan yang secara normatif diatur dalam hukum acara pidana, sebagai bentuk perlindungan terhadap prinsip-prinsip hukum.
Namun, dalam praktiknya, kematian terdakwa tidak serta-merta menutup seluruh persoalan, terutama ketika kerugian negara sudah terjadi dan belum dipulihkan. Dalam kasus TWP AD, kerugian negara ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah.
Jika proses pidana dihentikan tanpa solusi hukum yang mengatur pengembalian kerugian negara, dikhawatirkan akan menimbulkan persepsi ketidakadilan di masyarakat.
Mahkamah Agung, sebagai lembaga peradilan tertinggi, memiliki tanggung jawab moral dan institusional untuk memberikan arah yang jelas dalam perkara seperti ini. Salah satunya adalah dengan mendorong terbentuknya pedoman teknis melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang memberi rambu bagi hakim di pengadilan tingkat pertama dan banding dalam menyikapi perkara koneksitas dengan terdakwa yang telah meninggal dunia.
Selain itu, MA juga dapat mendorong penuntut sebagai penggugat untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta peninggalan terdakwa, atau kepada ahli warisnya, guna memastikan bahwa kerugian negara tidak berujung pada impunitas. Ini tentunya memerlukan sinergi antar lembaga penegak hukum, termasuk Penuntut dan Kementerian Keuangan sebagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan keuangan negara.
Hakim tetap memiliki peran penting untuk menegakkan keadilan substantif. Dalam kondisi seperti ini, hakim tidak hanya bertugas menyelesaikan proses pidana, tetapi juga harus mampu menimbang dampak sosial dan kerugian negara yang lebih luas. Sikap adil, objektif, serta menjunjung tinggi asas legalitas dan kemanfaatan hukum menjadi sangat penting.
Dengan demikian, meskipun secara hukum pidana perkara terhadap terdakwa yang telah meninggal dunia dinyatakan gugur, langkah-langkah hukum lain tetap bisa dan perlu dilakukan. Ini untuk menjaga wibawa hukum, rasa keadilan masyarakat, serta mencegah pembiaran atas kerugian negara. Ke depan, MA diharapkan mampu memperkuat kerangka hukum ini melalui regulasi internal agar pengadilan dapat lebih responsif terhadap situasi-situasi semacam ini.