Ketika MA Vonis Pengemudi Metromini Bergajulan dengan Pasal Pembunuhan

Meskipun tidak berniat membunuh, pelaku dianggap sadar akan kemungkinan perbuatannya mengakibatkan kematian, tetapi tetap melakukan perbuatan tersebut.
Dokumentasi sampul Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2016
Dokumentasi sampul Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2016

Sebuah Metromini P-07 melintas dari arah Utara menuju Selatan Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara pada 6 Maret 1994. Dengan pelat B 7821 VM, metromini ini mengangkut 46 penumpang, jumlah yang melebihi kapasitas ideal 30 orang. Meskipun begitu, sang pengemudi yang bernama Ramses Silitonga alias Honas tetap memacu kecepatan hingga mencapai 90 km/jam, melampaui batas maksimal 60 km/jam. Akibatnya, metromini mulai oleng.

Pontas Pakpahan, yang kala itu bertugas sebagai kernet mengingatkan dalam bahasa Batak, "Nanget-nanget baem (Pelan-pelan saja)." Seorang penumpang juga berkata, "Jangan kencang-kencang! Banyak anak kecil." 

Mendengar teguran tersebut, Honas tak menggubris dan tetap tancap gas. Dengan kecepatan tinggi, Honas tiba-tiba membanting setir ke kanan untuk menghindari sebuah lubang di tengah jalan, lalu segera memutarnya ke kiri agar berpindah jalur. Namun, manuver itu justru membuat Metromini menjadi oleng hingga menghantam trotoar, meluncur ke jalur hijau dan menabrak tembok parit, sebelum akhirnya tercebur ke Kali Sunter.

Alih-alih menolong, Honas justru kabur melarikan diri, meninggalkan puluhan penumpang yang masih terjebak di Metromini. Akibatnya 33 orang meninggal dunia karena tenggelam, sedangkan 13 lainnya luka-luka. Media menyebut peristiwa ini sebagai Tragedi Metromini Maut 1994, salah satu kecelakaan paling tragis dalam sejarah Indonesia. 

Didakwa dengan Pasal Pembunuhan dan Penganiayaan

Sempat buron beberapa bulan, Honas akhirnya berhasil ditangkap pada 11 Agustus 1994. Perlu diingat, ketika itu, belum ada regulasi khusus mengenai sanksi pidana bagi pengemudi kendaraan yang mengakibatkan kematian. Oleh karenanya, Honas mulanya hanya didakwa dengan Pasal 359 KUHP, yakni kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia.

Padahal, delik ini hanya memiliki ancaman penjara maksimum lima tahun. Namun karena tekanan publik, penuntut akhirnya menambahkan dakwaan berlapis Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, yang memiliki ancaman penjara hingga 15 tahun (sumber: Harapan Rakyat).

Di tingkat pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Utara menyatakan Honas bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Dalam putusan No. 03/PID/B/1995/PN.JKT.UT. tersebut, ia dijatuhi hukuman maksimum 15 tahun penjara dan dicabut haknya untuk memperoleh SIM selama 10 tahun. Hukuman ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusan No. 59/PID/1995/PT.DKI. tanggal 6 Juli 1995.

Tak puas dengan pertimbangan judex facti, Honas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Dalam memorinya, Honas menyatakan unsur "dengan sengaja" yang menjadi unsur subjektif Pasal 338 KUHP tidak terpenuhi. Ia berargumen, sama sekali tidak menyangka Metromini akan kehilangan kendali, sehingga peristiwa ini merupakan kecelakaan murni.

Honas juga mengeklaim kecelakaan terjadi disebabkan setir yang tiba-tiba terkunci, sehingga membuatnya keliru menginjak pedal gas.

Dalam putusan Nomor 1530 K/Pid/1995, MA menolak seluruh alasan kasasi, sekaligus menguatkan pertimbangan judex facti yang mengacu pada doktrin sengaja sebagai sadar kemungkinan (dolus eventualis). Pengadilan juga mengadopsi teori in Kauf nehmen (Apa Boleh Buat) sebagai salah satu ratio decidendi penting dalam putusan. Artinya, seseorang harus bertanggung jawab jika mengetahui risiko yang mungkin terjadi jika melakukan suatu perbuatan, namun toh tetap melakukannya, walau akibatnya tak dikehendaki. 

Berdasarkan fakta hukum, Honas mengangkut penumpang melebihi kapasitas maksimum, melaju dengan kecepatan sekitar 90 km/jam di jalanan ramai, serta tidak memedulikan peringatan kernet maupun penumpang untuk memperlambat kendaraan. Meskipun demikian, Honas sama sekali tidak mengurangi kecepatan. 

Seluruh "sikap gegabah" ini dianggap merupakan kesiapan untuk "menanggung risiko sebagai akibat yang mungkin timbul". Dengan demikian, Honas dianggap telah menerima risiko atas kemungkinan terjadinya kecelakaan, termasuk jatuhnya korban jiwa.

Maka dari itu, tindakan Honas telah memenuhi rumusan unsur "dengan sengaja" pada pasal pembunuhan, berupa corak sengaja sebagai sadar kemungkinan. MA juga mengubah durasi pencabutan hak Honas untuk memperoleh SIM dari yang semula 10 tahun, kini diperberat menjadi 20 tahun. 

Putusan MA dalam perkara Honas memiliki relevansi dengan arrest Hoge Raad 6 Februari 1951. Di kasus ini, seorang pengemudi dihukum atas percobaan pembunuhan karena melaju kencang ke arah petugas yang hendak menangkapnya. Meskipun tidak berniat membunuh, pelaku dianggap sadar akan kemungkinan perbuatannya mengakibatkan kematian, tetapi tetap melakukan perbuatan tersebut (Gustiniati dan Rizki, 2018:125-126).

Pendekatan serupa juga diterapkan pengadilan di kasus Honas melalui doktrin dolus eventualis, yakni pelaku dianggap mengetahui risiko kematian akibat mengemudi dengan kecepatan tinggi.

Penulis: Romi Hardhika
Editor: Tim MariNews
Copy