Bekerja dari Mana Saja: Peluang atau Tantangan?

Kebijakan WFA memberikan fleksibilitas tempat dan waktu kerja yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan karakteristik tugas.
Ilustrasi kerja dari mana saja. Foto pixabay.com
Ilustrasi kerja dari mana saja. Foto pixabay.com

Perubahan cara kerja di era digital terus melahirkan kebijakan baru dalam sistem birokrasi pemerintahan. Salah satunya adalah Peraturan Menteri PANRB No. 4 Tahun 2025 yang memperbolehkan Aparatur Sipil Negara (ASN), baik PNS maupun PPPK, untuk bekerja dari mana saja atau dikenal sebagai Work From Anywhere (WFA). Kebijakan ini memberikan fleksibilitas tempat dan waktu kerja yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi dan karakteristik tugas.

Di satu sisi, WFA diyakini mampu meningkatkan produktivitas, memberikan ruang keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan, serta mengurangi stres akibat perjalanan dan kemacetan. Terutama dalam lingkungan yang sudah terbiasa bekerja berbasis digital dan target kinerja yang terukur, WFA bisa menjadi solusi efisiensi birokrasi modern. Beberapa kalangan bahkan menilai WFA sebagai cara adaptif menghadapi dinamika zaman yang terus berubah cepat.

Namun di sisi lain, tak sedikit yang mempertanyakan efektivitas dan akuntabilitas kebijakan ini. Sebab, fleksibilitas kerja tanpa pengawasan yang ketat berisiko membuka ruang pemborosan, menurunkan produktivitas, serta memunculkan kecemburuan antarsesama ASN. Apalagi jika pekerjaan dilakukan sambil lalu atau tidak sesuai dengan bobot tanggung jawab yang diemban. DPR pun mengingatkan agar kebijakan WFA diterapkan secara terbatas dan dievaluasi secara berkala untuk menghindari penyalahgunaan dan ketimpangan dalam pelaksanaan.

Dalam konteks peradilan, Mahkamah Agung tentu harus mencermati kebijakan ini dengan hati-hati. Sebab, tidak semua pekerjaan aparatur pengadilan bisa dijalankan secara jarak jauh. Pelayanan langsung kepada masyarakat pencari keadilan, pengelolaan arsip perkara, hingga fungsi pengawasan internal mengharuskan banyak aktivitas tetap berlangsung secara tatap muka. Selain itu, profesionalisme dan integritas pegawai harus tetap terjaga dalam segala bentuk model kerja.

WFA memang menjanjikan efisiensi, tetapi keberhasilannya tetap sangat tergantung pada kesiapan sistem pengawasan, evaluasi output kinerja, serta komitmen etika kerja dari setiap ASN. Oleh karena itu, Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan untuk membuat kebijakan internal tersendiri, sebagai pedoman pelaksanaan WFA di lingkungan peradilan. Pedoman ini akan mengatur dengan tegas siapa yang bisa menjalankan WFA, dalam tugas seperti apa, serta bagaimana pengawasan dan pertanggungjawabannya dilakukan secara akuntabel dan transparan.

Pada akhirnya, fleksibilitas bukan sekadar soal tempat bekerja, tetapi bagaimana ASN tetap mampu memberikan kinerja terbaik dari mana saja, tanpa mengurangi nilai-nilai integritas dan tanggung jawab yang melekat dalam tugas pelayanan publik.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews