Penyelesaian Gugatan Sederhana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagaimana yang telah diubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
Penyelesaian Gugatan Sederhana, adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materiil paling banyak sejumlah Rp500 Juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana. (Pasal 1)
Gugatan Sederhana, diperiksa dan diputus oleh pengadilan dalam lingkup kewenangan peradilan umum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2.
Dalam Pasal 3, disebutkan Gugatan Sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materiil paling banyak sejumlah Rp500 Juta;
Adapun sengketa yang tidak termasuk dalam gugatan sederhana, adalah perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan atau sengketa hak atas tanah.
Selanjutnya, dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa:
- para pihak dalam gugatan sederhana, terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.
- terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana.
- penggugat dan Tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama;
- dalam hal Penggugat berada di luar wilayah hukum tempat tinggal atau domisili Tergugat, Penggugat dalam memajukan gugatan menunjuk kuasa, kuasa insidentil, atau wakil yang beralamat di wilayah hukum atau domisili tergugat dengan surat tugas dari institusi penggugat
- Penggugat dan Tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa, kuasa insidentil, atau wakil dengan surat tugas dari institusi penggugat;
Terdapat konsekuensi hukum apabila pihak Penggugat dan Tergugat tidak hadir dalam persidangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 sebagai berikut:
- Dalam hal penggugat tidak hadir pada hari sidang pertama tanpa alasan yang sah, maka gugatan dinyatakan gugur
- Dalam hal Tergugat tidak hadir pada hari sidang pertama, maka dilakukan pemanggilan kedua secara patut
- Dalam hal Tergugat tidak hadir pada hari sidang kedua setelah dipanggil secara patut, maka Hakim memutus perkara tersebut secara verstek 3a. Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Tergugat dapat mengajukan perlawanan (verzet) dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah pemberitahuan putusan
- Dalam hal tergugat pada hari sidang pertama hadir dan pada hari sidang berikutnya tidak hadir tanpa alasan yang sah, maka gugatan diperiksa dan diputus secara contradictoir;
- Terhadap putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) dan ayat (4), Tergugat dapat mengajukan keberatan
Selanjutnya, yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini adalah. bagaimana jika pihak prinsipal baik penggugat atau tergugat pada saat berlangsungnya proses gugatan sederhana mengalami sakit yang berkelanjutan?
Apa yang harus dilakukan oleh Hakim, mengingat kehadiran pihak prinsipal tersebut bersifat wajib sebagaimana ketentuan Pasal 4 PERMA Nomor 4 Tahun 2019?
Menjawab problematika tersebut, penulis merujuk pada pendapat Dr .H. M. Syarifuddin, S.H.,M.H. (Mantan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia), dalam bukunya yang berjudul Small Claim Court dalam Sistem Peradilan Perdata di Indonesia (Konsep Norma dan Penerapannya) Berdasarkan PERMA 2/2015 & PERM 4/2019, pada halaman 138-139 mengenai pembahasan Ketidakhadiran Penggugat/Tergugat Tanpa Alasan yang Sah.
Dr. H.M. Syarifuddin, S.H.,M.H., menganalogikan dalam buku tersebut, misalnya pada hari sidang yang telah ditentukan penggugat sakit dan perihal tersebut telah disampaikan kepada Hakim, kemudian pada jadwal sidang berikutnya penggugat masih tetap sakit dan hingga panggilan ketiga penggugat masih belum sembuh, apakah Hakim tetap harus mengulangi pemanggilan atau bisa diputuskan gugur, karena tidak ada kepastian kapan Penggugat bisa hadir di persidangan?
Menurut Dr. H.M. Syarifuddin, S.H.,M.H., kondisi yang digambarkan di atas, akan menimbulkan dilema bagi Hakim. Hal itu, karena Pasal 4 ayat (4), mewajibkan kepada Prinsipal harus hadir di persidangan meskipun didampingi kuasa/kuasa insidentil, namun kenyataannya kondisi penggugat tidak memungkinkan untuk hadir di persidangan.
Selanjutnya, menurut Dr. H.M. Syarifuddin, S.H.,M.H., ada dua pilihan bagi Hakim dalam kondisi seperti itu:
Pertama, mengajukan kuasa untuk mewakili kepentingan penggugat atau perkara diputus gugur untuk kemudian diajukan lagi sebagai perkara biasa dengan diwakili oleh kuasa hukum.
Jika Hakim memilih memberikan izin kepada kuasa penggugat untuk mewakili di persidangan, maka otomatis telah mengesampingkan Pasal 4 ayat (4). Namun, perkara dapat disidangkan melalui gugatan sederhana.
Kedua, sebaliknya, jika Hakim menjatuhkan putusan gugur, maka perkara tersebut harus didaftarkan kembali melalui gugatan biasa.
Norma-norma hukum harus senantiasa berpijak kepada asas dan hal-hal yang terkait dengan situasi di atas.
Hakim harus mengedepankan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, sehingga lebih bermanfaat bagi kedua belah pihak jika gugatan tersebut tetap dilanjutkan mengijinkan kuasa untuk mewakili penggugat, dengan syarat bahwa penggugat benar-benar tidak mampu untuk datang dipersidangan yang dinyatakan oleh keterangan dokter.
Hakim harus senantiasa lebih berhati-hati untuk menentukan sanksi kepada Tergugat dibandingkan Penggugat, karena Penggugat merupakan pihak yang berkepentingan terhadap perkara tersebut, sedangkan Tergugat tidak diberikan hak untuk memilih mekanisme apa yang akan diterapkan.
Namun, bukan berarti Hakim harus menutup mata atas kondisi yang terjadi pada para pihak.
Jika pihak yang berperkara benar-benar tidak mampu hadir, misalnya karena sakit yang cukup parah dan itu dikuatkan oleh keterangan dokter, maka Hakim tetap harus mempertimbangkan hal itu sebagai bahan dalam menentukan sikap.
Dari pendapat Dr. H. M. Syarifuddin, S.H.,M.H. tersebut, menurut hemat Penulis, yang menjadi sikap Hakim ketika menghadapi gugatan sederhana, namun pihak prinsipal tidak hadir karena sakit yang berkelanjutan adalah sebagai berikut:
- Memastikan bahwa Prinsipal Penggugat atau Tergugat, benar-benar dalam kondisi sakit yang dikuatkan oleh surat keterangan dari dokter. Apabila tidak ada surat keterangan dari dokter, maka alasan sakit yang disebutkan oleh Penggugat atau Tergugat tidak diterima oleh Hakim dan Hakim melanjutkan proses persidangan sesuai ketentuan Perma
- Jika dalam beberapa kali panggilan sidang, ternyata pihak prinsipal Penggugat atau Tergugat masih sakit, maka Hakim harus bersikap di persidangan dengan menyatakan bahwa pihak prinsipal tidak akan dapat untuk menghadiri persidangan dan menerima serta mengijinkan Kuasa baik dari Penggugat atau Tergugat untuk mewakili kepentingan penggugat atau tergugat sekalipun Pasal 4 ayat (4) mewajibkan kepada Prinsipal harus hadir di persidangan meskipun didampingi kuasa/kuasa insidentil. Namun kenyataannya, kondisi penggugat atau tergugat tidak memungkinkan untuk hadir di persidangan, dan pemeriksaan perkara tetap dapat dilanjutkan melalui mekanisme pemeriksaan gugatan sederhana sampai dengan putusan.
- Jika Hakim berpendapat sebaliknya, Hakim dapat menjatuhkan putusan gugur (jika Penggugat tidak hadir), maka perkara tersebut harus didaftarkan kembali melalui gugatan biasa. Sedangkan jika Tergugat yang dianggap tidak hadir, maka dijatuhi putusan verstek. Jadi, baik Penggugat atau Tergugat dianggap tidak hadir oleh Hakim walaupun mengalami sakit yang berkelanjutan.
Lantas, timbul pertanyaan, mengapa ketika Penggugat tidak hadir karena sakit harus mengajukan melalui prosedur gugatan biasa?
Hal ini, karena mengingat ketidakmampuan Penggugat hadir di persidangan dikarenakan sakit yang berkelanjutan dan mengingat akan ketentuan Pasal 4 ayat (4) yang mewajibkan kepada Prinsipal harus hadir di persidangan meskipun didampingi kuasa/kuasa insidentil.
Pendapat tersebut, tentunya menimbulkan dualisme atau perbedaan pendapat hukum bagi Para Hakim, ada Hakim yang memilih mengijinkan Kuasa baik dari Penggugat atau Tergugat untuk mewakili kepentingan penggugat atau tergugat dan memilih untuk melanjutkan pemeriksaan dengan prosedur gugatan sederhana.
Ada juga, Hakim yang akan bersikap menjatuhkan putusan gugur atau putusan verstek ketika menghadapi case tersebut.
“Mahkamah Agung tentunya memiliki peranan penting untuk kembali mengatur mengenai ketidakhadiran Prinsipal baik Penggugat atau Tergugat dalam perkara gugatan sederhana karena alasan sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, sehingga menyatukan sikap Para Hakim ketika menghadapi problematika tersebut di atas demi kepastian hukum yang berkeadilan…”
Referensi :
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana sebagaimana yang telah diubah dengan Perma 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana
Small Claim Court Dalam Sistem Peradilan Perdata di Indonesia (Konsep Norma dan Penerapannya) Berdasarkan Perma 2/2015 & Perma 4/2019 (Dr. H.M. Syarifuddin, S.H.,M.H.)