Konsep gugatan sederhana yang dalam sistem hukum common law dikenal dengan istilah small claims court diperkenalkan di Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 2 Tahun 2015, sebagaimana telah diubah dengan PERMA Nomor 4 Tahun 2019.
Pembentukan PERMA Gugatan Sederhana, sebagai respon atas kebutuhan mendesak mewujudkan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan, khususnya dalam sengketa perdata dengan nilai gugatan materiil maksimal 500 juta rupiah
Para pencari keadilan berharap kasus yang mereka hadapi dapat diselesaikan secara tuntas. Jika penyelesaian secara sukarela tidak tercapai, langkah akhir yang ditempuh adalah mengajukan permohonan eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ketentuan ini berlaku pula, untuk putusan dalam perkara gugatan sederhana.
Eksekusi merupakan tahap final dan krusial dalam proses peradilan, serta keberhasilannya dianggap sebagai salah satu indikator dalam menentukan kualitas sistem dan penegakan hukum.
Tanpa adanya regulasi teknis yang jelas tentang tindak lanjut terhadap status dan hak pihak yang telah dimenangkan atas suatu putusan berkekuatan hukum tetap, maka putusan hanya menjadi sekadar simbol keadilan prosedural, bukan keadilan substantif.
Saat ini, penyelesaian eksekusi putusan perdata dirasa memakan waktu yang cukup panjang. Hal tersebut, disebabkan kecenderungan pengadilan untuk menggunakan prosedur eksekusi hukum acara perdata umum yang tercantum dalam HIR/RBg, dimana berakibat pada proses yang lebih lambat dan birokratis.
Praktik ini tidak selaras dengan prinsip lex specialis gugatan sederhana yang menuntut kecepatan dan kesederhanaan.
Selain perlunya penyesuaian regulasi eksekusi, proses eksekusi juga sering menemui hambatan, seperti tingginya biaya penaksiran harga objek oleh penilai (appraisal), lemahnya integrasi koordinasi dengan aparat penegak hukum dan instansi terkait yang kerap menyebabkan tertundanya pelaksanaan eksekusi, serta kendala lainnya.
Meskipun proses pemeriksaan gugatan sederhana secara fundamental berbeda dari gugatan perdata biasa (terutama dari segi hukum acara dan jangka waktu penyelesaiannya), ironisnya, pelaksanaan (eksekusi) putusan gugatan sederhana terkendala oleh isu-isu yang sama.
Kontradiksi ini, menunjukkan eksekusi perkara gugatan sederhana memerlukan penyelesaian secara khusus, baik melalui aturan hukum acara eksekusi yang berbeda maupun penetapan batas waktu eksekusi yang lebih cepat.
Ketentuan mengenai eksekusi dalam perkara gugatan sederhana diatur dalam PERMA GS khususnya Bab VII tentang Pelaksanaan Putusan yang hanya memuat satu pasal, yakni Pasal 31.
Dalam ayat (3) pasal a quo, disebutkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang kalah, maka putusan dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum acara perdata yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan dimaksud, tidak terdapat norma yang khusus mengatur secara teknis, mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi putusan dalam perkara gugatan sederhana.
Padahal, dalam perkara gugatan sederhana hanya tersedia upaya hukum keberatan yang tenggang waktu penyelesaiannya singkat, yaitu 7 hari kerja setelah tanggal penetapan majelis hakim dan terhadap putusan tersebut langsung bersifat final dan mengikat.
Maka, secara normatif, eksekusi terhadap putusan gugatan sederhana dapat dilaksanakan dalam 2 kondisi, yakni pasca-7 hari kerja terhadap putusan gugatan sederhana yang tidak diajukan upaya hukum keberatan (setelah putusan diucapkan atau setelah pemberitahuan putusan); atau segera setelah disampaikannya pemberitahuan putusan keberatan kepada para pihak yaitu paling lambat 3 hari kerja sejak putusan keberatan diucapkan.
Dalam kenyataannya, banyak putusan yang tidak segera ditindaklanjuti, apabila tergugat enggan melaksanakan isi putusan secara sukarela.
Hal ini, disebabkan belum terdapat mekanisme percepatan eksekusi dalam perkara gugatan sederhana, sehingga menjadikan penggugat harus mengajukan permohonan eksekusinya melalui prosedur eksekusi hukum acara perdata umum. Adapun prosesnya, membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengadili pokok perkara gugatan sederhana.
Ditinjau secara filosofis, semangat efisiensi dan efektivitas penyelesaian perkara gugatan sederhana tidak hanya berkutat pada aspek waktu penyelesaian perkara dan pemangkasan prosedur hukum acara, tetapi juga pada kemudahan, kelancaran, dan kecepatan dalam eksekusi putusan.
Tanpa mekanisme eksekusi khusus, maka esensi dari konsep gugatan sederhana tidak dapat terimplementasi secara komprehensif.
Maka dari itu, diperlukan adanya suatu peraturan khusus mengenai prosedur hukum acara eksekusi perkara gugatan sederhana, sebagai langkah krusial untuk mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan, serta peradilan modern yang responsif dan berkeadilan, karena tanpa adanya pengaturan mengenai eksekusi yang sederhana, cepat, dan pasti, konsep gugatan sederhana berpotensi hanya menjadi simbol reformasi prosedural, tanpa adanya realisasi hasil yang konkret.
Amandemen ketentuan Pasal 31 PERMA Gugatan Sederhana, menjadi salah satu kunci dalam mengatasi persoalan ini atau Mahkamah Agung dapat mengatur bab khusus tentang tata cara eksekusi perkara gugatan sederhana.
Secara substansial, arah pengaturannya harus berfokus peningkatan akses terhadap keadilan (access to justice), pemberian kepastian hukum, standardisasi prosedur, hingga penguatan fungsi pengawasan yang mencakup pelaksanaan putusan secara sukarela maupun pelaksanaan putusan secara paksa (eksekusi).
Dengan adanya pedoman yang komprehensif dan fungsional, pelaksanaan (eksekusi) putusan perkara gugatan sederhana dapat dilakukan dengan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.
Hal ini, sejalan dengan filosofi awal dari pembentukan mekanisme gugatan sederhana itu sendiri.
Selain itu, bertujuan mewujudkan perlindungan hak bagi para pihak, khususnya pihak pemenang perkara, dan yang tidak kalah penting, meningkatnya kepercayaan publik (public trust) terhadap lembaga peradilan.