Bagaikan murid di dalam satu kelas mengerjakan PR yang sama, tetapi jawaban murid ternyata ada beberapa yang berbeda. Aturan dalam mengerjakan soal telah diberikan, namun kurangnya ilustrasi dalam menghadapi keadaan yang nyata membuat para murid menjawab menggunakan pemahamannya masing-masing berdasarkan aturan yang telah diberikan.
Hal tersebut bukan hanya terjadi di sekolah. Gambaran yang sama bisa terjadi saat pengajuan gugatan sederhana (GS) ke pengadilan.
Mahkamah Agung telah menerbitkan PERMA Nomor 2 Tahun 2015 yang kemudian diperbarui melalui PERMA Nomor 4 Tahun 2019 tentang Gugatan Sederhana (GS).
Perubahan mendasar antara kedua aturan tersebut terletak pada kenaikan batas nilai gugatan sederhana, perluasan syarat domisili para pihak, kemungkinan adanya lebih dari satu pihak yang berperkara, serta pengaturan prosedur elektronik.
Selain itu, ditegaskan pula bahwa gugatan sederhana tidak dapat diajukan terhadap sengketa kepemilikan tanah. PERMA telah berupaya menyederhanakan, namun implementasi konseptualnya masih memerlukan penegasan.
Isi
Dalam praktik, ada hakim yang menolak gugatan sederhana karena melibatkan lebih dari satu tergugat meskipun nilai gugatannya kecil.
Sebaliknya, ada juga hakim yang menerima gugatan dengan dalil perjanjian rinci selama tidak melibatkan banyak bukti atau pihak. Hal tersebut menunjukkan, perbedaan penafsiran hakim atas konsep sederhana yang seharusnya mengacu pada asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Lebih jauh, tidak didefinisikannya kata sederhana juga berimplikasi langsung terhadap para pencari keadilan.
Walaupun proses dismissal tidak menimbulkan akibat hukum terhadap pokok perkara, waktu dan biaya yang telah dikeluarkan tetap menjadi beban para pihak.
Kondisi ini berpotensi melanggar asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan sebagaimana diatur Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.
Di negara lain, konsep perkara kecil lebih tegas. Singapura membatasi gugatan kecil hanya pada sengketa konsumen sederhana.
Amerika Serikat memberi kewenangan tiap negara bagian, namun perkara tanah atau keluarga tidak masuk small claims. Malaysia pun menekankan bahwa perkara tuntutan kecil hanya untuk kontrak sederhana dengan para pihak hadir tanpa pengacara.
Ketiganya sama-sama menolak perkara yang kompleks, terutama yang menyangkut tanah atau banyak pihak.
Dengan demikian pembatasan di PERMA (nilai gugatan, larangan sengketa tanah) sebenarnya sudah sejalan dengan praktik internasional untuk menghindari kompleksitas, namun konsep kesederhanaan non-nilai/non-objek perlu diperjelas.
Kesederhanaan dalam GS harus dikaitkan dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Artinya, kesederhanaan tidak boleh hanya dipahami sebatas nilai gugatan, melainkan juga tingkat kerumitan sengketa dan kebutuhan pembuktiannya. Inilah pembeda utama antara gugatan sederhana dan gugatan biasa.
Hakim Agung Takdir Rahmadi pernah menegaskan dalam sosialisasi Mahkamah Agung tahun 2016 bahwa perkara sederhana adalah perkara yang hubungan hukumnya jelas dan tidak memerlukan pembuktian rumit.
Akademisi Tatik Sri Djatmiati menambahkan, kesederhanaan harus dilihat dari tiga aspek: subjek, objek, dan alat bukti. Jika ketiganya terang, perkara patut disebut sederhana.
Kesimpulan dan Saran
Karena PERMA belum menjelaskan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan ‘sederhana’, perlu kiranya dilakukan pembinaan oleh Mahkamah Agung kepada para hakim untuk memastikan terdapat kesamaan pemahaman konseptual yang selaras semangat PERMA dan standar internasional.
Misalnya, para hakim dapat melihat kesederhanaan sejak awal dari isi gugatannya. Apabila dalam posita ternyata muncul pihak ketiga yang ikut berkepentingan, atau objek jaminan yang ternyata berada di luar penguasaan para pihak, jelas perkara itu tidak dapat disebut sederhana.
Apabila sejak awal di posita sudah tampak indikator tadi, hakim langsung menghentikan perkara itu di tahap pemeriksaan pendahuluan melalui dismissal.
Cara ini akan membuat konsep gugatan sederhana betul-betul berjalan sesuai tujuan awalnya: cepat, ringkas, dan pasti.
Daftar Rujukan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.