Hak korban tindak pidana terkadang tidak dapat terpenuhi hanya dengan penjatuhan pidana perampasan kemerdekaan, seperti penjara terhadap terdakwa.
Mekanisme penggantian kerugian yang dialami korban atas tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dirasa lebih memberikan manfaat dari sisi korban dan mencapai tujuan pemidanaan untuk mengembalikan ke keadaan semula. Restitusi memberikan jalan untuk itu.
Konsep restitusi sebagai penggantian kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga telah muncul di beberapa peraturan perundang-undangan, yang oleh Mahkamah Agung diatur teknisnya melalui Perma Nomor 1 Tahun 2022.
Korban sendiri maupun keluarga, ahli waris, atau wali (apabila korban adalah anak atau korban telah meninggal dunia) dapat mengajukan permohonan restitusi langsung ke pengadilan, atau melalui LPSK, penyidik, maupun penuntut umum.
Permohonan restitusi dapat diajukan sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas perkara tindak pidananya, dan dapat pula diajukan setelahnya.
Hak korban melalui restitusi dapat berupa:
- ganti kerugian atas kehilangan kekayaan dan/atau penghasilan;
- ganti kerugian, baik materiil maupun immateriil, yang ditimbulkan akibat penderitaan;
- penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis; dan
- kerugian lain akibat tindak pidana, seperti biaya transportasi, biaya pengacara, atau biaya yang berhubungan dengan proses hukum.
Nantinya, restitusi akan dipenuhi oleh pelaku tindak pidana, orang tua atau walinya apabila pelaku adalah anak, atau bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga. Tentunya, adanya kerugian dan nilai kerugiannya harus mampu dibuktikan di persidangan oleh penuntut umum, pemohon, maupun LPSK.
Permohonan restitusi dapat diajukan dalam beberapa perkara, yaitu tindak pidana pelanggaran HAM berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan oleh keputusan LPSK.
Dalam hal ini, LPSK memegang peranan penting untuk memperluas tindak pidana yang dapat diajukan permohonan restitusi.
Selain itu, restitusi juga dapat diajukan pada tindak pidana yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan. Contohnya dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, terdapat pengaturan khusus bahwa penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap harta kekayaan pelaku tindak pidana kekerasan seksual sebagai jaminan restitusi, dengan izin pengadilan negeri setempat.
Sebenarnya dikenal pula penggantian kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tindak pidana tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.
Ganti kerugian ini bisa berbentuk nonuang, seperti pemberian beasiswa pendidikan dan kesempatan kerja, yaitu melalui permohonan kompensasi. Namun, kompensasi hanya berlaku untuk perkara pelanggaran HAM berat dan terorisme.
Bilamana permohonan restitusi dikabulkan melalui putusan atau penetapan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka penggantian kerugian tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang memaksa terkait besaran restitusi yang harus dibayarkan.
Hal ini berbeda dengan proses restorative justice di pengadilan, yang mana penggantian kerugian korban didasarkan pada kesepakatan antara korban dengan terdakwa.
Daya paksa restitusi terlihat jelas apabila pelaku tindak pidana atau pihak ketiga tidak membayar restitusi. Dalam hal ini, jaksa dapat menyita dan melelang harta kekayaan pelaku atau pihak ketiga.
Jika masih tidak mencukupi, dapat dijatuhkan pidana kurungan atau pidana penjara pengganti yang sepadan. Namun, pidana pengganti ini tidak dapat dijatuhkan kepada orang tua terdakwa apabila terdakwanya adalah anak.
Apabila permohonan restitusi ditolak seluruhnya maupun sebagian, penuntut umum maupun pemohon dapat mengajukan upaya hukum, baik banding maupun kasasi.
Restitusi juga tidak menutup kemungkinan bagi korban, keluarga, ahli waris, atau walinya untuk mengajukan gugatan ganti kerugian melalui jalur perdata. Syaratnya, permohonan restitusi ditolak karena pelaku tindak pidana diputus bebas atau lepas, permohonan restitusi dikabulkan tetapi terdapat kerugian yang belum dimohonkan, atau terdapat kerugian yang sudah dimohonkan tetapi tidak dipertimbangkan oleh pengadilan.
Bagi korban yang tidak mengetahui adanya kesempatan untuk mengajukan restitusi, hakim yang memeriksa perkara di persidangan akan memberitahukan hak tersebut pada saat korban dihadirkan sebagai saksi.
Oleh karena itu, terbuka kesempatan luas bagi korban untuk memulihkan keadaannya melalui penggantian kerugian akibat tindak pidana. Pelaku harus bertanggung jawab atas kepentingan umum yang telah dilanggarnya.