PN Rangkasbitung Terapkan Restorative Justice pada Kasus Dugaan Tindak Pidana Pencurian

Penerapan keadilan restoratif kembali menunjukkan hasil positif melalui perkara pidana pencurian di Pengadilan Negeri Rangkasbitung, Banten.
Restorative justice di PN Rangkasbitung. Foto : Dokumentasi PN Rangkasbitung
Restorative justice di PN Rangkasbitung. Foto : Dokumentasi PN Rangkasbitung

MARINews, Rangkasbitung - Penerapan keadilan restoratif kembali menunjukkan hasil positif melalui perkara pidana pencurian di Pengadilan Negeri Rangkasbitung, Banten, dengan Nomor 136/Pid.B/2025/PN Rkb. 

Dalam proses persidangan yang digelar pada Kamis, 11 September 2025, tercapai kesepakatan damai antara pihak Korban yang diwakili oleh Deden Johanah dengan Terdakwa Salman alias Sadam bin Yani. 

Sidang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Rafi Maulana, S.H., M.H., bersama Anggota Majelis, Murdian, S.H., M.H., dan Amjad Fauzan Ahmadushshodiq, S.H., menjadi bukti bahwa mekanisme penyelesaian melalui jalur restoratif dapat diimplementasikan secara nyata dalam praktik peradilan.

Kejadian bermula pada Kamis, 12 Juni 2025 sekitar pukul 04.30 WIB. Terdakwa yang semula berniat berangkat dari rumah untuk menunaikan salat subuh dengan berjalan kaki, berubah pikiran ketika melewati gudang milik H. Jumanta selaku Korban. 

Saat melintas, ia melihat adanya besi bengkok di sekitar gudang tersebut. Niat awalnya untuk menuju masjid pun batal, dan ia justru memutuskan berbalik arah menuju gudang itu.

Selanjutnya, Terdakwa mendekati pintu gudang milik korban dan menggunakan besi yang ditemukannya untuk merusak sekaligus membuka akses masuk. 

Setelah berhasil masuk, Terdakwa mengambil sejumlah onderdil kendaraan truk serta besi bekas milik korban. 

Barang-barang tersebut kemudian dikumpulkan ke dalam sebuah karung dan dibawa ke sebuah rumah kosong yang lokasinya tidak jauh dari gudang. 

Untuk menyamarkannya, Terdakwa menutupi barang-barang itu dengan kain bekas.

Keesokan paginya, saat Sdr. Sujai hendak mematikan lampu, ia mendapati pintu gudang dalam keadaan rusak dan terbuka. 

Ia kemudian memanggil Sdr. Syarip Hidayat untuk memeriksa isi gudang, dan setelah itu menghubungi Sdr. Deden Johanah selaku pihak yang dipercaya korban untuk menjaga gudang tersebut.

Dalam pencarian di sekitar gudang, mereka melihat gerak-gerik Terdakwa yang mondar-mandir dan menimbulkan kecurigaan. 

Awalnya Terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Namun, ketika mereka menemukan sebuah gundukan yang tertutup kain putih di rumah kosong tak jauh dari lokasi dan membukanya, tampak barang-barang milik korban tersimpan di dalamnya.

Menyadari dirinya tertangkap basah, Terdakwa akhirnya mengakui perbuatannya. Ia kemudian dibawa dan dilaporkan ke Polsek Panggarangan untuk diproses secara hukum. 

Perkara ini kini telah berlanjut ke tahap persidangan di Pengadilan Negeri Rangkasbitung.

Dalam proses persidangan, Majelis Hakim tidak semata-mata menelusuri fakta-fakta perkara, melainkan juga memberikan pemahaman mengenai prinsip keadilan restoratif sebagaimana diatur dalam PERMA RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Penjelasan tersebut diterima dengan baik oleh pihak perwakilan Korban maupun oleh Terdakwa.

Kedua belah pihak kemudian sepakat menuangkan perdamaian dalam sebuah perjanjian tertulis. 

Dalam dokumen tersebut, Terdakwa menyampaikan permohonan maaf kepada Korban, berkomitmen untuk tidak mengulangi perbuatannya, serta bersedia mengganti kerugian yang timbul akibat tindakannya. 

Sementara itu, Korban menyatakan memberikan maaf dengan ketentuan bahwa pemberian maaf tersebut tidak dimaksudkan untuk menghapuskan proses hukum terhadap Terdakwa.

Setelah menelaah isi kesepakatan, Majelis Hakim berpendapat bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan karenanya dapat diterima sebagai bahan pertimbangan dalam perkara.

Kendati demikian, Majelis Hakim menekankan bahwa adanya perdamaian tidak serta-merta menghapus kemungkinan pemidanaan terhadap Terdakwa apabila terbukti bersalah. 

Namun demikian, kesepakatan tersebut tetap dapat dijadikan dasar pertimbangan yang meringankan dalam penjatuhan putusan.

Ketua Majelis Hakim juga menegaskan bahwa konsep restorative justice tidak hanya berhenti pada perdamaian formal, melainkan berfungsi sebagai sarana pemulihan hubungan sosial antara korban dan terdakwa agar tidak berkembang menjadi rasa dendam ataupun kebencian. Atas penjelasan tersebut, kedua belah pihak menyatakan memahami dan menerimanya.

Sidang kemudian dilanjutkan ke agenda pembacaan tuntutan, namun Jaksa Penuntut Umum menyampaikan belum siap untuk membacakannya. 

Oleh karena itu, Ketua Majelis Hakim menunda persidangan guna memberi kesempatan kepada Jaksa menyusun tuntutan, sekaligus menutup jalannya sidang.

Penulis: Kontributor
Editor: Tim MariNews